Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dianggap Menghasut Kerusuhan saat Demo Thailand, Media Ini Ditutup

Baca di App
Lihat Foto
screenshoot
Tangkapan layar web VoiceTV Thailand yang dibredel pemerintah
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Di tengah aksi unjuk rasa yang masih terus berlangsung, pemerintah Thailand memutuskan untuk menutup salah satu media massa di negara itu, Voice TV.

Disebutkan The Guardian (21/10/2020), Voice TV yang memiliki hubungan dengan mantan PM Thaksin Shinawatra, akan ditutup karena liputan protes yang dipimpin pemuda terhadap pemerintah dan monarki.

Putusan pengadilan itu dikeluarkan sehari setelah kementerian ekonomi digital dan masyarakat mengatakan telah menandai lebih dari 325.000 pesan di platform media sosial yang melanggar Undang-Undang Kejahatan Komputer.

Aturan tersebut menurut para kritikus digunakan untuk memberangus perbedaan pendapat.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tagar #SaveFreePress menjadi trending di Thailand pada hari Senin.

Pengadilan belum mengumumkan keputusan apakah akan menutup tiga media lainnya yang juga sedang diperiksa yaitu The Reporters, Prachatai, dan The Standard.

Baca juga: Unggah Foto Selfie saat Demo di Thailand Bisa Diancam Penjara 2 Tahun

Dianggap ganggu stabilitas nasional

Dilansir dari Al Jazeera, Rabu (21/10/2020) juru bicara Kementerian Digital Thailand Putchapong Nodthaisong mengatakan, Voice TV dianggap telah menyebarkan informasi palsu yang mengganggu stabilitas nasional.

Sebelumnya, pada Selasa (20/10/2020) Perdana Menteri Prayut Chan-o-cha menuduh media massa telah menyebarkan informasi palsu.

"Kebebasan media adalah hal yang penting, tetapi dalam beberapa kasus ada media yang memelintir informasi sehingga menimbulkan keresahan di masyarakat," kata Prayut.

Sementara itu, pemimpin redaksi Voce TV Rittikorn Mahakhachabhorn mengatakan bahwa pihaknya akan tetap melanjutkan siaran hingga keputusan resmi dari pengadilan mereka terima.

“Kami bersikeras bahwa kami telah beroperasi berdasarkan prinsip jurnalistik dan kami akan tetap melanjutkan pekerjaan kami sekarang,” katanya.

Menuai kecaman

Keputusan pemerintah Thailand untuk menutup Voice TV mendapat kecaman dari berbagai pihak.

Dalam sebuah pernyataan resmi, Amnesty International menyebut otoritas Thailand sengaja membungkam Voice TV untuk menciptakan ketakutan,

“Serangan terhadap media hanya salah satu aspek dari serangan otoritas Thailand terhadap saluran komunikasi, di samping ancaman mereka untuk memblokir Telegram dan penggunaan Computer Crimes Act," kata Ming Yu Ah, Wakil Direktur Regional Amnesty International bidang Kampanye.

Sementara itu, Human Rights Watch mengatakan, penutupan Voice TV adalah penyalahgunaan Dekrit Darurat yang tengah diberlakukan di Thailand.

"Tindakan keras ini adalah bagian dari upaya untuk menggertak dan mengontrol media agar menjadi corong pemerintah,” kata Brad Adams, Direktur Human Rights Watch Asia, dalam sebuah pernyataan.

Baca juga: Pemerintah Thailand Awasi Media, Koordinasi Aksi Pindah ke Telegram

Kecaman lain datang dari The Foreign Correspondents Club of Thailand, yang mengungkapkan keprihatinan mereka atas langkah investigasi dari Kepolisian terhadap media Thailand.

Klub Koresponden Asing Thailand menyatakan keprihatinan yang mendalam bahwa Kepolisian Kerajaan Thailand sedang menyelidiki TV Suara, bersama dengan outlet media online Prachatai, The Reporters dan The Standard.

“Media yang bebas adalah elemen penting dalam masyarakat demokratis mana pun, dan jurnalis harus diizinkan untuk melaporkan perkembangan penting tanpa ancaman, larangan, skorsing, sensor atau tuntutan yang membayangi mereka,” kata klub tersebut.

Perintah investigasi

Sebelumnya, seperti diberitakan Kompas.com, Senin (19/10/2020) Pemerintah Thailand terus berupaya menekan eskalasi demonstrasi dengan berbagai upaya.

Salah satunya dengan membatasi aktivitas jurnalistik di negara itu, dan memerintahkan investigasi terhadap empat kantor berita serta laman Facebook kelompok demonstran.

Perintah investigasi itu dikeluarkan berdasarkan Dekrit Darurat yang telah diterbitkan pada pekan lalu, dalam rangka menghentikan aksi unjuk rasa terhadap pemerintah dan Kerajaan Thailand.

Empat media yang diinvestigasi adalah Voice TV, The Reporters, Prachatai, dan The Standard.

Berdasarkan dokumen kepolisian bertanggal 16 Oktober 2020, investigasi dilakukan terhadap konten dari empat kantor berita, sekaligus laman Facebook dari kelompok demonstran.

"Kami menerima informasi dari unit intelijen bahwa konten dan informasi yang menyimpang telah digunakan dan disebarluaskan sehingga menimbulkan kebingungan serta memicu keresahan masyarakat," kata juru bicara polisi Kissana Phathanacharoen dalam konferensi pers.

Baca juga: Demonstrasi di Thailand, Polisi Diberi Kewenangan Menyensor Media

Dia mengatakan, otoritas penyiaran dan Kementerian Digital Thailand akan menyelidiki dan mengambil tindakan yang sesuai, seraya menambahkan bahwa tidak ada rencana untuk mengekang kebebasan pers.

Putchapong Nodthaisong, juru bicara Kementerian Digital, mengatakan, telah meminta perintah pengadilan untuk menghapus konten dari empat media dan halaman Facebook demonstran.

Selain itu, dia menyebut ada lebih dari 300.000 konten yang dinilai telah melanggar hukum Thailand.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi