KOMPAS.com - Aturan mengenai pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 menuai polemik.
Pasalnya, dalam Peraturan KPU nomor 10 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan Pilkada dalam Kondisi Bencana Non Alam Covid-19 terdapat sejumlah celah yang berpotensi terjadinya kerumunan massa.
Dalam Pasal 58, misalnya, pertemuan terbatas serta tatap muka dan dialog yang diselenggarakan oleh pasangan calon, partai politik, atau tim kampanye masih diizinkan dengan kehadiran massa maksimal 50 orang.
Selanjutnya, Pasal 59 juga mengizinkan debat publik atau debat terbuka antar-pasangan calon yang dihadiri maksimal 50 orang.
Bahkan, dalam Pasal 63, sejumlah kegiatan, seperti konser musik, jalan santai, bazar, peringatan hari ulang tahun partai, perlombaan yang dihadiri maksimal 100 orang tidak melanggar larangan kampanye.
Di tengah kasus Covid-19 yang masih terus meningkat di Indonesia, aturan-aturan ini dinilai berisiko.
Baca juga: Jumat Siang, Pemerintah Bahas Perppu soal Pelanggaran Protokol Kesehatan di Pilkada
Epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo mengingatkan, prinsip penuralan virus corona adalah pertemuan massa.
Pasalnya, sulit untuk memastikan massa yang menghadiri suatu kegiatan Pilkada bisa menerapkan protokol kesehatan, seperti memakai masker dan menjaga jarak.
"Jadi kalau masih ada aturan yang membuat orang ketemu, potensi penularan masih ada," kata Windhu saat dihubungi Kompas.com, Kamis (17/9/2020).
"Hanya dua orang saja tapi ketemu dengan jarak dekat, pemakaian masker tidak tepat, potensinya tetep ada, apalagi lebih dua orang," lanjut dia.
Aturan yang kontradiktif dengan upaya pencegahan Covid-19
Windhu menyayangkan masih adanya aturan yang kontradiktif dengan prinsip-prinsip pemutusan rantai penularan Covid-19.
Oleh karena itu, ia berharap agar Komisi Pemilihan Umum (KPU) segera memperbaiki aturan itu dalam waktu dekat, sebelum dimulainya masa kampanye.
Ada dua alternatif yang ditawarkan oleh Windhu.
Pertama, jika aturan itu harus tetap ada, KPU bisa memberi klausul atau syarat diperbolehkannya kegiatan yang berpotensi mengundang massa.
Klausul tersebut, hanya boleh dilakukan di daerah-daerah yang berstatus zona hijau selama empat minggu berturut-turut.
"Tidak boleh kemudian pada daerah-daerah di luar zona hijau ada kegiatan semacam itu, kan risikonya tinggi," jelas dia.
Kedua, KPU harus membatalkan seluruh aturan yang memiliki celah adanya kerumunan massa.
Jika aturan itu dihapus, maka kegiatan kampanye hanya diperbolehkan secara daring dan tidak boleh ada kampanye tatap muka.
Baca juga: Polemik Pilkada 2020 di Tengah Pandemi, Mungkinkah Ditunda?
Seharusnya pilkada ditunda
Meski demikian, Windhu menganggap pelaksanaan Pilkada 2020 di tengah pandemi virus corona ini seharusnya ditunda, demi mencegah penularan yang lebih besar.
Sebab, Indonesia saat ini berada pada situasi krisis akibat Covid-19.
"Kasusnya lebih dari 3.500 terus padahal testing-nya belum standar WHO, masih separuhnya. Artinya, di bawah permukaan masih banyak lagi," kata dia.
"Semua pihak harus punya sanse of crisis yang baik. Jangan sampai mengeluarkan kebijakan yang bertolakbelakang dengan prinsip pemutusan penularan," lanjut Windhu.
Menurut Windhu, jika kasus Covid-19 pada November 2020 mendatang masih tajam dan tidak terkendali, pemerintah seharusnya berani menunda pelaksanaan Pilkada.
Baca juga: Desakan Revisi Aturan Konser Musik Saat Kampanye Pilkada Makin Menguat