KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan, masyarakat yang berdemo belum membaca Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja.
Dia meminta kepada semua pihak yang menolak untuk membaca terlebih dahulu keseluruhan isi aturan tersebut.
"Jadi saran saya, biar semua tenang, karena kita cinta dengan negara kita ini. Baca dulu, baru berkomentar. Jadi, jangan nanti yang belum melihat semua, tapi berkomentar," katanya dalam tayangan Satu Meja the Forum, Kompas TV, 7 Oktober 2020.
Baca juga: Jokowi Terima Draf Final UU Cipta Kerja dari DPR Lewat Mensesneg
Draf UU Cipta Kerja
Sementara itu banyak pihak juga mempertanyakan keberadaan draf UU tersebut. Dikutip Kompas.com, Selasa (13/10/2020), di masyarakat beredar draf RUU dengan jumlah berbeda mulai dari 1.20 halaman, 905, 1.035, dan 812 halaman.
Wakil Ketua DPR Azis Syamsuddin menjelaskan soal draf UU Cipta Kerja yang berubah-ubah sejak disahkan dalam Rapat Paripurna, 5 Oktober 2020.
Setidaknya, hingga Selasa (13/10/2020), ada empat draf UU Cipta Kerja yang berbeda.
Menurut Azis jumlah halaman draf UU Cipta Kerja yang berubah-ubah itu disebabkan proses penyuntingan, pengetikan, dan pemilihan jenis kertas.
Azis menuturkan, setelah proses pengetikan final, ada 812 halaman draf UU Cipta Kerja.
Sementara itu dilansir Antaranews, Selasa (13/10/2020), draf final tersebut akan diserahkan kepada pemerintah pada Rabu 14 Oktober.
Kendati demikian Bahlil Lahadalia meminta agar draf final UU yang terdiri atas 15 bab, 174 pasal, 11 klaster, dan akumulasi 76 UU itu tidak disebarluaskan sebelum diserahkan secara resmi ke pemerintah.
Baca juga: Alasan di Balik Susutnya Halaman Draf Final UU Cipta Kerja
Apakah proses penyuntingan UU itu dibenarkan?
Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas memastikan perubahan yang dilakukan Baleg tidak mengubah substansi.
Seperti diketahui sebelumnya, setelah disahkan di DPR oleh paripurna, masih ada waktu 7 hari sebelum benar-benar diserahkan kepada pemerintah atau presiden.
"Dalam waktu 7 hari itu substansinya tidak ada yang berubah. Tapi kalau ada tafsir yang mengatakan itu terjadi perubahan substansi ya silakan saja, itu sah-sah saja," kata Supratman dalam acara Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, Rabu (14/10/2020).
Menurut Agtas memang ada perubahan frasa, namun itu tidak mengubah substansi.
Pengamat Hukum Tata Negara Feri Amsari menanggapi bahwa tidak boleh ada revisi apalagi perubahan substansi.
"Tidak boleh ada revisi, tidak boleh ada penambahan kata, frasa, kalimat selain yang disetujui," katanya dalam acara Sapa Indonesia Pagi Kompas TV, Rabu (14/10/2020).
Feri mengatakan, perubahan yang diperbolehkan hanya berkisar pada typo atau salah ketik.
Sementara Supratman mengatakan ada penambahan frasa.
"Ya tidak boleh (revisi). Penjelasan Pak Supratman itu clear bahwa ada penambahan frasa yaitu 'pemerintah daerah' maknanya yang disahkan sebelum penambahan itu tidak terdapat frasa 'pemerintah daerah'," ujar Feri.
Menurut Feri ketika frasa itu dimasukkan, berarti ketika disetujui bersama tidak ada pembahasan mengenai itu.
Baca juga: Perubahan Draf UU Cipta Kerja dan Kesakralan yang Hilang
Pengawasan masyarakat
Selain itu pihaknya juga mengatakan, masyarakat tidak bisa mengecek kebenarannya, sebab masyarakat tidak memiliki draf yang disetujui sebelum dan setelah perubahan.
Feri juga mengatakan jika ada penambahan frasa, kalimat, apalagi pasal maka konsekuensinya akan berbeda. Hal itu bisa menimbulkan tafsir yang berbeda.
"Kesalahan-kesalahan ini baru disadari setelah terburu-buru disetujui mungkin tidak melibatkan perancang di Kementerian Hukum dan HAM atau di DPR sehingga tidak matang," tuturnya.
Selain itu dia mengatakan DPR juga telah melanggar asas karena terlalu lama mengeluarkan draf ke publik.
"Perubahan macam apa yang dilakukan secara tersembunyi ini. Ini melanggar beberapa asas pembentuk undang-undang berkenaan dengan asas keterbukaan," ujar Feri.
Menanggapi hal itu Supratman mengatakan bahwa perubahan substansi tidak dilakukan.
"Saya pastikan bahwa perubahan substansi yang dimaksudkan Pak Feri itu tidak kita lakukan. Apa yang tercantum dalam undang-undang itu hanya terkait dengan simplifikasi yang seharusnya lengkap, tapi isinya sama sekali tidak berubah," katanya.
Baca juga: Apa Itu Omnibus Law Cipta Kerja, Isi, dan Dampaknya bagi Buruh?