Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ini Pro Kontra yang Muncul Setelah Omnibus Law UU Cipta Kerja Disahkan

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah
Seorang buruh berunjuk rasa di kawasan EJIP (East Jakarta Industrial Park), Cikarang, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat, Senin (5/10/2020). Pada aksinya itu mereka menolak pengesahan RUU Cipta Kerja dan mengancam akan melakukan mogok kerja pada 6-8 Oktober 2020. ANTARA FOTO/Fakhri Hermansyah/pras.
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Berbagai tanggapan terus muncul setelah disahkannya omnibus law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja dalam rapat paripurna, Senin (5/10/2020) sore.

Pro dan kontra terkait pengesahan RUU ini masih terus tumbuh. Beragam penolakan, mulai dari media sosial hingga unjuk rasa di sebagian wilayah dilakukan.

Merangkum berbagai pemberitaan Kompas.com, berikut ini pro kontra dari keputusan pengesahan omnibus law RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja:

Kadin

Melansir Kompas.com, Senin (5/10/2020), para pengusaha menyambut baik pengesahan UU Cipta Kerja ini.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Kalangan dunia usaha menyambut baik dan memberikan apresiasi kepada pemerintah dan DPR yang telah menyepakati pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi UU," kata Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Bidang Hubungan Internasional Shinta Widjaya Kamdani.

Menurut dia, UU Cipta Kerja dapat menjawab permasalahan di dunia usaha, terutama terkait aturan yang tumpang tindih dalam perizinan.

Dengan demikian, dapat meningkatkan investasi yang berujung pada penciptaan lapangan kerja.

Baca juga: Menurut Menko Airlangga, Ini Segudang Manfaat RUU Cipta Kerja untuk Rakyat

Ekonom

Sementara itu, ekonom Bahana Sekuritas, Putera Satria Sambijantoro meyakini, pengesahan omnibus law RUU Cipta Kerja tidak akan diikuti oleh Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang meluas.

Menurut dia, dalam UU yang baru disahkan ini, perlidungan untuk pekerja tetap utuh.

Satria juga menilai bahwa omnibus law UU Cipta Kerja dapat menyederhanakan persyaratan yang berlapis dan bertentangan, antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah karena adanya pengambilan keputusan ekonomi yang lebih terpusat.

Aturan ini disebutnya mampu menghilangkan ketidakpastian investasi yang akan membantu menarik investasi asing langsung dan mendorong pertumbuhan PDB jangka panjang.

Pukat UGM

Di sisi lain, Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) menilai bahwa omnibus law RUU Cipta Kerja memiliki kecacatan, baik secara formil maupun materiil.

Ketua Pukat UGM Oce Madril menyebut bahwa proses pembentukan RUU Cipta Kerja ini berlangsung sangat cepat, tertutup, dan minim partisipasi publik.

"RUU Cipta Kerja bermasalah baik secara proses, metode, maupun substansinya," kata Oce.

Secara substansi, RUU Cipta Kerja ini mengarah pada sentralisasi kekuasaan yang rentan terhadap potensi korupsi.

Menurut Oce, dalam RUU Cipta Kerja, terdapat potensi penyalahgunaan wewenang pada ketentuan diskresi. 

Sebab, RUU ini menghapus persyaratan "tidak bertentangan dengan UU" yang sebelumnya ada dalam UU Administrasi Pemerintah. 

Baca juga: Apa Itu Omnibus Law Cipta Kerja, Isi, dan Dampaknya bagi Buruh?

Amnesty International Indonesia

Amnesty International Indonesia menilai bahwa UU Cipta Kerja yang baru disahkan DPR sangat tidak progresif.

Sebaliknya, banyak ketentuan dalam UU tersebut yang melanggar prinsip non-retrogesi sehingga membawa kemunduran dalam hal pemenuhan hak-hak masyarakat.

Amnesty menyoroti sejumlah ketentuan yang dinilai bermasalah dalam UU tersebut, mulai dari terkait perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) hingga klaster lingkungan.

Atas persoalan-persoalan itu, Amnesty International meminta pemerintah dan DPR untuk dapat merevisi UU Cipta Kerja dan membenahi ketentuan-ketentuan yang bermasalah tersebut.

Walhi

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) memberikan sejumlah catatan soal UU Cipta Kerja, yaitu terkait perlindungan hutan.

Menurut Manager Kampanye Pangan, Air, dan Ekosistem Esensial Walhi Wahyu Perdana, UU Cipta Kerja mengancam keberlangsungan hutan karena menghapus batas minimum kawasan hutan dan daerah aliran sungai (DAS).

Kemudian, ancaman kedua adalah dalam konteks kejahatan korporasi. 

Sementara, Ketua Desk Politik Walhi Khalisa Khalid mengatakan bahwa pihaknya menyesalkan pengesahan RUU ini karena mengabaikan suara publik yang menolak.

"Keselamatan rakyat dan agenda penyelamatan lingkungan hidup akan semakin menemui tantangan yang lebih berat. Karena sejak awal aturan ini memang menjadi karpet merah untuk kemudhaan investasi, khususnya industri ekstraktif," kata dia. 

Baca juga: Omnibus Law UU Cipta Kerja Jadi Sorotan Media Asing, Bagaimana Pemberitaannya?

Indef

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartarti mengkritisi ketentuan tentang pembentukan lembaga pengelola investasi yang diatur dalam UU Cipta Kerja.

"Kemudahan investasi itu memang dibutuhkan, tapi tidak perlu sampai menjadi lembaga yang superbody seperti yang ada di dalam UU ini," kata Enny.

Menurut Enny, UU Cipta Kerja memberikan kewenangan yang begitu besar kepada Lembaga Pengelola Investasi. 

Padahal, kewenangan yang besar ini berpotensi dapat memunculkan penyalahgunaan wewenang.

PSHK

Pihak Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai bahwa proses legislasi UU Cipta Kerja menjadi contoh praktik buruk yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR.

Menurut Direktur Advokasi dan Jaringan PSHK Fajri Nusryamsi, proses pembahasan UU Cipta Kerja sejak awal mengabaikan ruang demokrasi dan dilakukan secara tergesa-gesa.

Ada tiga alasan yang mendasari pernyataan itu. Pertama, RUU Cipta Kerja dibahas pada masa reses dan di luar jam kerja. Kemudian, draf UU dan risalah rapat diak pernah disampaikan ke publik.

Terahir, tidak ada mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak (voting) dalam rapat paripurna pengesahan RUU Cipta Kerja. 

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Apa Itu Omnibus Law?

(Sumber: Kompas.com/Yohanna Artha Uly, Fikri Nurul Ulya, Fitria Chusna Farisa, Irfan Kamil, Dian Erika Nugraheny, Tsania Maharani|Editor: Yoga Sukmana, Bambang P. Jatmiko, Ayunda Pininta Kasih, Krisiandi, Icha Rastika)

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi