Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Sekretaris Jendral SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit)
Bergabung sejak: 29 Agu 2020

Sekretaris Jendral SPKS (Serikat Petani Kelapa Sawit). Steering committee pada sejumlah lembaga: Tropical Forest Alliance, Hight Carbon Stoke Approach dan SCAI (Sustainable Agricultur Indonesia). Menulis beberapa buku tentang kelapa sawit. Aktif dalam kerja-kerja advokasi sawit rakyat dan membangun model pengelolaan perkebunan terbaik di tingkat petani kelapa sawit.

Nasib Petani di Negeri Lumbung Sawit

Baca di App
Lihat Foto
AP/Binsar Bakkara
Seorang gadis kecil memegang buah kelapa sawit yang dikumpulkan dari sebuah perkebunan di Sumatera, Indonesia, 13 November 2017. Investigasi Associated Press menemukan banyak pekerja kelapa sawit di Indonesia dan negara tetangga Malaysia mengalami eksploitasi, termasuk pekerja anak.
Editor: Heru Margianto


INDONESIA adalah negara penghasil sawit terbesar di dunia. Pada 2019, dihasilkan 47 juta ton CPO (Crude Palm Oil) dari 16,3 juta hektare lahan.

Untuk mendukung sawit, beragam kebijakan dibuat pemerintah. Antara lain, UU Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, PP Nomor 24 tahun 2015 tentang Badan Pengelola Dana Perkebunan dan Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Evaluasi Perijinan dan Peningkatan Produktivitas Sawit.

Hanya saja, berbagai peraturan yang diterbitkan nyatanya tidak menjamin perbaikan nasib petani sawit. Petani sawit masih miskin dan lemah. Padahal mereka menguasai 42 persen lahan sawit.

Peraturan-peraturan itu gagal menyelamatkan petani sawit. Bukan itu saja, pola pengelolaan perkebunan yang diharapkan mendekatkan kesejahteraan ke petani sawit, alih-alih tercapai malah semakin menempatkan petani di jurang kemelaratan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Perkebunan sawit rakyat dikelola melalui dua model. Kemitraan antara petani selaku plasma dengan perusahaan dan model swadaya yang tidak bermitra. Petani swadaya mengelola lahan dengan dana mandiri dan dikerjakan sendiri oleh petani.

Kedua model kemitraan ini sama-sama tidak memiliki posisi tawar kuat, lemah dan miskin. Pertanyaan kemudian adalah mengapa nasib petani sawit tidak membaik di negeri lumbung sawit?

Meninjau aturan kemitraan

Pola kemitraan yang mewajibkan perusahaan sawit membangun plasma sebesar 20 persen dari luas konsesi dan berada di luar IUP (Ijin Usaha Perkebunan) dan HGU (Hak Guna Usaha) sangat merugikan masyarakat yang ingin memperoleh kebun sawit.

Perusahaan sangat diuntungkan dengan pengaturan ini sebab tidak mengurangi sedikit pun luas konsesi mereka.

Ini kemudian memaksa masyarakat menyerahkan lahan secara masif ke tangan perusahaan sebab pengusaha yang akan membangun kebun para petani untuk dijadikan kebun plasma. Padahal lahan yang diserahkan tersebut adalah tanah terakhir mereka untuk pangan.

Sementara pengaturan kewajiban perusahaan untuk membangun kemitraan dengan petani yang sudah ada (existing smallholders) juga tidak dijalankan di tingkat tapak dan merugikan 5,5 juta petani swadaya sebab akhirnya mereka menjual ke tengkulak yang bersekutu dengan perusahaan dan memperoleh harga rendah.

Awalnya, pemerintah memang membuat skema kemitraan agar masyarakat sekitar konsesi besar memperoleh kesejahteraan (trickledown effect). Namun situasinya tak seperti yang diskemakan. Nasib petani tak berubah.

Tantangan terbesar petani skala kecil adalah berhadapan dengan individual grower’s yang menguasai lahan di atas 25 hektare hingga 250 hektare. Kehadiran mereka menghalangi kemitraan para petani kecil dengan pabrik di sekitarnya.

Masalahnya mayoritas berlahan besar ini dikendalikan elite dan pebisnis lokal yang bermitra dengan korporasi.

Beberapa praktik di lapangan dalam pembangunan 20 persen seperti yang terjadi di beberapa tempat yakni di Kabupaten Sanggau, petani yang bermitra dengan perusahaan Simedarby menyerahkan 7,5 hektare lahannya supaya memperoleh 2 hektare lahan plasma.

Di Kabupaten Sekadau, masyarakat menyerahkan 6 hektare kepada PT MPE agar memperoleh 2 hektare lahan plasma.

Kebanyakan petani sawit saat ini memperoleh kebun sangat kecil antara 0,5 hektare sampai kurang dari 2 hektare akibat penyerahan lahan di bawah kuota yang ditentukan perusahaan.

Petani sawit terpaksa melakukan barter lahan itu karena himpitan ekonomi dan untuk memenuhi kebutuhan bahan pokok.

Aturan semestinya melindungi dan memberdayakan petani. Namun perusahaan betul-betul dijaga oleh pemerintah untuk menjamin usahanya sementara masyarakat tetap miskin.

Pada 2013, melalui Permentan Nomor 98 Tahun 2013 tentang Perizinan Usaha Perkebunan mengatur agar pabrik pengolahan mendapatkan 80 persen bahan baku dari petani sawit.

Namun peraturan ini tidak berlangsung lama. Belum lagi, aturan kepemilikan saham koperasi pada perusahaan hingga 30 persen dihilangkan. Perubahan aturan ini kental dengan kepentingan para cukong.

Perusahaan harus membangun kebun plasma tiga tahun setelah memperoleh HGU. Dari sisi produksi, sawit baru akan berbuah setelah empat tahun ditanam.

Artinya, setelah perusahaan membangun kemitraan dengan masyarakat, petani akan memperoleh hasil tujuh tahun kemudian. Belum lagi kalau perusahaan membangun kebun milik mereka lebih dulu, petani akan menunggu hasil lebih lama lagi.

Meskipun pemerintah mewajibkan perusahaan membangun kebun masyarakat, realisasinya tetap saja minim.

Data Direktorat Jendral Perkebunan tahun 2018 menyebutkan, luas perkebunan plasma baru sejak 2007 melalui program revitalisasi perkebunan sebesar 623.114 ribu hektare.

Jika ditotal dengan plasma sebelumnya maka berjumlah 1.294.241 hektare. Apabila, luas perkebunan perusahaan saat ini sebesar 9,66 juta hektare maka idealnya porsi 20 persen lahan milik petani seharusnya menjadi 1.932.000 hektare. Kekurangan luasan plasma ini mengindikasikan perusahaan tak konsisten membangun plasma.

Lindungi petani

Petani plasma di era 80-an melalui program PIR sedikit beruntung dibandingkan sekarang. Kala itu petani sudah dipastikan memperoleh lahan 2 hektare dan pemerintah pernah mengalokasikan 80 persen untuk petani dan 20 persen perusahaan.

Sejak 2007 pola-pola kemitraan sawit tidak lagi menguntungkan petani. Banyak konflik yang kemudian memenjarakan petani.

Ini akibat dari kebun masyarakat tidak kunjung dibangun, timbulnya tumpang tindih izin, dan pola kemitraan satu atap yang membuat petani menjadi subordinat perusahaan.

Pola ini sama dengan contract farming, di mana kebun plasma dikelola perusahaan secara penuh dan menempatkan petani seperti buruh di atas tanahnya.

Negara masih meletakkan sawit di tangan korporasi. Sampai sekarang, IUP sudah diberikan ke 2.494 perusahaan dengan total luas lahan sebanyak 20.004.299 hektare di 23 provinsi (Kementan 2019).

Perizinan sawit yang diberikan negara ke perusahaan merupakan bentuk ketidakyakinan negara terhadap petani—atau koperasi petani sawit. Bahkan, hal ini ditengarai karena negara main mata dengan korporasi melalui pemberian izin konsesi.

Semestinya petani mendapatkan porsi lebih besar serta akses keuangan terjamin. Akan tetapi, perbankan selalu mewajibkan petani bermitra dengan perusahaan jika ingin mendapatkan jaminan pendanaan.

Kondisi tersebut membuat petani kesulitan lantaran dana mengalir melalui perusahaan. Kebijakan ini menunjukkan betapa buruknya kepercayaan negara kepada petani.

Pemerintah seperti menjaga kepentingan korporasi. Banyak organisasi masyarakat sipil yang berteriak pelanggaran hak asasi manusia kepada petani tak digubris.

Sebaliknya, pemerintah dan perusahaan menuding teriakan itu sebagai black campaign. Pemerintah tak membuka ruang dialog dengan masyarakat yang bersengketa atau melakukan evaluasi menyeluruh mengapa masalah yang membekap petani sawit tak kunjung berakhir.

Sudahilah keberpihakan pemerintah kepada korporasi. Lindungilah petani sawit. Indonesia kini menjadi negeri lumbung sawit dunia walaupun hanya jago memperluas lahan bukan meningkatkan produktivitas.

Presiden Jokowi berpeluang menyelamatkan dan memperbaiki nasib petani sawit dengan jalan melanjutkan Inpres Nomor 8 tahun 2018.

Inpres ini tidak berjalan di tingkat petani yang dipimpin oleh kemenko perekonomian. Padahal niat Pemimpin Republik ini untuk memperbaiki tata kelola sawit termasuk memperkuat petani.

Jokowi juga perlu memastikan transformasi sawit di masa depan dalam genggaman petani di pedesaan melalui koperasi dan Badan Usaha Milik Desa. Jika petani kuat, negara pun akan kuat.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi