Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Survei BPS: 17 dari 100 Orang Responden Nyatakan Tidak Mungkin Terinfeksi Covid-19

Baca di App
Lihat Foto
BPS
Tangkapan layar hasil survei persepsi kemungkinan terinfeksi/tertular Covid-19 dari BPS
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil survei perilaku masyarakat di masa pandemi Covid-19 beberapa waktu lalu.

Survei ini dilaksanakan pada 7-14 September 2020 secara online (daring) terhadap 90.967 responden dengan komposisi 44,77 persen laki-laki dan 55,23 persen perempuan.

Responden survei terdiri atas orang-orang dari berbagai kelompok usia, yaitu 17-30 tahun, 31-45 tahun, 46-60 tahun, dan lebih dari 60 tahun.

Dominasi responden adalah berusia kurang dari 45 tahun.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ada berbagai komponen yang menjadi bagian dari survei ini. Salah satunya adalah soal persepsi kemungkinan terinfeksi/tertular Covid-19.

Hasil survei ini juga dimuat dalam buku Pedoman Perubahan Perilaku yang diluncurkan Satgas Covid-19 pada 16 Oktober 2020.

Bagaimana hasil survei BPS?

Baca juga: Survei KedaiKopi: Pekerja Kantoran di Jakarta Anggap Covid-19 Kian Mengancam

Persepsi kemungkinan terinfeksi

Menurut hasil survei untuk persepsi kemungkinan terinfeksi/tertular Covid-19, ada lima kategori jawaban, yaitu "Sangat Mungkin", "Mungkin", "Cukup Mungkin", "Tidak Mungkin", dan "Sangat Tidak Mungkin".

Berikut hasil surveinya:

Dari hasil survei itu, artinya, 17 dari 100 responden menyatakan sangat tidak mungkin dan tidak mungkin untuk terinfeksi atau tertular Covid-19.

Adapun persentase responden menurut jenis kelamin yang menyatakan sangat tidak mungkin dan tidak mungkin terinfeksi adalah 16,9 persen laki-laki dan 17 persen perempuan.

Sementara itu, dari segi usia, 20,2 persen berasal dari kelompok usia 17-30 tahun, 17,4 persen dari kelompok usia lebih dai 60 tahun, 16,2 persen dari kelompok usia 46-60 tahun, dan 15,4 persen dari kelompok usia 31-45 tahun.

Dinilai dari tingkat pendidikan, dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan, ada kecenderungan untuk semakin meyakini bahwa Covid-19 berbahaya dan mudah menular.

Kesimpulan ini ditunjukkan melalui data persepsi sangat tidak mungkin dan tidak mungkin tertular Covid-19 yang didominasi oleh responden dengan tingkat pendidikan SD, yaitu sebanyak 33,6 persen, disusul SMP sebanyak 32,5 persen, SMA/SMK sebanyak 25,46 persen, dan Diploma atau Sarjana sebanyak 13,41 persen.

Baca juga: Cegah Penularan Covid-19 di Pesantren, Satgas: Keluar Masuk Orang Harus Dikendalikan

Masih ada yang tidak percaya ancaman Covid-19

Seperti diberitakan Kompas.com, 20 Juli 2020, meski telah menginfeksi puluhan juta orang di dunia, masih ada yang tidak percaya dengan adanya virus corona tersebut.

Beberapa menganggap bahwa pandemi hanyalah konspirasi atau cara untuk memperoleh keuntungan tertentu.

Sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono mengungkapkan, ketidakpercayaan publik atas adanya virus corona disebabkan oleh kesenjangan antara informasi dan realita.

Dalam sosiologi, agar suatu hal dapat melekat dalam tubuh seseorang, diperlukan tiga proses tahapan yang disebut konstruksi sosial atas realitas, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalsasi.

Sebagai tahap eksternalisasi, Drajat menilai, informasi terkait virus corona sangat massif. Akan tetapi, saat masuk ke dalam objektivasi, banyak orang tidak mengalami atau melihat langsung kasus Covid-19 yang terjadi di lingkungannya.

Oleh karena itu, realitas yang ditangkap oleh masyarakat hanya bersifat konseptual.

Menurut Drajat, salah satu karakter manusia adalah looking self glass, yaitu bertindak atas dasar proyeksi diri dengan orang lain.

Untuk memutuskan sikap atau langkah apa yang harus dilakukan, manusia melihat lingkungannya.

Dalam kasus Covid-19 ini, banyak orang mungkin melihat lingkungannya bebas dari infeksi Covid-19 dan mobilitas masih terjadi. 

"Maka sebenarnya, informasi yang begitu besar dari ganasnya penularan corona itu bagi mereka tidak berarti karena dianggap bombastis," kata Drajat.

Hal ini senada dengan laporan Quartz, 16 Mei 2020 yang menyebut semakin lebarnya kesenjangan analisis pakar dan opini publik.

Alasannya bisa jadi karena berbagai faktor, mulai dari pendidikan yang tidak cukup hingga informasi yang tidak tepat atau akurat untuk memutuskan sesuatu.

Baca juga: Survei: Masyarakat Tahu Protokol Kesehatan Covid-19, Tapi Kurang Diterapkan

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Pencegahan Penularan Virus Corona

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi