Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tanggapan Dewan Pers soal Laporan Kursi Kosong Najwa Shihab

Baca di App
Lihat Foto
screenshoot
Tangkapan layar video youtube acara mata najwa dengan tema #MataNajwaMenantiTerawan
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Nama Najwa Shihab belakangan ini ramai menjadi perbincangan publik terkait video dalam acara 'Mata Najwa' edisi 'Menanti Terawan'.

Video berdurasi 4 menit 22 detik tersebut memperlihatkan Najwa bermonolog dengan kursi kosong yang seolah-olah ia anggap sebagai Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto.

Belakangan, acara Najwa tersebut berbuah pelaporan ke Polda Metro Jaya pada Selasa (6/10/2020).

Baca juga: Ramai soal Menkes Terawan, Kemenkes: Pak MK, Alhamdulillah Sehat

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ia dilaporkan karena dianggap merendahkan Presiden Joko Widodo dalam acara 'Mata Najwa' edisi 'Menanti Terawan'.

Laporan itu diajukan oleh Ketua Umum Relawan Jokowi Bersatu bernama Silvia Dewi Soembarto. Namun ditolak oleh kepolisian karena dinilai menjadi ranah Dewan Pers.

Menteri Kesehatan Terawan, sebut Silvia, adalah representasi dari Presiden. Oleh karena itu, ia menganggap perlakukan Najwa Shihab tidak mendidik.

Baca juga: Profil Dokter Terawan, Menteri Kesehatan Kabinet Indonesia Maju

Lantas, bagaimana tanggapan Dewan Pers?

Belum ada laporan masuk

Anggota dan Ketua Komisi Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers, Agung Dharmajaya mengatakan pihaknya belum menerima laporan dari Relawan Jokowi Bersatu tentang Najwa Shihab.

Di satu sisi, keputusan pihak kepolisian untuk menolak aduan tersebut dan mengarahkan ke Dewan Pers adalah langkah yang benar.

"Kalau menurut saya, ya memang kasus aduan soal pers, apa yang disampaikan oleh penyidik Polri dalam hal ini sudah betul penanganannya ke Dewan Pers," kata Agung saat dihubungi Kompas.com, Rabu (7/10/2020).

Hal itu tak lepas dari adanya perjanjian atau MoU antara Polri dan Dewan Pers jika ada aduan dari masyarakat dalam bentuk ketidaknyamanan pemberitaan, maka persoalan itu diserahkan ke Dewan Pers.

Baca juga: Omnibus Law UU Cipta Kerja Jadi Sorotan Media Asing, Bagaimana Pemberitaannya?

Pelapor baper?

Disinggung soal hal itu, Agung tidak ingin masuk dan berandai-andai pada asumsi yang telah berkembang.

Namun, kata dia, pelapor kemungkinan merasa tidak nyaman atas produk jurnalistik yang dia adukan, dalam hal ini wawancara kursi kosong Najwa Shihab.

"Jadi sekali lagi, mungkin ada orang tidak nyaman dengan segala pertimbangan sehingga dia harus menyampaikan ketidaknyamanan tadi dalam bentuk laporan," ujar Agung.

Baca juga: INFOGRAFIK: 8 Olahraga untuk Kesehatan Jantung

Agung menambahkan, sebenarnya apa yang dilakukan Najwa Shihab melakukan wawancara mewakili masyarakat adalah sah-sah saja.

Namun, lanjutnya, ada hal yang harus dihindari.

"Tetapi yang barangkali yang harus dihindari adalah ketika pertanyaan itu kemudian mendiskriditkan," papar Agung menjelaskan.

Terlebih, saat itu tidak ada orang yang bisa menjelaskan lantaran hanya ada kursi kosong.

Baca juga: Dimulai 2021, Bagaimana Perkembangan Proses Peleburan Kelas BPJS Kesehatan?

Mempelajari lebih lanjut

Walaupun belum ada laporan yang masuk terkait hal ini, Agung memastikan pihaknya akan menindaklanjuti jika ada laporan yang masuk.

Tentu saja, tutur Agung, laporan tersebut terlebih dahulu akan dipelajari sebelum melangkah ke tahap-tahap selanjutnya.

"Kalau betul nanti pelapor akan mengadu ke Dewan Pers, tentunya Dewan Pers akan menerima, kemudian akan mempelajari materi aduannya, yang tidak kalah penting, tentunya akan berproses di mana pengadu akan kita dengar dengan dokumentasi bukti, dan yang diadukan akan kita panggil untuk memberikan penjelasan," jelas dia.

Baca juga: Keriuhan Menteri Jokowi soal Gaji, dari Terawan hingga Prabowo...

"Tentu dari Dewan Pers tentunya materi tersebut akan kita pelajari dulu, ada ahli bahasa yang bisa membedah apakah ada pelanggaran kode etik dari penayangan tersebut," imbuhnya.

Dari situ, baru bisa dilihat dan disimpulkan apakah ada pelanggaran atau tidak. Jika ada, pelanggaran apa yang terjadi.

Kemudian, apa saja yang harus dilakukan kepada pelanggar sehingga akan jelas.

Baca juga: 130 Dokter Meninggal akibat Covid-19, Dokter Umum Paling Banyak

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi