Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dosen Prodi Jurnalistik UMN
Bergabung sejak: 27 Mei 2020

Mantan jurnalis media online. Saat ini bekerja sebagai dosen di Prodi Jurnalistik, Universitas Multimedia Nusantara (UMN). Ia sedang menyusun disertasi di Program Pascasarjana, Departemen Ilmu Komunikasi, Universitas Indonesia. Minat risetnya adalah kajian media, jurnalisme dan isu keberagaman.

Doxing, Ancaman bagi Pers di Era Digital

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo
Apa itu Doxing, Bagaimana Dampak, dan Cara Pencegahannya?
Editor: Heru Margianto


AMANDA Hess, jurnalis Slate, sedang berlibur ketika teleponnya berbunyi pada dini hari. Seorang temannya mengirimkan pesan setelah menemukan akun twitter yang sepertinya sengaja dibuat untuk menebar ancaman pembunuhan terhadap Amanda.

Dia bangun, membuka laptop, dan mulai membaca pesan-pesan itu. Isinya mulai dari mencela fisiknya hingga pelecehan seksual secara verbal. Lalu ia sampai pada ancaman pembunuhan itu: “Saya bersumpah, kamu akan mati dan sayalah yang akan membunuhmu.”

Amanda bercerita, orang-orang yang tidak menyukai tulisannya kerap mencari emailnya, mengirimkan pesan-pesan bernada ancaman. Foto pribadinya pun disebarkan dan ditambahkan komentar tak pantas. Kisah Amanda yang ditulisnya pada 2014 itu bisa dibaca di sini

Apa yang dialami Amanda disebut sebagai doxing. Menurut Poynter, doxing biasanya dimulai dengan menyebarkan informasi pribadi seseorang dengan tujuan merisak dan mengintimidasi.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Level berikutnya adalah serangan melalui telepon atau kiriman pesan dari nomor-nomor tidak dikenal, juga lewat media sosial. Pesan yang dikirim bisa saja sampai ancaman perkosaan dan pembunuhan seperti yang dialami oleh Amanda.

Maraknya serangan doxing pada jurnalis

Kasus Amanda tadi bukanlah kasus yang langka. Banyak jurnalis di berbagai penjuru dunia mengalami doxing.

Awal tahun ini, reporter The Daily Beast Scott Bixby menerima banyak pesan teks dan suara beberapa jam setelah dia menulis tentang seorang staf kampanye Senator Bernie Sander yang menggunakan kata-kata yang merendahkan kandidat lawan di akun Twitternya.

Menurut Business Insider, beberapa akun Twitter menuliskan lokasi dan harga apartemen yang mereka klaim dimiliki oleh Bixby.

Bentuk doxing lainnya dialami oleh jurnalis Jezebel Anna Merlan. Selain ancaman perkosaan, dia menerima email dari Domino Pizza yang memberitahukan bahwa pesanannya sudah siap dan dibayar cash saat diterima. Ia tidak pernah memesan makanan senilai hampir 50 dolar atau setara Rp 700 ribu itu.

Pemesan pizza itu menemukan alamat apartemen lama Merlan dan memakainya buat mengintimidasi. Doxing yang dialaminya terjadi setelah ia menulis tentang hasil polling majalah TIME mengenai kata-kata yang menurut para responden harus dilarang, salah satunya adalah kata “feminis”.

Pesanan makanan ini juga bentuk doxing yang dialami oleh jurnalis Detik.com. Pada Mei 2020, jurnalis ini mendapat kiriman makanan bertubi-tubi melalui aplikasi ojek online.

Ini terjadi setelah ia menuliskan berita mengenai kunjungan Jokowi ke Bekasi dalam rangka pembukaan mal. Jurnalis tersebut juga diduga menerima ancaman pembunuhan dari orang tidak dikenal melalui Whatsapp. Baca juga: AJI Jakarta Desak Polisi Usut Dugaan Doxing dan Intimidasi ke Jurnalis Detik.com

Kisah doxing lainnya diceritakan mantan jurnalis media online, Hindra. Ia meyakini serangan itu dipicu tugasnya yang banyak mengedit berita tentang mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok).

Hindra menuturkan bahwa sebuah laman Facebook bernama Anti Kompas pada November 2014 mengunggah pesan yang mencitrakan Hindra sebagai pendukung Ahok, dan selalu membuat berita yang menyudutkan umat Islam.

Narasi itu dibumbui dengan penyebaran foto-foto pribadinya secara tendensius, salah satunya saat dia meminum bir. Foto lainnya adalah saat dia bersama Ahok.

Kasus doxing terbaru dialami oleh jurnalis Liputan6.com. Ini terjadi setelah karyanya berupa artikel cek fakta terbit. Artikel tersebut melakukan verifikasi terhadap klaim bahwa seorang politikus adalah cucu pendiri PKI.

Menurut Liputan6.com, ada empat akun Instagram yang digunakan untuk doxing terhadap jurnalisnya. Akun-akun itu mencantumkan link yang mengarah ke alamat rumah, foto keluarga, dan foto anak dari jurnalis.

Redaksi Liputan6.com telah melaporkan kasus tersebut ke penegak hukum. Baca juga: Jurnalis Pemeriksa Fakta Jadi Korban Doxing, Liputan6.com Tempuh Jalur Hukum

Chilling effect dari doxing

Ide utama dari konsep chilling effect adalah informasi yang bernilai sosial menjadi tidak bisa dibuat (disebarkan) karena orang takut akan risiko hukum yang mungkin dihadapinya.

Dalam jurnalisme, konsep ini banyak dikaitkan dengan regulasi yang berpotensi menghambat kebebasan pers, seperti UU ITE.

Konsep ini bisa ditarik ke konteks yang lebih luas. Di luar hukum, ada berbagai hal yang membuat jurnalis melakukan filter informasi, memilih untuk tidak memberitakan sesuatu karena khawatir dengan konsekuensi yang mungkin dihadapinya.

Persekusi, baik offline maupun online, termasuk doxing berpotensi membuat jurnalis ketar-ketir ketika menuliskan informasi tentang orang atau kelompok tertentu.

Rangkaian kasus doxing di Indonesia, dan juga di luar negeri, menunjukkan bahwa banyak kasus hanya berakhir sebagai tulisan atau bahan diskusi. Penegakan hukum untuk kasus doxing terbilang lemah.

Dalam diskusi Ikatan Jurnalis Online pada Minggu, 20 September 2020, mengemuka sebuah keputusan satu media online yang memilih tidak mencantumkan nama penulis artikel cek fakta demi keamanan wartawannya.

Lepas dari ini bisa menjadi solusi sementara, ini bukan kondisi yang ideal. Jurnalis harusnya bisa bekerja tanpa merasa khawatir.

PR bersama untuk meningkatkan keamanan jurnalis

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dan Asosiasi Media siber Indonesia (AMSI) telah menyampaikan desakan agar penegak hukum mengusut tuntas kasus ini doxing Liputan6 ini. Ini juga menjadi bahasan dalam diskusi Ikatan Jurnalis Online.

Penegakan hukum terkait doxing dianggap menjadi tantangan karena tidak ada aturan yang spesifik mengaturnya soal sanksi terhadap penyebaran informasi pribadi jurnalis. Penegak hukum bisa menggunakan KUHP dan UU Pers bila terjadi serangan fisik terhadap jurnalis, namun sulit untuk kasus doxing.

Absennya peraturan bukan berarti pelaku doxing terhadap jurnalis boleh melenggang tanpa sanksi hukum. Merujuk kepada UU Pers Pasal 4, “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.”

Orang yang melawan hukum dengan menghambat pelaksanaan ketentuan pasal tersebut bisa dipidana penjara paling lama dua tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta. Doxing sebagai bentuk intimidasi dan gangguan semestinya termasuk dalam tindak yang berusaha menghalangi kerja pers dalam menyebarkan informasi.

Sinergi kuat antara pekerja pers, media, Dewan Pers, pembuat undang-undang dan penegak hukum diperlukan untuk menyusun peraturan demi mencegah dan menindak doxing terhadap jurnalis yang kian marak. Undang-undang perlidungan pers yang telah berusia 20 tahun perlu menyesuaikan diri dengan fenomena digital terkini.

Media, asosiasi, dan Dewan Pers juga harus sama-sama kuat memperjuangkan penegakan hukum dalam kasus-kasus persekusi terhadap jurnalis, termasuk doxing. Seruan dan imbauan kepada penegak hukum melalui rilis tidaklah cukup.

Idealnya, kasus harus dikawal sampai tuntas. Ada beberapa kasus yang setelah terbongkar berakhir dengan jabat tangan damai antara pelaku dan korban. Ini tidak memberikan efek jera dan justru memberikan sinyal yang salah kepada masyarakat.

Terakhir, sambil berharap ada perubahan regulasi dan penegakan hukum yang lebih berpihak ke perlindungan kerja jurnalis, pekerja pers mau tidak mau harus memastikan keamanan data pribadi.

Di sini, media berperan untuk mengedukasi jurnalis mengenai digital hygiene. Jurnalis perlu sangat berhati-hati ketika membagikan informasi pribadi di media sosial karena paling rentan buat aksi para pencoleng informasi pribadi.

Seperti yang dikatakan profesor Fakultas Hukum University of Chicago Eric Posner, “Efek besar dari media sosial adalah media sosial memungkinkan orang untuk menyebarkan opini, atau lebih tepatnya reaksi sembrono, ke seluruh dunia secara instan, tanpa jeda untuk mempertimbangkannya.”

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Apa itu Doxing, Bagaimana Dampak, dan Cara Pencegahannya?

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi