Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sekretaris Jendral SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit)
Bergabung sejak: 29 Agu 2020

Sekretaris Jendral SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit). Steering committee pada sejumlah lembaga: Tropical Forest Alliance, Hight Carbon Stoke Approach dan SCAI (Sustainable Agricultur Indonesia). Menulis beberapa buku tentang kelapa sawit. Aktif dalam kerja-kerja advokasi sawit rakyat dan membangun model pengelolaan perkebunan terbaik di tingkat petani kelapa sawit.

Pilkada dan Konsesi Sawit

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS/TOTO SIHONO
Ilustrasi pilkada
Editor: Heru Margianto


PILKADA merupakan bagian dari proses demokrasi untuk mencetak pemimpin daerah yang merakyat. Tetapi, sejauh ini, Pilkada belum menghasilkan kepala daerah yang merakyat dan berprestasi untuk melindungi masyarakat dan alam.

Padahal, Pilkada dilakukan secara langsung, agar hasilnya mampu memberikan manfaat bagi rakyat dan lingkungan hidup.

Pilkada yang abai kepada rakyat dan alam besar kemungkinan karena menumpang pada kepentingan korporasi. Hampir semua kandidat Pilkada di daerah kaya sumber daya alam, melakukan persengkokolan dengan korporasi untuk memperoleh sokongan dana untuk pembiayaan Pilkada.

Akibatnya, kepala daerah yang terpilih menghalalkan segala cara untuk mengembalikan modal. Misalnya, korupsi dan gratifikasi. Penerimaan-penerimaan yang melanggar hukum (seperti illicit enrichment dan kickback) kemudian dilumrahkan oleh kepala daerah terpilih.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Benar Schumpeter (1957) bilang, uang merupakan sumber utama untuk politik. Sumber uang berasal dari pencari lahan skala besar dan pemilik sawit luas.

Pilkada kemudian sebagai tempat pertemuan kekal antara politisi, birokrat dan bisnis. Sebut saja kasus yang menimpa Rita Widyasari, mantan Bupati Kutai Kartanegara Kalimantan Timur, untuk menggambarkan bagaimana hubungan tali-temali antara kandidat kepala daerah dalam Pilkada dengan perusahaan sawit dalam bingkai koruptif.

Rita Widyasari dihukum 10 tahun penjara karena terbukti menerima suap dan gratifikasi dari perusahaan sawit. Kasus lainnya juga banyak dan serupa. Sepanjang 2004-2019, Komisi Pemberantasan Korupsi telah memproses 114 kepala daerah: 17 gubernur, 74 bupati dan 23 wali kota.

Orang kuat lokal

Orang kuat dalam terminology Joel S. Migdal (2004) merupakan suatu sistem jaringan antara politisi, birokrat dan pengusaha hingga memiliki kontrol sosial sangat kuat di daerah. Aliansi yang paten ini kemudian ikut menguasai sumber-sumber daya lokal seperti tanah dan keuangan.

Desentralisasi membuka ruang bagi mereka menjadi pemain bebas untuk mengendalikan politik ekonomi di tingkat daerah. Akhirnya demokrasi hanya digenggam oleh orang kuat lokal.

Pengusaha sawit, hidup dalam bayang-bayang rezim lokal dan berdiri antara masyarakat dan petani pemilik tanah dan elit.

Mereka juga memiliki kontrol sosial serta politik yang kuat dan menjadi bagian aliansi lokal sebagai predator tanah rakyat. Yashiro Kunio (1990) menyebut mereka kapitalis semu, yakni pengusaha yang hidup karena koneksi dengan pemerintah.

Emil Salim menyebut, antara politikus dan pengusaha seperti dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, membutuhkan satu sama lain.

Politikus melalui parpolnya membutuhkan dana untuk merebut pemerintahan. Sementara pengusaha butuh politikus yang mengelola negara agar bisnis dan usahanya tetap berjalan lancar atau makin besar. Setelah mereka berkuasa, pengusaha dapat memaksa pemerintah untuk mendapatkan konsesi lahan. Baca: Emil Salim Ungkap Keterkaitan SDA Dikuasai Pengusaha dengan Kepentingan Politik 

Pilkada mestinya membawa perubahan bagi masyarakat. Namun, calon kepala daerah yang dibiaya oleh korporasi hanya akan menjadi benalu yang menempel pada pohon bisnis. Kepala daerah sebetulnya memiliki kedaulatan untuk menata bisnis secara adil dan memuliakan masyarakat sebagai mandat politik demokrasi.

Jebakan batman sawit membuat pemimpin di daerah tidak banyak melakukan inovasi. Kepala daerah terjebak pada kesibukan dan rutinitas pemberian izin sawit bagi cukong atau pengusaha hitam. Akhirnya, inovasi untuk daerah hampir nihil dan birokrasi menjadi tidak melayani rakyat.

Pertumbuhan izin sawit setelah Pilkada sangat pesat. Ruang hidup masyarakat dibatasi oleh konsesi sawit. Secara nasional tahun 2015, luas Izin Usaha Perkebunan (IUP) mencapai 18.391.601 hektar (FWI, 2019).

Kenaikan jumlah izin konsesi naik pesat pada 2020. IUP sudah mencapai 20.004.299 hektar di 23 provinsi (Kementan 2019). Terjadi peningkatan signifikan dalam penerbitan IUP untuk satu periode kepala daerah seluas 1,7 juta hektar.

Eskalasi izin sawit tersebut nyata-nyata dipicu oleh keterbatasan dana para calon kepala daerah. Alhasil, kepala daerah terpilih memburu dana dari konsesi perkebunan.

Lagi-lagi, contoh yang dapat diambil dari beberapa kasus korupsi tentang hal ini adalah korupsi mantan Bupati Kutai Kertanegara, kasus di Provinsi Riau serta Kabupaten Buol Sulawesi Tengah, di mana para kepala daerah memperoleh dana dari perusahaan sawit.

Bupati Rita di Kutai Kertanegara setelah dilantik pada tahun 2015 memuluskan perizinan PT Sawit Golden Prima seluas 16.000 hektar. Rita mendapat dana sejumlah Rp 6 miliar.

Sementara Gubernur Riau Annas Makmun ditangkap KPK karena mendapatkan dana suap dari PT Duta Palma Group tahun 2014 dengan tujuan untuk merubah status Kawasan Hutan menjadi Areal Penggunaan Lainnya dan menerima uang sebesar Rp 2 miliar. Padahal Annas tidak sampai satu tahun menjabat.

Begitupun halnya Bupati Buol Sulawesi Tengah Amran Batalipu pada tahun 2012 memperoleh dana Rp 3 miliar dari perusahaan sawit PT Citra Cakra Murdaya dan PT Hardaya. Inilah karya-karya pertautan bos lokal berkaitan dengan izin sawit.

Marjinalisasi masyarakat

Kuatnya persekutuan orang kuat lokal dan pengelola pemerintahan lokal, berdampak pada tergusurnya wilayah kelola masyarakat akibat luasnya konsesi izin.

Bandingkan misalnya, di Provinsi Riau, tutupan sawit seluas 3,2 juta hektar (Madani, 2019), pertambangan 310 ribu hektar, konsesi hutan tanaman industri 1,9 juta hektar, dan kawasan lindung 3.3 juta hektar. Kumulasi luasan tersebut memakan hampir menguasai luas wilayah Riau yang hanya 8,7 juta hektar.

Banyak rakyat dan komunitas dimarjinalkan. Wilayah kelola masyarakat adat yang dimiliki secara turun-temurun digusur seketika oleh secarik kertas bernama IUP dan HGU (Hak Guna Usaha) yang diberikan sewenang-wemang oleh kepala daerah.

Begitupun Petani kelapa sawit dikebiri dalam skema kemitraan oleh perusahaan perkebunan. Parahnya, kepala daerah cendrung abai membela petani sawit. Belum lagi izin yang ikut menggunduli hutan.

Perebutan wilayah kelola di masa mendatang dapat menghadirkan konflik sosial antara perusahaan dan masyarakat serta antara masyarakat dan negara.

Sebagaimana konflik yang terjadi baru-baru ini di Kalimantan Tengah. Lahan milik masyarakat adat suku Dayak Kalimantan Tengah di Kinipan kabupaten Lamandau digusur oleh Izin Usaha PT SML (Sawit Mandiri Lestari). Perusahaan ini erat kaitannya dengan bos-bos lokal di Provinsi Kalimantan Tengah.

Inovasi daerah

Di Indonesia, aksi inovasi daerah dimulai oleh Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL). Baru 18 Kabupaten di Indonesia memiliki inovasi pembangunan hijau dengan indikator capaian yang memadai.

Ini menunjukkan bahwa kabupaten dapat melakukannya jika dimotori secara baik. Namun tantangannya besar, elit nasional dan kementerian akan selalu merecoki dengan pendekatan eksploitatif dengan regulasi yang merusak inovasi daerah.

Inovasi daerah memang tidak akan menghadirkan uang bagi bos lokal. Ini investasi yang tidak diinginkan oleh orang kuat lokal. Karena kalau membesar, akan menjadi populis hingga menggusur investasi eksploitatif.

Namun harus berani mengambil jalan ini. Kepala daerah terpilih hendaknya tidak hanya menonjolkan kemampuan memberi izin. Akan tetapi, mengedepankan inovasi pembangunan daerah tanpa harus mengeksploitasi sumberdaya alam.

Tulang punggung daerah adalah kekuatan warga untuk dimobilisasi guna menghasilkan beragam inovasi bagi pertumbuhan ekonomi di daerah. Ini merupakan salah satu misi mengapa masyarakat ikut memilih pemimpinnya secara langsung.

Kepala daerah terpilih, perlu menjaga masyarakat dan lingkungan agar menghadirkan keadilan dan kesejahteraan bagi masyarakat marjinal. Mereka harus berani keluar dari aliansi dengan para predatoris lokal dan menjadi lawannya.

Dengan kata lain, kepala daerah harus mampu menyelesaikan ketimpangan penguasaan sumber daya alam yang kebanyakan dikuasai oleh korporasi.

Transformasi ekonomi di wilayah yang kaya akan sawit hanya akan mampu dihadirkan oleh kepala daerah yang bersih dari kepentingan oligarki korporasi sawit dan sektor bisnis besar lainnya. Tanpa itu, mustahil kita mengharapkan perubahan dari sebuah Pilkada yang dikendalikan dan dibiayai korporasi sawit.

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi