Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pilkada 2020 di Tengah Pandemi, Apa yang Memberatkan Pemerintah?

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.COM/FIRMAN TAUFIQURRAHMAN
ILUSTRASI - Pelaksanaaan pemungutan suara di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Pemerintah memutuskan untuk tetap menggelar pemilihan kepala daerah (Pilkada) di tengah ancaman pandemi virus corona.

Meski desakan telah dilakukan oleh sejumlah pihak, termasuk Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan dua ormas terbesar Indonesia, hal itu tak cukup membuat pemerintah berubah pikiran untuk menunda Pilkada 2020.

Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro (Undip) Wijayanto menganggap, Pilkada 2020 di tengah ancaman Covid-19 hanya untuk melenggangkan kepentingan elit oligarki.

Baca juga: Menilik Fenomena Artis dalam Bursa Pilkada...

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebab, pemerintah tak lagi mendengar kehendak publik yang menginginkan penundaan Pilkada 2020.

"Sehingga Pilkada bukan menjadi instrumen demokrasi, tetapi justru menjadi instrumen alat politik saja untuk ada di dalam kekuasaan," kata Wijayanto saat dihubungi Kompas.com, Jumat (25/9/2020).

Menurutnya, sikap pemerintah yang 'ngotot' melaksanan Pilkada 2020 untk memastikan agar sirkulasi di antara para elit segera terjadi.

Baca juga: Pandemi Corona Masih Berlangsung, Mungkinkah Pilkada Ditunda?

Hal itu bisa terjadi karena adanya konsolidasi di kalangan elit oligarki sejak Pemilu 2019 berakhir.

"Prabowo sudah merapat ke kekuasaan, sehingga nyaris tidak ada oposisi di parlemen maupun pemerintahan," jelas dia.

"Hanya PKS saja yang posisinya berbeda, tapi kita juga tidak mendengar mereka menolak Pilkada dilaksanakan tahun ini," lanjutnya.

Dengan kondisi ini, Wijayanto menyebut elit politik hanya memilih kepentingan sendiri. Mereka juga percata bahwa tidak akan ada yang bisa menghentikan mereka.

Baca juga: Pro Kontra Pilkada Langsung dan Pertanda Kemunduran Demokrasi...

Runtuhnya demokrasi

Ia menjelaskan, tetap digelarnya Pilkada di tengah pandemi akan berisiko memakan korban yang sangat banyak.

Jika hal itu terjadi, maka demokrasi di Indonesia akan runtuh.

"Ini menjadi catatan hitam dalam sejarah demokrasi politik Indonesia, di mana elit menutup mata pada aspirasi publik, bahkan tega menjerumuskan rakyat dalam situasi rentan," tutur dia.

Baca juga: Langkah Mulus Gibran dalam Pencalonan Pilkada Solo 2020...

Wijayanto mengingatkan, beberapa riset menyebut bahwa demokrasi di Indonesia saat ini mengalami kemunduran dan salah satunya disebabkan oleh rendahnya kepercayaan kepada elit politik.

Dengan adanya Pilkada 2020 ini, publik akan kecewa sehingga kepercayaan mereka akan semakin turun. Hal ini berpotensi menyebabkan krisis politik, selain krisis kesehatan.

"Itu bisa membawa dari krisis kesehatan menjadi krisi politik. Ongkosnya tidak hanya nyawa, tetapi juga ongkos sosial dan politik. Nyawa saja itu sudah melampaui segalanya," kata dia.

"Golput sudah bisa diprediksikan akan tinggi, kualitas pemilu rendah, kualitas demokrasi juga buruk," lanjutnya.

Baca juga: Jadi Calon Wali Kota Solo, Berapa Harta Kekayaan Gibran?

Dilematis

Sementara itu, Direktur Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia (UI) Aditya Perdana mengatakan, pemerintah berada dalam situasi dilematis terkait pelaksanaan Pilkada tahun ini.

Pasalnya, posisi pelaksana tugas (Plt) pemimpin daerah dinilai tidak akan berjalan optimal dan menimbulkan masalah lain.

"Karena memang pilkada langsung maka kemudian ada posisi Plt. Itu kewenangannya terbatas, durasinya juga terbatas karena enggak bisa 5 tahun," kata Aditya, dihubungi secara terpisah, Jumat.

Baca juga: Bagaimana Cara Membedakan Flu dengan Covid-19?

"Sementara kita berada pada posisi ketidakpastian karena pandemi. Kita tidak tahu kapan pandemi ini selesai," lanjutnya.

Jika memang keputusan politik sudah bulat untuk tetap melanjutkan Pilkada 2020, Aditya menyarankan harus ada persyaratan yang kuat, yaitu larangan semua bentuk kerumunan massa.

Sayangnya, aturan dalam Peraturan KPU Nomor 6 Tahun 2020 tidak mendukung untuk itu. Selain itu, sanksi yang ada terkait pelanggar protokol kesehatan juga belum jelas.

Baca juga: Sudah Tahu Aturan Pilkada Saat Pandemi? Ini Bedanya dari Tahun Lalu

Soal usulan diskualifikasi peserta Pilkada karena melanggar protokol kesehatan, Aditya menyebut konteksnya rumit.

Pasalnya, dalam Undang-Undang Pilkada hanya disebutkan sanksi yang berkaitan dengan pelaksanaan Pilkada, misalnya manipulasi suara dan politik uang.

Sementara kondisi saat ini, Pilkada menghadapi dua potensi pelanggaran, yaitu protokol kesehatan dan pelanggaran apa pun yang domainnya pemilu.

"Artinya dalam situasi Pilkada di masa pandemi, harus mendifinisikan pelanggaran bukan hanya semata-mata soal Pilkada saja, tapi juga persoalan protokol kesehatan," tutur dia.

Baca juga: Perjuangan Manusia Terberat di Dunia 2017 Sembuh dari Covid-19...

Kendati demikian, ia menganggap pendiskualifikasian peserta Pilkada karena tidak memperhatikan protokol kesehatan sah-sah saja.

Sebab, hal itu menunjukkan bahwa calon kepala daerah itu tidak punya sanse of crisis dan pandangan bagaimana mengatasi persoalan-persoalan mencakup krisis.

"Jadi tidak layak aja menurut saya dijadikan calon. Artinya sekarang berani enggak untuk memberikan sanksi itu di level paling tinggi," tutupnya.

Baca juga: Melihat Peluang Gibran di Pilkada Solo 2020...

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Kampanye Pilkada 2020, Sanksi jika Nekat Gelar Konser

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi