Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Petani Merugi Saat Sektor Pertanian Tumbuh di Tengah Pandemi Corona, Apa Masalahnya?

Baca di App
Lihat Foto
Tim Ceritalah
Ilustrasi
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Ketika sejumlah sektor perekonomian mengalami kontraksi atau penurunan pertumbuhan di masa pandemi, hal berbeda justru dicatatkan oleh sektor pertanian.

Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo mengatakan, sektor pertanian justru mampu tumbuh di tengah pandemi Covid-19.

Dilansir Antara (3/9/2020), Syahrul mengatakan bahwa sektor pertanian tercatat mampu tumbuh sebesar 16,4 persen. Hal tersebut disebabkan karena produk-produk dari sektor pertanian, sangat dibutuhkan oleh masyarakat.

Baca juga: Beberapa Catatan soal Resesi Inggris...

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pernyataan Syahrul juga sesuai dengan data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Diberitakan Kompas.com (7/8/2020), BPS mencatat, sepanjang April-Juni 2020, kinerja sektor pertanian tumbuh 2,19 persen secara tahunan (year on year/yoy).

Kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 15,46 persen, menjadi sektor terbesar kedua.

Baca juga: Mengenal Apa Itu Resesi Ekonomi, Dampak, dan Penyebabnya...

Petani justru merugi

Namun, meski mencatatkan pencapaian statistik yang positif, kondisi berbeda justru dirasakan para petani di lapangan.

Dilansir Antara (12/9/2020), petani kubis di sentra produksi Desa Buluharjo, Kecamatan Plaosan, Kabupaten Magetan Jawa Timur, melaporkan kerugian akibat harga anjlok di tingkat petani ketika memasuki musim panen.

Pairan, petani kubis di desa tersebut, mengatakan saat ini harga kubis di tingkat petani hanya berkisar Rp 1.000 - Rp 2.000 per kilogram.

Baca juga: Selain Indah, Embun Es di Dieng Juga Bermanfaat bagi Petani, Simak Penjelasannya...

Padahal, sebelumnya harga kubis masih di kisaran Rp 3.000 - Rp 5.000 per kilogram.

Dengan harga yang teramat rendah itu, petani merugi lantaran hasil yang didapat tidak sesuai dengan biaya tanam yang dikeluarkan.

Dia menilai, penurunan harga kubis disebabkan dampak pandemi Covid-19, sehingga daya beli masyarakat menurun dan menyebabkan permintaan pasar lesu.

Baca juga: Kisah Andreas, Anak Petani yang Berhasil Raih 5 Beasiswa Master di Taiwan

Harga hancur

Sementara itu, diberitakan Kompas.com (7/8/2020), Jono, seorang petani cabai di lereng Gunung Merapi, Boyolali, Jawa Tengah, mengatakan bahwa harga jual cabai anjlok.

Harga jual cabai rawit turun drastis menjadi Rp 7.000 per kilogram. Padahal harga normal cabai awalnya bisa mencapai Rp 20.000 per kilogram.

Dengan harga yang turun drastis, Jono mengungkapkan bahwa petani jelas kesulitan.

Baca juga: Viral, Video Detik-detik Truk Cabai di Situbondo Oleng hingga Senggol Pemotor

Dia lantas menuturkan tersendatnya penjualan cabai ke luar Boyolali sebagai salah satu permasalahan.

Sebelumnya, cabai petani Boyolali itu bisa menembus pasar hingga Jakarta dan Kalimantan.

Dia juga mengungkapkan, rendahnya permintaan dari konsumen, dan kendala saat proses distribusi akhirnya membuat harga cabai hancur.

Baca juga: Viral Bagian Dalam Pijakan Kaki Motor Matik Berisikan Cabai, Ini Penjelasannya...

Masalah distribusi dan daya beli

Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional (DPN) Pemuda Tani HKTI Rina Saadah mengatakan, kerugian yang dialami oleh para petani, salah satunya memang disebabkan oleh faktor distribusi.

"Kadang dari daerah ini bisa surplus, dari daerah lainnya bisa kurang. Dari sisi logistiknya saja yang menjadi PR kita itu," kata Rina saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (12/9/2020).

Dia juga mengakui bahwa saat ini memang terjadi penurunan daya beli masyarakat, yang berimbas pada kesulitan petani untuk memasarkan hasil panennya.

Baca juga: Resesi Ekonomi, Mengenal Apa Itu IMF, dan Perannya dalam Perekonomian Global...

Namun, Rina menilai, ada hal lain yang perlu juga dicermati, yakni perubahan pola perilaku konsumen atau consumer behavior.

"Kalau dilihat dari sisi consumer behavior, masyarakat kita di masa pandemi ini cenderung kembali ke pola hidup sehat. Sayuran, ikan, dan konsumsi daging," kata Rina.

Sebagai salah satu solusi untuk menangani masalah distribusi, dia mengusulkan kepada pemerintah daerah untuk mengucurkan bantuan, dalam bentuk pembelian produk-produk hasil panen petani, dan kemudian disalurkan kembali ke masyarakat dalam bentuk bantuan sosial.

"Ini bisa dimanfaatkan juga oleh pemerintah untuk mengangkat kembali daya beli masyarakat. Khususnya, agar petani kita bisa berjalan lagi kegiatan pertaniannya dengan membeli produk-produk mereka," katanya lagi.

Baca juga: Masih Belum Mendapatkan 6 Bantuan Pemerintah? Pastikan Kembali Hal Berikut

Namun untuk itu, dia menyebut harus ada political will atau kemauan serius dari pemerintah untuk melaksanakannya.

"Supaya dalam masa pandemi ini ekonomi kita bisa tetap berputar," kata Rina.

Variasi dan inovasi

Untuk menggenjot keuntungan di sektor pertanian, Rina menilai harus ada variasi produk bernilai tambah dari hasil pertanian.

"Kembali lagi ke consumer behavior, misalkan dari olahan-olahan produk pertanian menjadi jajanan atau cemilan. Produk-produk seperti itu kan digemari anak muda, dengan kemasannya yang bagus dan menarik," ujar dia.

Baca juga: Ruangguru Mundur dari Platform Digital Kartu Prakerja, Apa Dampaknya?

Selain itu, solusi lain untuk mengatasi permasalahan distribusi hasil panen atau produk pertanian adalah dengan memanfaatkan platform digital.

Menurutnya, di masa pandemi ini consumer behavior masyarakat Indonesia lebih memilih untuk belanja online.

"Ini bisa dimanfaatkan, khususnya oleh generasi muda untuk ikut memasarkan produk-produk pertanian melalui e-commerce supaya daya jangkaunya lebih luas, dan juga pelatihan untuk para petani kita untuk terus berinovasi dan melek teknologi," kata Rina.

Baca juga: Alasan Ruangguru Mundur dari Platform Digital Kartu Prakerja

Menguatkan ketahanan pangan

Mengantisipasi terjadinya resesi pertumbuhan ekonomi di kuartal III 2020, Rina menyebut harus ada peningkatan produksi di sektor pangan.

"Di masa pandemi seperti sekarang ini, yang paling krusial adalah pangan. Misalnya harus ditingkatkan, 3-9 kali lipat, untuk menampung pasokan pangan nasional, mengingat kita belum bisa ekspor atau impor," kata Rina.

Sehingga ketika resesi terjadi, stok pangan Indonesia masih mencukupi. Artinya, ketahanan pangan perlu juga diberi perhatian.

Baca juga: Kebijakan Ekspor Benih Lobster Edhy Prabowo Disorot, Disebut Bahayakan Kedaulatan Pangan

Rina menilai, bahwa masa pandemi ini juga bisa dianggap sebagai peluang sekaligus tantangan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional.

"Sektor pertanian dan perikanan ini paling sedikit terdampak, dibanding sektor-sektor yang lain. Dari sisi tenaga kerja, PHK besar-besaran terjadi di perusahaan swasta, pabrik, dan lain sebagainya," kata Rina.

"Saya rasa pertanian ini menjadi sektor unggulan, supaya masyarakat kita kembali bertani. Sekarang kan banyak dari kota-kota besar kembali ke daerah untuk menjadi petani," imbuhnya.

Baca juga: Mengenal Food Estate, Program Pemerintah yang Disebut Dapat Meningkatkan Ketahanan Pangan...

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi