Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Penjelasan BMKG soal Penyebab Gempa dan Tsunami di Turki

Baca di App
Lihat Foto
DHA via AP
Bangunan yang ambruk akibat gempa magnitudo 7 di Izmir, Turki, pada Jumat (30/10/2020). Pusat gempa berada di Laut Aegean dengan kedalaman 16,5 kilometer.
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Negara Turki baru saja diguncang gempa bumi berkekuatan 7,0 magnitudo pada Jumat (30/10/2020) malam atau Jumat siang pukul 13.51 waktu setempat.

Gempa tektonik tersebut berpusat di Laut Aegean, 17 kilometer pesisir barat Turki dan guncangannya terasa hingga kota terbesar di sana yakni Istanbul, ibu kota Yunani, Athena, juga Bulgaria, dan Makedonia Utara.

Tidak hanya mengguncang daratan di sekitarnya, gempa juga menimbulkan kerusakan material dan ratusan korban luka-luka hingga update terakhir 22 orang meninggal dunia.

Baca juga: Turki-Yunani Diguncang Gempa M 7, Air Laut Masuki Kota Pesisir Izmir

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Analisis BMKG

Kepala Bidang Mitigasi Gempa Bumi dan Tsunami BMKG, Daryono menjelaskan, gempa Turki tersebut dipicu oleh aktivitas patahan atau sesar, yakni Sesar Sisam (Sisam Fault) dengan mekanisme pergerakan turun (normal fault).

Sesar aktif ini memiliki panjang jalur sekitar 30 kilometer.

Berdasarkan keterangan yang diterima Kompas.com pada Sabtu (31/10/2020) pagi, BMKG mencatat sudah ada lebih dari 100 gempa susulan yang terjadi sejak gempa dahsyat sebelumnya. 

"Hingga saat ini sudah terjadi lebih dari 100 aktivitas gempa susulan (aftershocks) sejak terjadinya gempa utama (mainshock) dengan magnitudo terbesar 5,1," kata Daryono.

Sesar yang ada di dekat pulau Samos, Yunani ini disebut "pecah" di dekat menderes graben, satu wilayah yang sudah memiliki sejarah panjang gempa bumi akibat sesar turun.

Graben atau slenk adalah hasil dari patahan pada kulit bumi yang mengalami depresi dan terletak di antara dua bagian yang lebih tinggi.

Baca juga: Fakta-fakta Gempa Turki: Penyebab, Dampak dan Update Kondisi Terkini

Daryono menyebut wilayah Laut Aegean memang sudah memiliki sejarah panjang sebagai kawasan rawan gempa dan tsunami.

"Peristiwa tsunami terakhir adalah tsunami merusak di Bodrum, Turki, akibat gempa berkekuatan 6,6 pada tahun 2017 lalu," ujat Daryono.

Sementara untuk gempa bumi, di sekitat Sesar Sisam ini sudah beberapa kali tercatat guncangan dengan kekuatan besar, misalnya di tahun 1904 gempa bermagnitudo 6,2 sementara pada tahun 1992 berkekuatan 6,0 M.

Tsunami

Gempa yang terjadi kali ini juga menimbulkan gelombang tsunami akibat episentrumnya yang dangkal.

"Karena mekanisme patahannya yang bergerak turun dan hiposenter gempanya sangat dangkal, hanya sekitar 6 km, maka wajar jika gempa ini memicu terjadinya tsunami," ujar Daryono.

Tsunami yang terjadi pun terdokumentasi dengan baik oleh banyak alat pengukur pasang surut air laut dan saksi mata yang ada di sejumlah pulau di Yunani dan pantai di Turki.

"Tsunami lokal tampak tercatat di stasiun-stasiun tide gauge seperti stasiun Syros ±8 cm, Kos ±7 cm, Plomari ±5 cm dan Kos Marina ±4 cm. Sayangnya pantai terdekat pusat gempa tidak ditemukan catatan tide gauge, padahal tsunami ini juga menimbulkan kerusakan ringan di beberapa wilayah pantai Yunani dan Turki," jelas dia.

Baca juga: Gempa M 7 Guncang Turki, 4 Tewas dan 120 Luka-luka

Tsunami dengan skala kecil yang terjadi menggenangi daratan akibat kondisi topografi pantai yang landai.

Daryono mengatakan hal ini berkaitan dengan morfodinamika pantai dan amplitudo pasang surut.

Meski terjadi jauh dari Tanah Air, namun Daryono mengingatkan gempa ini begitu penting untuk dijadikan bahan pembelajaran bagi masyarakat Indonesia yang juga hidup di wilayah rawan dengan banyak jalur sesar aktif di dasar lautannya.

"Kewaspadaan terhadap gempa dan tsunami perlu terus ditingkatkan dengan memperkuat upaya mitigasinya baik mitigasi struktural dan non struktural," ucap Daryono.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi