KOMPAS.com – Aksi penolakan terhadap Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang dicetuskan pemerintah dan disahkan oleh DPR RI pada Senin (5/10/2020) ramai dilakukan sejumlah pihak.
Omnibus law tersebut pun memantik demonstrasi di sejumlah wilayah.
Berbagai kalangan, baik dari buruh maupun mahasiswa, turun ke jalan menuntut agar UU Cipta Kerja dicabut karena dinilai tak berpihak kepada masyarakat kecil.
Atas adanya aksi penolakan tersebut, pengamat politik dari Universitas Gajah Mada (UGM) Mada Sukmajati menilai ada pelajaran yang bisa dipetik pemerintah dan DPR.
Baca juga: Mengapa Banyak Pelajar Ikut Demo Tolak Omnibus Law Cipta Kerja? Ini Kata Sosiolog
Setidaknya, kata dia, ada tiga hal yang harus menjadi perhatian. Berikut rinciannya:
Waktu
Pelajaran pertama untuk pemerintah dan DPR adalah soal waktu.
Mada menilai sudah seharusnya sebuah UU tidak dibuat dengan cepat.
Apalagi, omnibus law Cipta Kerja adalah UU pertama yang mengintegrasikan banyak undang-undang.
Undang-undang tersebut pun membahas banyak isu yang menjadi masalah banyak orang.
“Jadi ini banyak isu, banyak UU yang mau diintegrasikan, tapi waktunya sangat cepat, sangat mepet, sehingga itu menambah persoalan kita,” ujar Mada saat dihubungi Kompas.com, Jumat (9/10/2020).
Mada menilai ini adalah pelajaran besar untuk DPR agar jika seandainya akan menggunakan model omnibus law untuk bidang lain tidak melakukannya dengan tergesa.
Baca juga: Simak, Ini 8 Poin Sikap NU terhadap UU Cipta Kerja
Partisipasi publik
Selain itu, pelajaran berharga berikutnya menurut Mada adalah berkaitan dengan partisipasi publik.
Sebab, ia mengatakan partisipasi masyarakat dalam membuat kebijakan publik merupakan keharusan.
“Saya melihat problem partisipasi ini yang kemudian mewarnai proses pembuatan kebijakan omnibus. Sehingga ada banyak pihak yang merasa ide-ide belum diakomodir. Ada pihak yang merasa tidak terepresentasikan aspirasi atau kepentingannya dalam UU itu,” jelas dia.
Selain itu, Mada menilai dalam melibatkan partisipasi publik di pembuatan, omnibus law sudah seharusnya didesain berbeda dengan pembuatan UU pada umumnya.
“Karena UU ini kan mengintegrasikan banyak UU sehingga harus dibuat desain yang berbeda, soal waktunya, serta proses pelibatan masyarakat yang harus didesain berbeda dengan jika tidak omnibus law,” jelas Mada.
Baca juga: Tuntutan Pendemo di Sejumlah Daerah Atas Pengesahan UU Cipta Kerja
Komunikasi
Mada menilai pelajaran besar lainnya untuk pemerintah dan DPR yaitu terkait soal komunikasi menyoal kebijakan kepada publik.
Komunikasi yang terjadi saat ini, menurutnya bermasalah, sehingga kemudian banyak muncul di media sosial beberapa hal yang tidak tepat yang kemudian dicoba diklarifikasi pemerintah.
“Menurut saya itu terlambat, harusnya kan sejak awal itu disampaikan sebelum diketok. Kalau itu disampaikan sekarang, saya kira tak akan mampu untuk membendung ledakan ketidakpuasan di banyak daerah,” kata Mada.
Mada menjelaskan komunikasi pembuat kebijakan dengan masyarakat sudah seharusnya dilakukan saat kebijakan dalam proses pembuatan.
Sehingga, terkait partisipasi publik benar-benar bisa dilaksanakan.
“Kata kunci proses pembuatan kebijakan publik itu kan partisipasi. Kebijakan publik itu kan kehendak rakyat. Jadi apa yang jadi kehendak rakyat itulah yang jadi kebijakan publik. Jadi ketika kebijakan publik direspons dengan ketidakpuasan, maka kebijakan publik itu belum sepenuhnya jadi kehendak rakyat,” pungkasnya.
Baca juga: [HOAKS] Mahasiswa di Lampung Meninggal Dunia dalam Unjuk Rasa Tolak UU Cipta Kerja
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.