Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bergabung sejak: 21 Nov 2018

Mantan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Duta Besar Indonesia untuk Rusia dan Belarusia.

Serangan Fajar ala Covid-19

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/M RISYAL HIDAYAT
Seorang tenaga kesehatan yang mengenakan alat pelindung diri lengkap membawa sample tes usap (swab test) COVID-19 milik warga di kawasan Pasar Keputran, Surabaya, Jawa Timur, Kamis (17/9/2020). Pemerintah Kota Surabaya menyediakan 500 kuota tes usap secara gratis bagi warga Surabaya yang melintas di kawasan tersebut. ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/nz
Editor: Ana Shofiana Syatiri

Covid-19 memang luar biasa daya destruksi dan pola perubahan hidup manusia yang diakibatkannya.

Sebelum Covid-19 datang meneror, sebagian bangsa kita masih memuja-muji, menyembah, mempercayai bahwa benda-benda mati memiliki kekuatan supra-natural.

Berbagai cara ritual dilakukan untuk itu semua. Batu, gunung, pohon meranggas, sumur tua dan sebagainya, disembah dengan sesajen, pakai dupa, lengkap dengan kemenyan, sembari mata dipejamkan dan mulut berkomat-kamit membaca mantera.

Covid-19 muncul. Kita pun semua berubah arah. Benda mati atau benda hidup, kita tidak percayai lagi.

Suami-isteri saling awas, tertular atau tidak. Meja, pintu, bangku, kursi (benda mati) kita semprot sebelum menyentuhnya. Tidak ada lagi yang kita percayai.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Anda terbang dari Jakarta ke Surabaya, hanya sejam. Namun, prosedur dan persyaratannya luar biasa ribet, mungkin melebihi persyaratan ke surga.

Terbang sejam mensyaratkan adanya tetesan darah melalui rapid test. Ke surga, tidak ada persyaratan darah yang menetes. Luar biasa Covid ini.

Angka yang tertular dan meninggal kian naik. Wilayah jelajah jangkauannya pun kian tak terkendali.

Penetrasinya tidak lagi mengenal status sosial. Menteri pun terkapar dibuatnya, padahal, kurang apa lagi protokol kesehatan dan taat azasnya menteri.

Tambahan lagi, sudah ada 61 orang calon kepala daerah yang positif terinfeksi, dan ada yang meninggal. Para dokter dan perawat bertekuk lutut. Banyak yang meninggal.

Lantas, pemilihan kepala daerah, hingga kini, masih direncakan pelaksanaannya pada Desember 2020.

Covid-19 menyebar melalui interaksi antar manusia dan benda-benda mati. Semuanya itu ada dalam pemilihan kepala daerah, terutama saat kampanye, pencoblosan dan perhitungan suara.

Para ponggawa (menteri) negeri beralibi bahwa aturan kian ketat, pelaksanaan hukum makin keras. Tidak akan terjadi lonjakan Covid -19 karena pilkada.

Katanya lagi, kami sudah menurunkan anggaran untuk pilkada yang super ketat sehingga kemungkinan penularan dan pengembangbiakan virus, tidak perlu dikhawatirkan, dan anggaran itu akan mendorong ekonomi rakyat, kata seorang ponggawa negeri.

Bagaimana kalau anggaran itu kita pakai langsung untuk mengatasi Covid- 19 ini?

Gampang sekali mematahkan alasan itu. Sedangkan tak ada pilkada, angka orang tertular dan meninggal, tidak bisa dikendalikan. Bagaimana lagi kalau pilkada dilangsungkan.

Pilkada berarti mobilisasi manusia ke TPS. Ada 270 kabupaten/kota dan 9 provinsi menyelenggarakan pilkada. Angka yang sangat fantastis untuk memungkinkan berkecambahnya virus.

Tak ada jaminan bahwa Covid-19 mereda tahun depan, karena itu, pilkada tetap dilakukan. Begitu alibi para ponggawa negeri. Bukankah selama ini, para ponggawa negeri kita telah mendeklarasikan bahwa sudah sekian juta vaksin akan memenuhi negeri kita awal tahun depan sehingga bersinar harapan untuk menaklukkan Covid-19?

Mengapa terjadi dua argumen yang bersilangan, satu dengan lainnya? Tentu saja, tidak ada jaminan Covid-19 berahir tahun depan, tetapi ada harapan.

Dan bukankah ada sejumlah wali kota/bupati masih memiliki sisa jabatan hingga tahun depan? Lagi pula, selama ini kita mengenai dan mempraktikkan mekanisme pelaksana tugas (Plt)? Semuanya berjalan baik tanpa ada riak.

Mengapa ponggawa negeri tiba-tiba terkesan alergi dengan mekanisme Plt? Wah, Plt itu tidak berwibawa nanti, karena tidak dipilih rakyat, kata seorang ponggawa negeri. Namanya Plt, tentu sementara, tidak terus menerus.

Apa yang terjadi, bila pilkada tetap diteruskan, para pemilih takut menggunakan hak pilih mereka lantaran Covid-19?

Legitimasi orang yang terpilih ditentukan oleh jumlah orang yang memilihnya (voters turnout). Ketakutan tersebut bisa terjadi karena alasan alami, atau para calon yang saling mematikan itu, melempar isu tersebut untuk kawasan tertentu yang mungkin bukan basisnya.

Lalu, saingannya melakukan hal yang sama. Apa para ponggawa bisa mendeteksi ini?

Dan kalau toh bisa, bagaimana menghukumnya? Bukankah selama ini, pilkada yang telah kita lakukan, pengalaman menunjukkan, menjelang hari pencoblosan, ada istilah serangan fajar, alias bagi-bagi sembako dan uang ke rakyat?

Bisa jadi isu Covid-19 ini jadi agenda serangan fajar kelak. Tentu lebih murah karena tak perlu membagi uang dan barang. Cukup menyebar kisah tentang Covid-19. Bisa-bisa memang, para calon menggunakan Covid-19 menyerang lawan sebelum fajar menyingsing.

Tapi ya, siapa kami ini. Kami hanya punya semangat keprihatinan, tapi tidak punya kuasa dan kewenangan. DPR, Pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum yang memiliki otoritas untuk mengatakan, kita tunda atau kita teruskan pilkada.

Pemerintah bukan satu-satunya pihak yang menentukan terus tidaknya pilkada. Kita salah bila hanya pemerintah yang kita sorot. DPR RI dan KPU juga menentukan, begitu bunyi ketentuan yang ada.

Saya kira, pihak DPR lebih banyak kepentingannya untuk meneruskan pilkada karena faktor calon-calon yang diajukan oleh masing-masing partai di daerah. Para anggota DPR RI diajukan oleh partai politik.

Di atas segalanya, bukankah lebih baik bila para penentu tersebut duduk bareng dengan para ahli epidemik dan dokter, bicara dari hati ke hati, atas nama dan demi kemaslahatan rakyat.

Para ahli epedemik dan dokter inilah yang memiliki otoritas memberi prediksi tentang risiko kesehatan dan nyawa, melanjutkan atau tidaknya pilkada pada bulan Desember. Jangan hanya dilihat dari satu aspek, misalnya, aspek politik saja.

Biarkanlah para ahli epedemik dan dokter, secara leluasa mengemukakan keahliannya.

Selain itu, tentu mereka memiliki data otentik yang original, yang bisa menjelaskan apa sesungguhnya yang terjadi dan sampai kapan kita akan mengalaminya? Moga memang begitu.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi