Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Covid-19 di Benua Afrika Relatif Rendah, Kenapa?

Baca di App
Lihat Foto
AP Photo/Themba Hadebe/File
Dalam foto file 20 Mei 2020 ini, orang-orang yang terkena dampak kemerosotan ekonomi virus corona untuk menerima paket makanan di Pretoria, Afrika Selatan. Respons pemerintah terhadap Covid-19 Afrika Selatan telah dinodai oleh dugaan korupsi seputar paket bantuan ekonomi 26 miliar dolar AS yang bersejarah, sebagai negara dengan jumlah kasus Covid-19 nomor lima terbesar di dunia.
|
Editor: Jihad Akbar

KOMPAS.com - Data kasus infeksi Covid-19 dari berbagai negara di dunia kini bisa dipantau dengan mudah melalui beragam kanal penyedia data, seperti John Hopkins University dan Worldometer.

Jika dicermati, jumlah infeksi virus corona di negara-negara di Afrika relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara di Eropa, Amerika, dan Asia.

Berdasarkan data Worldometer, Selasa (29/9/2020) siang, total kasus Covid-19 di negara-negara di Afrika ada di angka 1,4 juta kasus.

Sementara itu, total kasus virus corona di Amerika Utara ada sebanyak 8,7 juta, Amerika Selatan sebanyak 7,9 juta, Eropa sebanyak 4,9 juta, dan Asia sebanyak 10,3 juta.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Afrika tercatat memiliki 57 wilayah atau negara. Dari jumlah itu, 38 di antaranya tercatat hanya memiliki kasus Covid-19 masing-masing di bawah 10.000 kasus.

Negara di Afrika yang jumlah kasus virus corona terbanyak adalah Afrika Selatan dengan 671.669 kasus, sementara terendah adalah Sahara Barat dengan 10 kasus.

Baca juga: WHO Dukung Uji Coba Obat Herbal dari Afrika untuk Atasi Corona

Bagaimana bisa?

Epidemiolog yang tengah menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Griffith University, Australia, Dicky Budiman, menilai ada sejumlah alasan mengapa kasus virus corona di Afrika relatif rendah.

Berikut rinciannya:

1. Respons cepat dan tepat

Hal pertama yang membuat Afrika bisa menekan jumlah infeksi Covid-19 adalah respons cepat dan tepat yang diberikan pemerintah, sistem kesehatan, dan masyarakatnya.

"Sebetulnya, yang membedakan (negara-negara Afrika dan negara lain) sejak awal mayoritas negara-negara afrika itu responsnya cepat dan tepat," kata Dicky, dihubungi Selasa (29/9/2020).

Respons cepat dan tepat ini disebabkan kondisi mereka yang baru saja dilanda wabah lain, seperti ebola.

"Sistem kewaspadaan mereka, surveillance mereka, kemudian masyarakat juga itu masih alert, dalam kondisi belajar dari wabah sebelumnya, mereka jadi lebih sigap, lebih cepat," sebut Dicky.

Dicky menyebut, hal itu sesuai dengan riset yang menyebut respons cepat dan tepat sebagai penentu keberhasilan pengendalian pandemi di suatu wilayah. Dan itu terjadi di Afrika.

"SDM (epidemiolog) mereka, infrasktuktur mereka, ini terbantu, terutama setelah banyaknya HIV, malaria, Ebola, ini membuat sistem surveillance mereka semakin tertata baik. Meskipun bukan negara maju, tapi itu sudah cukup memadai," jelas dia.

2. Sudah dibiasakan

Alasan kedua menurutnya adalah masyarakat di Afrika sudah dibiasakan untuk mengubah pola hidup yang lebih sehat dan aman.

"Masyarakatnya selama beberapa tahun terakhir ini sudah dibiasakan mengubah perilaku. Waktu ebola terjadi, masyarakat Afrika itu sudah dilatih kebiasaan cuci tangan, menjaga jarak, jangan menyentuh, jangan gampang berkerumun, jadi lebih siap," papar Dicky.

Dalam kondisi ini, ketika protokol kesehatan Covid-19 diimbau untuk diterapkan, mereka sudah melakukannya sebelum Covid-19 itu ada.

Baca juga: Kasus Covid-19 di Afrika Sudah Capai 1 Juta, tapi Diyakini Masih Bisa Lebih

3. Sistem pengawasan dan tenaga epidemiolog

Ketiga, negara-negara di Afrika sudah baik dalam kuantitas pelaksanaan upaya pengawasan penyebaran virus, mulai dari tes, pelacakan, dan sebagainya.

Selain itu, kondisi masyarakat yang beberapa kali dilanda epidemi membuat jumlah epidemiolog di wilayah itu tinggi.

"Kalau Afrika sistem surveillance: testing, tracing, itu bagus banget. Dan kalau dilihat perbandingan antara penduduk dan epidemiolognya, mereka lebih tinggi (dari Indonesia)," sebut Dicky.

Kuantitas pengawasan dan SDM itu semakin meningkat juga berkat adanya pelatihan yang banyak diberikan oleh pihak lain, seperti Amerika dan Eropa.

"Di Afrika itu, dukungan surveillance dan epidemiolognya kuat banget. Indonesia itu epidemiolog lapangannya (tracer), mungkin 200-300 orang untuk 270 juta penduduk. Dengan epidemolog lainnya seperti saya, itu enggak lebih dari 500 kok," ungkapnya.

Dicky memberi perbandingan dengan jumlah epidemiolog yang ada di kota-kota di China, setiap kota setidaknya memiliki epidemiolog sebanyak 10.000 orang.

Baca juga: Afrika Ciptakan Beberapa Temuan Inovatif untuk Atasi Covid-19

4. Wilayah luas

Faktor terakhir adalah luasnya wilayah Afrika yang membuat risiko penularan melalui kerumunan menjadi rendah.

"Yang juga membantu Afrika relatif dia akhirnya mudah dalam intervensi pembatasan pergerakan, itu memang banyak daerah-daerah di Afrika ini masih berjauhan. Lokasi itu jauh-jauh banget,' papar dia.

"Jadi dari sisi densitas, kepadatan, masyarakat relatif ketemunya jarang," lanjut Dicky.

Sementara pada negara dengan penduduk yang padat, sebagaimana disebutkan sebelumnya, sistem pengawasan atau surveillance mereka sudah terbangun dengan relatif baik.

Baca juga: WHO Izinkan Obat Herbal Afrika untuk Pengobatan Potensial Infeksi Virus Corona

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi