Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kenapa Masa Jabatan Hakim di AS Seumur Hidup?

Baca di App
Lihat Foto
AP/Jose Luis Magana
Bangunan Mahkamah Agung AS di Washington. Di dalam foto ini, tampak para pelayat memberi penghormatan terakhir saat jasad Hakim Agung AS Ruth Bader Ginsburg berbaring di bawah Portico di puncak tangga depan gedung Mahkamah Agung AS pada Rabu, 23 September 2020.
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Pekan lalu, Hakim Mahkamah Agung AS Ruth Brader Ginsburg, meninggal dunia pada usia 87 tahun karena kanker yang dideritanya.

Ginsburg merupakan seorang ikon pejuang hak-hak perempuan dan dikenal dekat dengan kaum liberal.

Ia adalah hakim tertua dan perempuan kedua yang duduk di Mahkamah Agung, di mana ia menjabat selama 27 tahun.

Sebagaimana diketahui, hakim-hakim federal di AS tidak memiliki batas usia pensiun atau menjabat seumur hidup.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa tidak ada batas usia atau masa pensiun bagi para hakim di AS ini?

Baca juga: Profil Ruth Bader Ginsburg, Hakim Agung Ternama AS yang Juga Pejuang Hak Perempuan 

Aturan

Berdasarkan Ayat 2 Pasal III Konstitusi AS, disebutkan bahwa semua hakim di Mahkamah Agung dan Inferior akan memangku jabatan selama berperilaku baik dan pada waktu yang ditentukan, akan menerima kompensasi atas jasanya.

Adapun kompensasi tersebut tidak akan berkurang selama mereka tetap melanjutkan jabatannya.

Artinya, di bahwa konstitusi, hakim agung memiliki masa jabatan seumur hidup, kecuali jika mengundurkan diri, memutuskan pensiun, atau dicopot dari jabatannya.

Aturan ini berbeda dengan negara lain, di mana hakim pengadilan tinggi memiliki usia pensiun wajib dan batas masa jabatan yang ketat.

Baca juga: Trump Sebut Hakim Agung Pengganti Mendiang Ginsburg adalah Seorang Wanita Brilian

Independensi

Melansir laman Northeasten University, 21 September 2018, Profesor Hukum di Bidang Mahkamah Agung, Michael Meltsner, mengatakan, tujuan dari hukum tersebut adalah untuk melindungi hakim dan pengadilan dari politik partisan.

"Aturan itu dibuat dalam Konstitusi untuk menjaga independensi total dari pengadilan. Saat hakim ditetapkan dan menduduki jabatan di pengadilan atau mahkamah, mereka tidak berpihak pada siapa pun," kata Melstner.

Independensi tersebut memungkinkan hakim untuk secara bebas menetapkan keputusan berdasarkan hukum yang berlaku daripada pertimbangan atau permintaan politis tertentu.

Sebagaimana ditulis Alexander Hamilton di The Federalist No. 78, independensi atau kemerdekaan yudisial adalah cara terbaik yang dapat dilakukan oleh sebuah pemerintahan untuk mengamankan penegakan hukum, yang stabil, dan tidak memihak.

Sementara, melansir The Atlantic, Jumat (25/9/2020), ada pula penjelasan sederhana yang disebut melatarbelakangi terbentuknya aturan ini.

"Orang-orang tidak hidup selama itu di masa lalu. Sebagaimana ditulis oleh Hamilton, hanya sedikit yang hidup lebih lama dari masa kekerasan intelektual," kata Tusher dan beberapa sejarawan lainnya.

Perubahan

Namun, banyak perubahan yang telah terjadi sejak abad ke-18. Saat konstitusi ditulis, usia harapan hidup bagi laki-laki berkulit putih (satu-satunya populasi yang diizinkan untuk duduk di Mahkamah Agung saat itu) berada di bawah 50 tahun.

Pada tahun 2016, usia harapan hidup di AS meningkat menjadi 79 tahun, hampir tiga dekade lebih lama.

Kemungkinan fakta ini sudah cukup untuk kembali mempertimbangkan aturan penunjukan seumur hidup pada para hakim.

"Ini benar-benar sesuatu yang harus dipertimbangkan. Harus ada diskusi yang sehat dan mudah-mudahan dilakukan dengan cara non-politik," kata Melster.

Menurut Melster, yang terpenting adalah memastikan bahwa segala jenis proses baru ini tidak akan merusak independensi peradilan.

Selain itu, perlu diketahui, mengubah masa jabatan hakim Mahkamah Agung tentu mengharuskan amandemen pada konstitusi.

"Itu bukanlah hal mudah," ujar Melster.

Pro dan kontra

Melansir The Conversation, 28 Februari 2020, masa jabatan seumur hidup memungkinkan para hakim untuk memutuskan hal yang sulit tanpa khawatir akan retribusi atau intervensi lain.

Hal yang mungkin akan dihadapi tidak lebih dari kritik publik.

Sementara, hakim tanpa masa jabatan seumur hidup akan menghadapi kemungkinan kehilangan pekerjaan.

Banyak negara yang memilih untuk mengimplementeasikan beberapa jenis sistem elektoral guna meningkatkan akuntabilitas hakim yang duduk di pengadilan negara.

Para hakim yang terpilih ini pun harus membuat konstituennya senang untuk memastikan terpilih kembali.

Namun demikian, hakim yang diberi masa jabatan seumur hidup dapat terlindungi dari tanggung jawab tertentu atas tindakan atau putusannya yang mungkin menyalahi aturan.

Pemakzulan menjadi satu-satunya cara untuk menindak pelanggaran oleh hakim, termasuk diskriminasi atau tindak ilegal yang dilakukan.

Muncul pula peningkatan perhatian tentang faktor apa saya yang mungkin memengaruhi putusan hakim, apakah itu tekanan publik, donasi kampanye, hingga elit politik.

Selain itu, masalah potensial lain pada jabatan seumur hidup ini adalah usia.

Sebagaimana diketahui, usia harapan hidup meningkat secara eksponensial dan tidak ada mekanisme selain pemakzulan untuk memberhentikan seseorang secara tidak sukarela apabila menunjukkan penurunan performa atau kognisi mental.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi