Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jokowi Sebut Penolak UU Cipta Kerja Bisa Judicial Review, Bagaimana Cara Mengajukannya?

Baca di App
Lihat Foto
Aksi demo tolak UU Omnibus Law di Kupang berlangsung ricuh
Aksi demo tolak UU Omnibus Law di Kupang berlangsung ricuh
|
Editor: Jihad Akbar

KOMPAS.com - Setelah demonstrasi besar-besaran menolak disahkannya omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja, Presiden Joko Widodo akhirnya membuka suara pada Jumat (9/10/2020).

Dalam konferensi persnya, ia mempersilakan masyarakat yang keberatan dengan UU Cipta Kerja untuk mengajukan judicial review atau uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Jika masih ada ketidakpuasan terhadap UU Cipta Kerja ini, silakan mengajukan uji materi atau judicial review melalui Mahkamah Konstitusi," tegas Jokowi dalam konferensi pers virtual dari Istana Kepresidenan, Bogor.

Jokowi mengatakan melakukan uji materi ke MK atas suatu UU merupakan langkah yang sesuai sistem tata negara di Indonesia.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Sistem ketatanegaraan kita memang mengatakan seperti itu," lanjutnya.

Baca juga: Pernyataan Jokowi soal UU Cipta Kerja Dinilai Tak Jawab Persoalan

Apa itu judicial review?

Dilansir laman Indonesia.go.id, judicial review atau hak uji materi merupakan proses pengujian peraturan perundang-undangan yang lebih rendah terhadap peraturan perundang-undangan lebih tinggi yang dilakukan oleh lembaga peradilan.

Judicial review undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dilakukan MK.

Siapa yang bisa mengajukan judicial review?

Pemohon judicial review adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang.

Seseorang yang bisa mengajukan yaitu:

  1. Perorangan warga negara Indonesia;
  2. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
  3. Badan hukum publik atau privat; atau
  4. Lembaga negara.

Baca juga: Saat Judicial Review UU Cipta Kerja Dinilai Sebagai Cara Paling Tepat

Bagaimana prosedur pengajuannya?

Melansir laman resmi MK, ada dua cara untuk mengajukan judicial review, yaitu online dan offline atau permohonan langsung.

Pada permohonan langsung alurnya adalah sebagai berikut:

  1. Pemohon datang menghadap Pranata Peradilan Registrasi Perkara untuk mendaftarkan permohonan.
  2. Pranata Peradilan Registrasi Perkara menerima dan mencatat pihak yang mengajukan permohonan dalam buku penerimaan permohonan. Selanjutnya Pemohon menyerahkan berkas permohonan sebanyak 12 rangkap.
  3. Pranata Peradilan Perkara memeriksa kelengkapan berkas permohonan sesuai dengan ketentuan pasal 29 dan 31 UU nomor 8 tahun 2011. Lalu hasilnya dituangkan dalam formulir ceklis. Kemudian Pranata Peradilan Perkara membuat lembar disposisi yang selanjutnya disampaikan kepada Panitera Muda.
  4. Berkas diproses oleh internal Mahkamah Konstitusi.
  5. Pranata Peradilan Perkara menerima berkas permohonan yang telah lengkap dan memenuhi syarat. Kemudian mencatatnya dalam BRPK dan membuat tanda terima permohonan untuk selanjutnya diserahkan kepada Pemohon.
  6. Pemohon telah selesai melakukan pendaftaran permohonan.

Baca juga: Disahkan DPR, Adakah Cara Membatalkan UU Cipta Kerja?

Sementara itu, pengajuan judicial review secara online alurnya sebagai berikut:

  1. Pemohon atau kuasanya mengajukan permohonan online. Selanjutnya pemohon atau kuasanya mengunjungi laman Mahkamah Konstitusi https://mkri.id/.
  2. Pemohon atau kuasanya melakukan registrasi secara online untuk mendapatkan nama identifikasi (username) dan kode akses (password) untuk mengakses https://simpel.mkri.id/.
  3. Pemohon meng-upload softcopy permohonan (syarat permohonan online diatur dalam pasal 8 PMK nomor 18 tahun 2009) ke dalam Sistem Informasi Manajemen Penerimaan Permohonan Perkara (SIMPEL).
  4. Mencetak atau mem-print tanda terima pengajuan permohonan online yang telah tersedia dalam SIMPEL.
  5. Permohonan online diterima dalam SIMPEL Mahkamah Konstitusi.
  6. Pranata Peradilan Registrasi Perkara menerima dan menyampaikan konfirmasi kepada Pemohon atau kuasanya dalam waktu 1 hari setelah dokumen permohonan masuk dalam SIMPEL Mahkamah Konstitusi (pasal 9 ayat 1 PMK Nomor 18 tahun 2009).
  7. Pemohon atau kuasanya menjawab konfirmasi dengan menyampaikan secara tertulis kepada Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 hari sejak permohonan diterima oleh Mahkamah Konstitusi, dengan disertai penyerahan 12 rangkap dokumen asli (hard copy) permohonan.

Baca juga: Demo Tolak UU Cipta Kerja di Mana-mana, Apa Pelajaran untuk Pemerintah dan DPR?

Ketentuan berkas

Masih dari laman Indonesia.go.id, permohonan yang diajukan ke MK harus ditulis dalam bahasa Indonesia baku, ditandatangani oleh pemohon/kuasanya dan dibuat dalam 12 rangkap.

Permohonan yang dibuat harus memuat jenis perkara yang dimaksud, disertai bukti pendukung dengan sistematika:

Untuk permohonan online, menurut pasal 8 PMK nomor 18 tahun 2009, permohonan diajukan dalam Bahasa Indonesia. Permohonan memuat:

Baca juga: Jokowi Bantah UU Cipta Kerja Permudah PHK, Bagaimana Faktanya?

Permohonan dilengkapi dengan alat bukti yang juga dapat diajukan dalam bentuk dokumen elektronik yang terjamin validitasnya.

Permohonan juga dilengkapi dengan daftar alat bukti sebagai alat kontrol dalam penerimaan berkas oleh kepaniteraan.

Adapun format dokumen elektronik yang dapat diterima MK antara lain:

  • tulisan
  • suara
  • gambar
  • peta
  • rancangan
  • foto
  • electronic data interchange (EDI)
  • surat elektronik (e-mail)
  • telegram
  • teleks
  • telecopy atau sejenisnya

Permohonan dan alat bukti juga harus disimpan secara elektronik dalam media penyimpanan berupa flash disk, cakram padat (compact disk), atau yang sejenisnya untuk tujuan pengarsipan perkara.

Selain itu, perlu juga diketahui tentang pemberian salinan permohonan saat memasukkan berkas permohonan ke MK.

1. Pengujian undang-undang:

  • Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden dan DPR.
  • Permohonan diberitahukan kepada Mahkamah Agung.

2. Sengketa kewenangan lembaga negara:

  • Salinan permohonan disampaikan kepada lembaga negara termohon.

3. Pembubaran partai politik:

  • Salinan permohonan disampaikan kepada parpol yang bersangkutan.

4. Pendapat DPR:

  • Salinan permohonan disampaikan kepada Presiden.

Baca juga: Jokowi Bantah Komersialisasi Pendidikan di UU Cipta Kerja, Ini Faktanya

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi