Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jurnalis
Bergabung sejak: 16 Mar 2020

Eksekutif Produser program talkshow Satu Meja The Forum dan Dua Arah Kompas TV

Pilkada untuk Siapa?

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/BUDI CANDRA SETYA
Petugas kesehatan mengangkat pemilih yang pingsan saat simulasi Pemilihan Kepala Daerah di Banyuwangi, Jawa Timur, Senin (14/9/2020). Simulasi tersebut digelar untuk menyiapkan segala hal yang diperlukan untuk penyelenggaraan Pilkada serentak pada 9 Desember 2020 di tengah wabah COVID-19. ANTARA FOTO/Budi Candra Setya/wsj.
Editor: Heru Margianto


SETELAH melalui perdebatan yang panjang, pemerintah dan DPR RI akhirnya sepakat, Pilkada serentak tetap dilanjutkan.

Keputusan ini diambil setelah Komisi II DPR RI menggelar rapat kerja dengan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Komisi Pemilu Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia yang memimpin raker tersebut menyatakan, Pilkada tidak akan ditunda meski ada sejumlah calon kepala daerah yang terpapar Covid-19. Pilkada Serentak 2020 tetap akan digelar pada 9 Desember 2020.

Desakan penundaan

Sebelumnya, pemerintah didesak untuk menunda Pilkada. Pasalnya, sampai saat ini virus corona masih menggila dan pandemi semakin tak terkendali. Bahkan, dalam beberapa pekan terakhir angka kasus positif Covid-19 meningkat tajam.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Desakan semakin menguat dengan terpaparnya sejumlah calon kepala daerah. Puluhan calon kepala daerah positif Covid-19. Besar dugaan, hal itu terjadi karena mereka melanggar protokol kesehatan saat mendaftar ke KPU di daerah masing-masing.

Pelanggaran yang dilakukan beragam, mulai dari membuat arak-arakan, menyebabkan kerumunan hingga tidak menjaga jarak saat proses pendaftaran. Tak hanya calon kepala daerah, sejumlah komisioner KPU juga terpapar Covid-19 termasuk Ketua KPU Arief Budiman.

Desakan penundaan berasal dari berbagai kalangan, mulai dari tokoh masyarakat, pengamat politik hingga organisasi yang concern dengan Pemilu. Bahkan, dua organisasi besar di Tanah Air, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah menyerukan agar pemerintah menunda Pilkada.

Dua Ormas keagamaan tersebut satu suara, meminta Pilkada ditunda. Nyawa rakyat menjadi taruhannya. Kebijakan penundaan tersebut mesti diambil dengan alasan kemanusiaan. Pemerintah seharusnya lebih memprioritaskan kesehatan dan keselamatan rakyat, bukan memaksakan kebijakan yang mengancam kesehatan dan nyawa orang.

Pilkada jalan terus

Desakan penundaan terus menguat, bahkan ada ancaman Golput alias tidak memilih jika Pilkada tetap digelar. Namun pemerintah dan DPR bergeming. Mereka keukeuh untuk menggelar Pilkada Serentak 2020 Desember tahun ini.

Meski mengaku mendengarkan masukan dari NU, Muhammadiyah dan sejumlah tokoh masyarakat, Presiden Joko Widodo (Jojowi) tetap memutuskan Pilkada 2020 digelar seperti jadwal yang telah ditentukan, yakni 9 Desember.

Keputusan tersebut diambil setelah ia mendapat masukan dari pimpinan dan lembaga di bidang Polhukam serta telah melalui diskusi yang mendalam. Jokowi beralasan, kebijakan itu diambil guna menjamin hak konstitusional rakyat untuk memilih dan dipilih. Tak jelasnya kapan pandemi Covid-19 berakhir juga dijadikan alasan.

Selain itu, pemerintah tak ingin 270 daerah dipimpin oleh pelaksana tugas (plt) dalam waktu bersamaan sebagai ekses dari penundaan pilkada. Plt tak memiliki kewenangan mengambil kebijakan strategis. Padahal di masa pandemic ini, pemerintah daerah harus membuat kebijakan-kebijakan strategis guna menangani pandemi dan pemulihan ekonomi.

Revisi PKPU

Belajar dari kasus pendaftaran beberapa waktu lalu, KPU diminta merevisi Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 10 tahun 2020. Salah satunya melarang pertemuan yang melibatkan massa seperti rapat umum, konser musik, hingga arak-arakan.

Guna menghindari penularan, kampanye juga harus dilakukan melalui daring, mewajibkan penggunaan masker, hand sanitizer, sabun, dan alat pelindung kesehatan lainnya sebagai media kampanye. Tata cara pemungutan suara juga akan diatur demi menghindari penularan virus corona, khususnya untuk pemilih yang rentan terpapar Covid-19.

Pertanyaanya, apakah pemerintah dan DPR bisa menjamin pengabaian protokol kesehatan yang terjadi saat pendaftaran tak terulang? Apalagi, berbagai pertemuan berpotensi terjadi.

Karena para calon kepala daerah butuh dikenal masyarakat juga didengarkan visi misinya. Kemungkinan besar, ini akan dilakukan secara langsung atau tatap muka. Sebab, belum banyak masyarakat yang familiar dengan video conference.

Pilkada juga identik dengan mobilisasi massa. Sulit untuk menerapkan protokol kesehatan karena massa yang terkonsentrasi akan banyak dalam tiap tahapan Pilkada.

Jika ini terjadi, bukan tak mungkin pandemi akan semakin tak terkendali dan Pilkada menjadi klaster baru penularan virus corona.

Kenapa pemerintah dan DPR ngotot untuk melanjutkan Pilkada? Siapa sebenarnya yang berkepentingan Pilkada dilanjutkan? Apa dampak dari penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi?

Apa yang harus dilakukan agar Pilkada tidak menjadi klaster baru dan memicu ledakan kasus Covid-19?

Saksikan pembahasannya dalam talkshow Satu Meja The Forum, Rabu (23/9/2020), yang disiarkan langsung di Kompas TV mulai pukul 20.00 WIB.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi