Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemerintah Thailand Awasi Media, Koordinasi Aksi Pindah ke Telegram

Baca di App
Lihat Foto
AFP/JACK TAYLOR
Massa pro-demokrasi menggelar aksi unjuk rasa menentang dekrit darurat oleh Pemerintah Thailand, di Bangkok, Thailand, Kamis (15/10/2020). Puluhan ribu orang turun ke jalan memprotes keputusan Pemerintah mengeluarkan dekrit darurat yang melarang kerumunan dan pembatasan media.
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Aksi demonstrasi di Thailand menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha tetap berlanjut meski puluhan pengunjuk rasa dan para pemimpinnya ditangkapi.

Terbaru, kepolisian memerintahkan penyelidikan terhadap empat media dan halaman Facebook yang dianggap melanggar hukum Thailand. 

Mengutip Bangkok Post, Kepolisian Thailand mengancam akan memblokir sejumlah media penyiaran juga laman Facebook yang dijalankan oleh para demonstran, karena dinilai mengancam keamanan nasional negara itu.

Pemblokiran media

Kepala Kepolisian Nasional, Suwat Jangyodsuk telah menandatangi perintah berdasar keputusan darurat yang meminta Komisi Nasional Penyiaran dan Telekomunikasi serta Menteri Sosial untuk memblokir atau melarang aktivitas dari Voice TV, Parachathai.com, The Reporters, The Standard, dan laman Facebook FreeYOUTH.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Tak Pedulikan Larangan Demo, Unjuk Rasa di Thailand Jalan Terus

Keputusan darurat itu memungkinkan otoritas terkait untuk melakukan pemblokiran atau pelarangan operasi media dan sumber informasi lain yang menganam keamanan nasional.

Tindakan ini diambil setelah rentetan aksi perlawanan terhadap pemerintah menyebar ke sepenjuru negeri.

Perlawanan semakin memuncak setelah kepolisian menangkapi sejumlah pimpinan aksi dan menembakkan meriam air dengan pewarna untuk membubarkan aksi demo damai yang digelar di perempatan Pathumwan, Jumat (17/10/2020).

Pindah ke Telegram

Gerakan The FreeYOUTH di laman Facebook meminta para pengikutnya untuk berpindah ke aplikasi perpesanan Telegram setelah mendengar isu bahwa laman Facebook mereka menjadi target sasaran dari Kementerian Ekonomi Digital dan Sosial.

Mereka pun memberikan instruksi pada para pengikutnya soal bagaimana mangatur privasi dan keamanan penggunaan Telegram untuk menyembunyikan nomor telepon mereka.

Menanggapi isu yang beredar, Menteri Ekonomi Digital dan Sosial, Buddhipongse Punnakanta bersikeras menyebut pemblokiran itu merupakan keputusan kepolisian dan harus mendapat persetujuan dari Facebook itu sendiri.

Ia mengaku pihaknya belum dihubungi kepolisian untuk melakukan pemblokiran atau sejenisnya.

Wakil sekretaris kementerian, Phuchaphong Nnotthaisong menambahkan bukan kewenangan pihaknya untuk menghasut atau memproses permintaan pemblokiran suatu laman ke Facebook.

Baca juga: Profil Prayuth Chan-ocha, PM Thailand yang Menolak Mundur Usai Didemo

Dikutip dari Thairath.co, aplikasi yang satu ini dianggap bisa menjadi media yang mengakomodasi kekuatan massa melalui jagat siber.

Grup FreeYOUTH di Telegram, kini dilaporkan telah memiliki 110.607 anggota dengan sebanyak 34.792 di antaranya yang online secara bersamaan.

Selama 7 tahun terakhir Telegram menjadi salah satu alat yang dipakai para aktivis politik untuk melawan pemerintah di Hong Kong dan Belarusia.

Info rencana demonstrasi

Para pengunjuk rasa mengirimkan pesan terinkripsi menggunakan VPN untuk menyebarkan informasi dan mengatur rencana demonstrasi.

Pada kasus demo di Hong Kong yang menentang Pemerintahan China, pihak Telegram menyebut akan tetap menjaga kerahasiaan data para pengguna Telegram di Hong Kong dari Pemerintah Hong Kong, sampai mereka bisa meyakinkan bahwa tidak ada intervensi China di Hong Kong.

Ketika demonstrasi memuncak di Juli 2019, jumlah unduhan Telegram di toko aplikasi digital melonjak hingga 323 persen dari periode yang sama di tahun 2018. Setidaknya aplikasi ini diunduh oleh lebih dari 110.000 orang, padahal total unduhan di seluruh dunia hanya 1,7 juta.

Di Rusia, pemerintah sempat mengeluarkan perintah untuk memblokir Telegram karena alasan yang sama, Telegram tidak mau memberikan data pengguna pada Pemerintah.

Telegram pun dianggap tidak bisa diajak bekerja sama dengan pemerintahan.

Dikutip dari Voice.tv, Kementerian Ekonomi dan Masyarakat Digital Thailand telah meminta NBTC untuk memberi tahu penyedia layanan internet dan semua penyedia layanan jaringan seluler untuk menangguhkan penggunaan aplikasi Telegram.

Baca juga: Update Bantuan Subsidi Gaji: Ini 5 Hal yang Perlu Pekerja Ketahui!

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi