Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pemimpin Redaksi Kompas.com
Bergabung sejak: 21 Mar 2016

Wartawan Kompas. Pernah bertugas di Surabaya, Yogyakarta dan Istana Kepresidenan Jakarta dengan kegembiraan tetap sama: bersepeda. Menulis sejumlah buku tidak penting.

Tidak semua upaya baik lekas mewujud. Panjang umur upaya-upaya baik ~ @beginu

Bagaimana Kesehatan Mentalmu Setelah Delapan Bulan Pandemi?

Baca di App
Lihat Foto
Shutterstock
Ilustrasi
Editor: Amir Sodikin

KOMPAS.com - Hai, apa kabarmu? Semoga kabarmu baik karena sehat. Tidak hanya sehat fisik, melainkan juga mental. Tidak hanya sehat raga, malainkan juga jiwa. 

Situasi pandemi yang panjang dengan ketidakpastian yang tidak surut tingkatannya memang menguras energi yang melahkan raga, pikiran juga jiwa. 

Hal itu setidaknya terkonfirmasi dari orang-orang yang berinteraksi dengan saya.Tak hanya orang-orang terdekat seperti keluarga, tetapi juga mahasiswa-mahasiswa saya.

Setiap Kamis, saya mengajar di Universitas Multimedia Nusantara (UMN) di Serpong, Tangerang. Ketika ada kesempatan menyampaikan kondisi yang dirasakan saat kuliah virtual, yang nyaris sudah berlangsung satu tahun, konfirmasi itu saya dapatkan.

Sebagian besar mahasiswa kelelahan dan tentunya kewalahan. Bukan semata-mata karena materi kuliah dengan tugas-tugas yang tidak surut, tetapi juga karena situasi "terkurung" yang menyesakkan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dari sebagian besar yang kelelahan itu semua menyebut soal kesehatan mental sebagai hal yang mereka khawatirkan. 

Mendapati ini, saya menarik napas dalam-dalam dan berhenti sejenak mengajar. Saya beri ruang mahasiswa melepaskan semua beban dengan mengutarakan. Saya mendengarkan. 

Dengan mengutarakan, beban tidak langsung hilang. Namun, mendengarkan bisa menjadi awal baik untuk mendapatkan pengertian dan pemahaman. 

Saya diingatkan lagi niat awal saya mengajar. Selain berbagi pengetahuan dan pengalaman, mengajar jadi kesempatan saya untuk menyerap pengetahuan dan pengalaman mahasiswa yang berbeda generasi dengan saya.

Lewat ruang yang terbuka, saya mencoba mendengarkan. Sedikit banyak saya menjadi lebih paham apa mimpi, harapan dan kecemasan mahasiswa yang oleh sejarah diletakkan dalam situasi yang tidak mudah ini di usia yang masih muda.

Karena pemahaman ini, tuntutan perkuliahan tidak saya letakkan tanpa diskusi. Pijakan saya tunggal.

Jika mahasiswa gembira dan merasa senang saat mengikuti kuliah yang sulit sekalipun, maka pembelajaran layak dilanjutkan. Jika tidak, perkara perlu diselesaikan.

Untuk mendapati kepastian ini, di awal kuliah saya selalu bertanya kabar. Di tengah kuliah saya ulangi sambil bertanya soal materi. Begitu juga di akhir kuliah untuk keseluruhan materi.

Saya minta mahasiswa mengirim "reaction" sebagai sinyal untuk saya apakah mereka gembira atau sebaliknya.

Tidak adanya perjumpaan langsung, apalagi hanya terlihat baris nama di layar hitam saat perkuliahan, sulit bagi saya untuk bisa menerka-nerka parasaan mahasiswa.

Oya, sepekan ini banyak sekali kejadian penting baik di dalam maupun di luar negeri.

Dari luar negeri, kita semua menyaksikan perubahan besar karena pemilu di Amerika Serikat. Joe Biden dan Kamala Harris yang diproyeksikan mengalahkan perolehan suara Donald Trump dan Mike Pence dan memenangi pemilu.

Kemenangan dengan proyeksi 290 suara elektoral sementara yang diraih, Biden unggul jauh dari Trump dengan 214 suara elektoral. Dari sisi suara populer (popular votes), Biden memimpin 50,6 persen berbanding 47,4 persen hingga Minggu (8/11/2020) dini hari.

Terpilihnya Biden, bekas Senator Delaware dan Wakil Presiden di era Barack Obama (2008-2016) sebagai presiden baru AS itu juga diiringi sejumlah rekor dan angin segar yang menyehatkan mental.

Biden meraup popular votes terbanyak sepanjang sejarah. Saat nanti dilantik pada 20 Januari 2021, Biden akan berusia 78 tahun dan menjadi presiden tertua AS sepanjang sejarah.

Menariknya, pria kelahiran 20 November 1942 itu bakal memecahkan rekor yang sebelumnya dipegang Donald Trump. Trump berusia 70 tahun saat ia dilantik sebagai presiden AS di Gedung Capitol, Washington.

Dunia menyambut gembira perubahan yang memunculkan harapan baru ini. Presiden Joko Widodo misalnya, memberikan ucapan selamat atas langkah historis Biden. Kemenangan itu merefleksikan harapan yang diletakkan pada demokrasi.

Mendapati apa yang terjadi di AS, kita seperti mengulang memori pemilihan presiden di Indonesia. Mayoritas teringat Pilpres 2019 yang mempertemukan Jokowi dan Prabowo dengan semua dramanya.

Namun, jika ingatan kita lebih panjang, apa yang terjadi di AS mirip juga dengan Pilpres 2004. Saat itu, dalam pemilihan langsung pertama kali dalam sejarah Indonesia, petahana dikalahkan mantan pembantunya yang kemudian jadi seteru bahkan hingga sekarang.

Petahana yang kalah tidak langsung bisa menerima, juga publik pendukungnya. Mirip situasinya. Ditambah, penantang yang jadi pemenang dari partai yang sama namanya, Partai Demokrat.

Kita tunggu tensi politik di AS reda untuk kita tatap bagaimana dunia merespons tantangan nyata di depan mata secara bersama karena pandemi yang belum juga reda.

Kesadaran bahwa dunia bersama-sama menghadapi pandemi ini baik untuk kesehatan mental kita juga.

Dari dalam negeri, pekan lalu dibuka dengan penuh keyakinan lewat ditandatangainya UU Cipta Kerja oleh Presiden Jokowi. Namun, keyakinan penandatanganan UU berisi 1.187 halaman itu disertai dengan kesalahan ketik beberap pasal yang menimbulkan banyak pertanyaan dan gugatan.

Kesalahan demi kesalahan yang terjadi sejak awal UU Cipta Kerja disiapkan ini menambah kesan juga bukti ugal-ugalan dalam penyusunan

Ada kabar tidak menyenangkan juga minggu lalu yang sebetulnya sudah bisa diprediksi. Indonesia resmi masuk masa resesi.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada kuartal III-2020 minus 3,49 persen (year on year/yoy). Pada kuartal II-2020 ekonomi RI juga terkonstraksi alias negatif.

Dampak langsung resesi ini sudah terasa dan akan bertahan beberapa lama di antaranya adalah penurunan pendapatan masyarakat kelas menengah dan bawah. 

Penurunan pendapatan ini akan memunculkan orang miskin baru. Tidak usah jauh-jauh mencari. Di sekitar kita, banyak temuan ini.

Misalnya Denny, manusia got asal Bekasi. Menghadapi situasi nyata yang menekan, penarik becak yang kehilangan pelanggan karena pendemi ini tidak berkeluh kesah atau meratap semata-mata.

Sejumlah peluang dilihatnya dan akhirnya dijalani sesuai kecakapan yang dimilikinya. Mengandalkan kekuatan fisik dan kemauan bekerja keras, menawarkan jasa membersihkan got dan menghilangkan sumbatannya menjadi pilihan.

Ketika ada panggilan, got-got berwarna hitam pekat dengan bau tidak karuan diselami layaknya penyelam meskipun tanpa peralatan. Sampah yang ditemukan dikeluarkan dan sumbatan dilancarkan.

Karena pekerjaan yang nyaris tidak mau dilakukan oleh siapa pun ini, Denny dijuluki "Manusia Got".

Manfaat baik diberikan Denny untuk masyarakat. Got yang berbulan-bulan tersumbat menjadi lancar dan ancaman banjir di perumahan karena masuknya musim hujan dan sumbatan got terselesaikan.

Denny memperoleh pendapatan karena kerja keras dan kegigihan untuk melakukan pekerjaan yang bagi sebagian besar dari kita mungkin menjijikkan.  

Oya, pekan lalu, kita juga memperingati sepuluh tahun letusan dahsyat Merapi. Hari-hari ini, aktivitas Merapi yang masuk siaga 3 mengingatkan kita kembali akan fenomena alam yang kita tinggali.

Bersama Paguyuban Warga Kinahrejo yang memperingati hal ini, kita makin sadar, Merapi adalah semesta itu sendiri.

Tempat di mana manusia dan alam saling berinteraksi. Tempat penemuan jati diri, bukan tempat menyombongkan diri.

Merapi adalah mahaguru bagaimana seharusnya manusia belajar mengenal, memahami dan hidup berdampingan serta selaras dengan alam.

Bersama kesadaran warga di sekitar lereng Merapi, mari kita tata laku bersama alam dan selaras dengan alam.

Salam selaras,

Wisnu Nugroho

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi