Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

#BatalkanOmnibusLaw Trending, Ini Sederet Alasan Penolakan RUU Cipta Kerja

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA
Seorang buruh membawa poster protes dalam aksi unjuk rasa di depan kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (25/8/2020). Dalam aksinya itu ribuan buruh menolak omnibus law draf pemerintah dan menuntut agar PHK massal dampak COVID-19 dihentikan.
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Kata kunci "#BatalkanOmnibusLaw" menjadi trending topic di media sosial Twitter sejak Senin (5/10/2020) pagi.

Hingga kini, ada puluhan ribu twit yang mengandung kata kunci "BatalkanOmnibusLaw" ini.

Berdasarkan pantauan Kompas.com, ada beberapa kata kunci lain dengan bahasan yang sama, juga menjadi trending.

Mencuatnya kembali pembicaraan soal omnibus law muncul karena DPR RI bersama pemerintah dan DPD RI menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja untuk dibawa ke rapat paripurna DPR, Sabtu (3/1/2020) malam.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sebelumnya, pemerintah dan Baleg DPR RI memang sempat menunda pembahasan Klaster Ketengakerjaan ini setelah mendapat perintah resmi dari Presiden Joko Widodo pada 24 April 2020.

Penundaan ini merespons tuntutan buruh yang keberatan dengan sejumlah pasal dalam klaster tersebut.

Bahkan, hingga kini, sejumlah pasal pun masih memperoleh penolakan dari berbagai pihak. 

Baca juga: Jejak Omnibus Law: Dari Pidato Pelantikan Jokowi hingga Polemik RUU Cipta Kerja

Merangkum pemberitaan Kompas.com, berikut adalah beberapa pihak yang menolak RUU Cipta Kerja ini:

Serikat buruh

Seperti diberitakan Kompas.com, Senin (5/10/2020), sejumlah serikat buruh merencanakan aksi mogok kerja nasional sebagai bentuk penolakan terhadap pengesahan omnibus law RUU Cipta Kerja pada 6-8 Oktober 2020.

Menurut Ketua Departemen Komunikasi dan Media Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Kahar S Cahyono, mogok nasional akan dilakukan di lingkungan perusahaan dengan protokol kesehatan seperti jaga jarak dan menggunakan masker.

Presiden KSPI Said Iqbal menyebutkan, mogok nasional ini akan diikuti sekitar 2 juta buruh.

Bahkan, rencananya diikuti 5 juta buruh di 25 provinsi dan hampir 10.000 perusahaan dari berbagai sektor industri di seluruh Indonesia.

"Dari 10 isu yang disepakati oleh pemerintah dan DPR, KSPI mencermati, tiga isu yaitu PHK, sanksi pidana bagi pengusaha dan TKA dikembalikan sesuai dengan isi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003," kata Iqbal.

Sebelumnya, Iqbal juga merinci tujuh isu yang diusung buruh dalam menolak RUU omnibus law Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan, yaitu:

  1. Menolak penghapusan Upah Minimum Sektoral (UMSK) dan pemberlakuan Upah Minimum Kabupaten/Kota bersyarat
  2. Menolak pengurangan nilai pesangon, dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan. Pesangon senilai 19 bulan upah dibayar pengusaha, sedangkan 6 bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan
  3. Menolak Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang bisa terus diperpanjang alias kontrak seumur hidup
  4. Menolak Outsourcing pekerja seumur hidup tanpa batasan jenis pekerjaan
  5. Menolak jam kerja yang eksploitatif
  6. Menuntut kembalinya hak cuti dan hak upah atas cuti, termasuk cuti haid, dan cuti panjang
  7. Karena karyawan kontrak dan outsourcing bisa berlaku seumur hidup, maka buruh menuntut jaminan pensiun dan kesehatan bagi karyawan kontrak dan outsourcing.

Baca juga: Nasib Pekerja jika Omnibus Law Cipta Kerja Disahkan...

Fraksi Partai Demokrat

Dalam Rapat Kerja Pengambilan Keputusan Tingkat I yang digelar DPR dan pemerintah, Sabtu (3/10/2020), menghasilkan kesepakatan RUU Cipta Kerja akan dibawa ke rapat paripurna.

Namun, ada dua fraksi yang menyatakan penolakan, yaitu Fraksi Partai Demokrat dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).

Menurut Ketua Badan Komunikasi Strategis (Bakomstra) Partai Demokrat Ossy Dermawan, di tengah situasi pandemi Covid-19, pembahasan RUU Cipta Kerja tidak memiliki urgensi dan kegentingan yang memaksa.

Kedua, RUU ini membahas secara luas beberapa perubahan UU secara sekaligus (omnibus law).

Oleh karena itu, perlu dicermati dengan hati-hati dan mendalam karena dampak yang ditimbulkan oleh RUU akan sangat besar.

"Terutama terkait hal-hal fundamental yang menyangkut kepentingan masyarakat luas," kata Ossy seperti diberitakan Kompas.com, Minggu (4/10/2020).

Ketiga, terkait tujuan RUU Cipta Kerja untuk mendorong investasi, hak dan kepentingan kelompok pekerja juga tidak boleh diabaikan.

Pada kenyataannya, sejumlah regulasi dalam RUU ini berpotensi memangkas hak dan kepentingan kaum pekerja.

Selanjutnya, Ossy menyebut bahwa RUU ini dipandang telah bergeser dari semangat nilai-nilai Pancasila ke arah ekonomi yang terlalu kapitalistik dan neo-liberalistik.

Terakhir, ia menilai bahwa pembahasan RUU tersebut juga cacat prosedur. Pasalnya, beberapa pembahasan hal-hal penting di dalam RUU dinilai kurang transparan.

Baca juga: Mengenal Apa Itu Omnibus Law dan Seluk Beluknya...

Fraksi PKS

Selain Fraksi Partai Demokrat, Fraksi PKS yang diwakili Ledia Hanifa dalam Rapat Kerja Pnegambilan Keputusan Tingkat I yang menghasilkan kesepakatan RUU Cipta Kerja akan dibawa ke rapat paripurrna, juga menyatakan penolakan.

Mewakili PKS, Ledia mengapresiasi sejumlah ketentuan dala RUU Cipta Kerja terkait kemudahan berusaha yang jika dilakukan secara konsisten dan konsekuen akan dapat memangkas proses bisnis di Indonesia.

Selain itu, mereka juga mengapresiasi kesepakatan panja dan pemerintah yang menjadikan keputusan Mahkamah Konstitusi sebagai pagar dalam pembahasan.

Akan tetapi, Fraksi PKS menyayangkan pembahasan daftar inventaris masalah (DIM) yang tidak runtut dan dalam waktu yang singkat, sehingga menyebabkan ketidakoptimalan dalam pembahasan.

"RUU Cipta Kerja ini tidak tepat membaca situasi, tidak akurat dalam mendiagnosa (permasalahan yang terjadi)," kata Ledia sebagaimana dikutip Kontan, Minggu (4/10/2020).

Baca juga: Beragam Hal yang Perlu Diketahui Terkait Omnibus Law, Apa Saja? 

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Apa Itu Omnibus Law?

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi