Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

PSBB Ketat Lagi di Jakarta, Setelah Itu Jangan Buru-buru Dilonggarkan Lagi...

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso
Pengunjung beraktivitas di salah satu pusat perbelanjaan di Jakarta, Rabu (9/9/2020). Pihak pusat perbelanjaan diharapkan memperketat protokol kesehatan terhadap pengunjung dan karyawannya seiring meningkatnya kasus konfirmasi positif COVID-19 di masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) transisi di Jakarta. Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memaparkan kondisi epidemiologis COVID-19 di wilayah DKI Jakarta selama sepekan terakhir tergolong mengkhawatirkan dengan angka positivity rate 13,2 persen. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/foc.
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - DKI Jakarta akan kembali menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB)  pada Senin (14/9/2020) depan.

Gubernur DKI Jakarta mengatakan, keputusan memberlakukan PSBB ini setelah mempertimbangkan sejumlah faktor, termasuk ketersediaan tempat tidur rumah sakit yang hampir penuh dan tingginya tingkat kematian.

"Tidak ada banyak pilihan bagi Jakarta kecuali untuk menarik rem darurat sesegera mungkin," kata Anies dalam konferensi pers yang disiarkan di kanal Youtube Pemprov DKI, Rabu (9/9/2020).

Tidak terburu-buru dilonggarkan

Epidemiolog Universitas Indonesia (UI) Pandu Riono menilai, keputusan pemberlakuan kembali PSBB ini tepat dan memang harus dilakukan.

Sebab, kondisi Jakarta saat ini berada dalam fase sekarat.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pandu mengingatkan agar Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI tidak terburu-buru untuk melonggarkannya, seperti yang dilakukan pada PSBB sebelumnya.

"Dulu itu, sudah berhasil kita menurunkan kasus, tetapi kemudian terlalu cepat dilonggarkan, sehingga terjadi kenaikan kasus luar biasa," kata Pandu kepada Kompas.com, Kamis (10/9/2020).

"Jadi tak boleh lagi ada alasan untuk memulihkan ekonomi. Kalau itu betul-betul perintah presiden yang mau memprioritaskan kesehatan, ayo kita lakukan," lanjut dia.

Menurut dia, tak ada patokan waktu dalam penerapan PSBB ini. Hal yang terpenting adalah menerapkannya dengan ketat.

Baca juga: Perjalanan PSBB Transisi di Jakarta hingga Anies Tarik Rem Darurat...

Manajemen modern

Pandu menjelaskan, penerapan PSBB juga harus dilakukan dengan menggunakan manajemen modern, yaitu memiliki rencana dan monitoring yang baik.

"Kalau tidak dimonitor, bagaimana mau mengevaluasi PSBB. Dulu apakah dievaluasi? Enggak! Saya yang mengevaluasi, itu pun pakai data yang sifatnya independen. Waktu itu kita bisa melihat ketika 60 persen penduduk patuh tinggal di rumah, 2 minggu kemudian terjadi penurunan kasus drastis sekali," papar Pandu.

"Walau saat itu penerapannya kurang baik, PSBB tetap memiliki efek. Itu sebabnya saya sarankan PSBB. Kalau dulu untuk mencapai efek 60 persen itu lama, sekarang harus lebih cepat. Dalam waktu seminggu 60 persen penduduk lebih harus tinggal di rumah dan mematuhi aturan-aturan PSBB," tambah dia.

Menurut dia, PSBB memiliki konsep yang sama dengan social distancing atau pembatasan sosial.

Artinya, jika semua orang tinggal di rumah, maka itu sama halnya dengan menjaga jarak antar-individu.

Dengan kondisi tersebut, potensi penularan pun akan berkurang dan bahkan hilang.

Strategi tersebut, kata dia, telah dilakukan oleh semua negara di dunia.

"Di semua dunia seperti itu. Itu yang harus dipikirkan oleh Pemerintah indonesia, bukan mikirin vaksin dan obat. Kita itu mengatasi pandemi. Kalau Indonesia sudah aman, maka ekonomi akan pulih. Indonesia juga tidak dikucilkan oleh negara lain," papar dia.

Baca juga: Jakarta PSBB Lagi, Bagaimana Nasib Ojek dan Taksi Online?

PSBB Nasional

Tak hanya di DKI Jakarta, Pandu mengatakan, penerapan PSBB ini perlu juga dilakukan secara nasional.

Pasalnya, pandemi virus corona di Indonesia sudah meluas dan kondisinya berbeda dengan Maret 2020.

Oleh karena itu, pemerintah juga harus memiliki strategi jangka pendek dan panjang dalam menghadapi Covid-19 di Indonesia.

Akan tetapi, realita yang terjadi di Indonesia saat ini adalah muncul ide-ide baru tanpa direncanakan dan dimonitor setiap minggunya.

"Yang sekarang terjadi itu tiap minggu ada ide-ide baru tanpa terencana, tanpa dimonitor, tiba-tiba ada vaksin, tiba-tiba mau beli vaksin, sementara pengeluaran terus meningkat. Itu kan tidak sesuai dengan manajemen modern bagaimana menangani wabah," kata Pandu.

Selain itu, penanganan wabah virus corona di Indoenesia terfragmentasi dan difokuskan pada ekonomi negara, tanpa memikirkan kesehatan rakyat.

"Kan rakyat jadi korban. Jangan dibenturkan nanti rakyat kelaparan bagaimana, kita belum menghadapi situasi itu," ujar Pandu.

"Karena itu saya mendorong pandemi ini harus direspons oleh negara, bukan oleh komite yang pandangannya fragmentit dan tidak punya regulasi yang kuat untuk melalukan sesuatu, hanya manuver-manuver saja," kata dia.

Baca juga: PSBB Ketat Lagi di Jakarta, Rem Darurat Memang Harus Ditarik...

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Rapid Test Covid-19

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi