Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jika Sistem Kesehatan Ambruk, Epidemiolog: Tak Ada Jalan Selain Lockdown

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA
Foto aerial suasana Rumah Sakit Darurat Penanganan COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran, di Jakarta, Kamis (10/9/2020). Penyalaan lampu-lampu di Wisma Atlet bukan berarti semua tower terisi pasien COVID-19 tapi menjadi simbol kesiapan Wisma Atlet menghadapi semakin tingginya kasus positif di Ibu Kota, sementara itu Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan kembali memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) total mulai 14 September 2020. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.
|
Editor: Jihad Akbar

KOMPAS.com - Peningkatan kasus baru infeksi virus corona terus terjadi di sejumlah wilayah negara, termasuk di Indonesia.

Di dalam negeri, provinsi dengan jumlah kasus harian Covid-19 terbanyak adalah Ibu Kota, DKI Jakarta.

Berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19, per Senin (14/9/2020), jumlah total kasus Covid-19 di Jakarta ada sebanyak 55.099 kasus.

Sementara itu, kabar menipisnya ruangan perawatan yang tersedia untuk pasien Covid-19 mulai terdengar.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Data yang dipaparkan Pemprov DKI Jakarta melalui Twitter @dkijakarta, per 6 September 2020, 77 persen tempat tidur ruang isolasi di rumah sakit rujukan yang total berjumlah 4.456 unit sudah terisi pasien Covid-19.

Sementara itu, 83 persen dari 483 tempat tidur ruang ICU di rumah sakit yang sama juga telah digunakan untuk merawat pasien Covid-19.

Ini menjadi salah satu alasan Pemprov DKI Jakarta kembali melaksanakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) pengetatan, sebagaimana disampaikan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.

Baca juga: Anies Tarik Rem Darurat, PSBB di Jakarta Kembali seperti Awal Pandemi Covid-19

Pakar Epidemiologi Universitas Indonesia (UI), Tri Yunis Miko Wahyono, menilai penambahan jumlah pasien dan menipisnya ruangan perawatan bia menjadikan sistem kesehatan ambruk.

"Kalau pasien banyak yang tidak tertampung di rumah sakit, maka pasien selanjutnya dirumahkan. Kalau dirumahkan, risiko menularkan pada keluarganya, pada tetangganya akan terus terjadi," kata Miko kepada Kompas.com, Senin (14/9/2020) sore.

"Kalau fasilitas kesehatan sudah penuh, waduh saya enggak bisa bayangkan," lanjutnya.

Miko menyebut kematian pasien Covid-19 di rumah bisa terjadi, apabila mengalami hypoxia tanpa adanya bantuan medis.

Ini tentu akan menimbulkan kepanikan bagi keluarga dan masyarakat di sekitarnya.

Baca juga: Kepatuhan Kita Semua dan Pengendalian Kasus Covid-19 di Indonesia... 

Efek panjang

Sementara itu, Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman, menilai akan ada efek panjang apabila sistem kesehatan ambruk.

Yang utama, ia mengatakan kasus kematian akibat Covid-19 meningkat, karena banyak infeksi yang tidak bisa mendapat pelayanan kesehatan.

"Apalagi kasus Covid-19 ini kan banyak yang membutuhkan bantuan pernapasan. Dan gangguan pernapasan yang sifatnya emergency ini tidak bisa ditunda. Tubuh kita kan memerlukan oksigen, ketika itu tidak terpenuhi ya fatal akibatnya, kematian yang akan terjadi," ujar Dicky kepada Kompas.com, Senin (14/9/2020) malam.

Namun ternyata tidak hanya itu akibatnya.

Dicky menyebut ada dampak jangka panjang yang akan terjadi, yakni penurunan kualitas hidup dan kesehatan masyarakat, yang pada akhirnya akan membebani negara di waktu mendatang.

Baca juga: Berkaca dari Italia, Apa yang Dilakukan Saat Rumah Sakit Penuh?

Pasien tak tertangani yang ada di derajat sedang bisa saja berakhir kritis dan fatal, namun bisa juga sembuh. Tapi, ia menjelaskan sembuh pun bukan berarti semua masalah selesai.

"Misalkan pun pasien berderajat sedang ini bisa melewati masa kritisnya, tapi dampak kerusakan pada organ juga kan terjadi umum. Dan ini dampak jangka panjangnya tidak main-main," sebut Dicky.

Akibat kerusakan organ yang terjadi, sisa infeksi Covid-19 ini bisa memicu datangnya penyakit lain, misalnya jantung dan paru di masa depan.

Kondisi tersebut yang dimaksud Dicky menjadi akibat jangka panjang dan membebani negara di waktu mendatang apabila sistem kesehatan ambruk.

"Artinya dampak pandemi ini bukan dampak jangka pendek saja, bukan hanya kematian saja, tapi juga dampak penurunan kesehatan dalam jangka panjang, termasuk pada anak-anak dan dewasa juga," ungkapnya.

Lockdown satu-satunya pilihan

Jika krisis layanan kesehatan atau ambruknya sistem kesehatan ini benar-benar terjadi, Dicky menyebut tidak ada toleransi apa pun, karantina wilayah atau lockdown yang bersifat total harus dilakukan.

"Bila sudah seperti itu tidak ada jalan lain selain lockdown total (karantina wilayah) sambil menguatkan aspek testing, tracing (isolasi dan karantina)," papar Dicky.

Ambruknya sistem kesehatan bukan hanya hal dalam angan, ini pernah terjadi di sejumlah wilayah selama pandemi Covid-19 ini berlangsung.

Misalnya di New York, Italia, Brazil, dan Wuhan saat gelombang pertama infeksi.

Di saat seperti itu, negara tidak lagi mempunyai alasan untuk tidak memberlakukan penguncian wilayah. Bahkan alasan ekonomi pun tak berlaku.

"Pada situasi tersebut sudah tidak ada pilihan, negara terbatas resources sekali pun, seperti Peru, akhirnya lockdown," pungkas Dicky. 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi