KOMPAS.com - Harapan agar penyelenggaraan pemilihan kepala daerah serentak (pilkada) 2020 ditunda, terus disampaikan.
Sejumlah organisasi seperti Nahdlatul Ulama dan PP Muhammadiyah, serta para ahli epidemiologi meminta pemerintah menunda Pilkada 2020.
Alasannya, dalam situasi pandemi virus corona dan kasus Covid-19 yang belum terkendali di Indonesia, tahapan pilkada dikhawatirkan memicu munculnya klaster-klaster baru.
Namun, pemerintah telah memutuskan tidak akan menunda Pilkada 2020.
Di media sosial, warganet juga memohon pemerintah menunda pesta demokrasi daerah ini.
Pada tahun ini, total ada 270 pemilihan kepala daerah di tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang akan diselenggarakan.
Baca juga: Kekhawatiran Gus Mus: Jangan-jangan Hanya Pemerintah yang Yakin Pilkada Akan Aman
Akun lainnya juga menyuarakan aspirasi yang hampir sama.
Baca juga: Epidemiolog: Pilkada Serentak Potensial Lahirkan Banyak Klaster Baru
Epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo mengatakan, Pilkada 2020 memang sebaiknya ditunda.
Penundaan tersebut dilakukan hingga wabah Covid-19 di Indonesia dapat terkendali dan kondisi sudah memungkinkan.
"Pilkada seharusnya ditunda. Waktu penyelenggaraan baru ditentukan setelah kasus positif Covid-19 harian mencapai puncak dan tren menurun," kata Windhu saat dihubungi Kompas.com, Kamis (24/9/2020).
Ia mengatakan, jika pilkada tetap terlaksana, maka pemerintah harus mengeluarkan peraturan baru yang dijadikan dasar peraturan Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Kalau pilkada tetap nekat dilanjutkan, Presiden harus mengeluarkan Perppu(Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang) yang dijadikan dasar Peraturan KPU baru," ujar di.
Baca juga: 1.254 Orang di Indonesia Meninggal Akibat Corona dalam 10 Hari, Ini Saran Epidemiolog
Isi dalam Perppu tersebut, lanjut dia, harus mengatur beberapa hal, seperti tak mengizinkan adanya kegiatan kampanye dan sosialisasi secara langsung.
Kegiatan kampanye dan sosialisasi calon pemimpin daerah harus dilakukan secara online.
"Tidak boleh ada kegiatan kampanye dan sosialisasi dalam modalitas mana pun yang berupa tatap muka offline. Semua harus secara online atau virtual dengan menggunakan berbagai teknologi komunikasi dan informasi yang tersedia," kata dia.
Selain itu, sistem pemungutan suara juga wajib diganti dengan tidak mendatangkan pemilih ke Tempat Pemungutan Suara (TPS), melainkan melalui pos dan atau e-voting yang teknologinya sudah tersedia.
"Ini semua soal kemauan politik saja," kata Windhu.
Baca juga: Pandemi Covid-19 di Jawa Disebut Belum Capai Puncak, Ini Pesan Epidemiolog
Menurut Windhu, hak atas kesehatan merupakan salah satu bagian dari hak asasi manusia (HAM) yang harus dilindungi dan dipenuhi oleh negara yang tidak boleh dikalahkan oleh Pilkada yang merupakan instrumen demokrasi.
"HAM dan demokrasi adalah dua sisi koin mata uang yang sama," ujar dia.
Windhu menyebutkan, kesehatan dan keselamatan masyarakat harus menjadi prioritas utama.
"Pertimbangan kesehatan (dan tentu keselamatan) masyarakat harus menjadi prioritas utama di atas kepentingan ekonomi dan politik," kata Windhu.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.