Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengintip Jejak Pendirian Masyumi, Partai yang Kini Dideklarasikan Lagi...

Baca di App
Lihat Foto
IPPHOS
Perundingan Antara Presiden Soekarno dengan Pimpinan Masyumi, membicarakan Tentang Pembentukan Kabinet 23 Maret 1951
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Deklarasi Masyumi Reborn pada 7 November silam membuat ramai jagat politik nasional.

Nama partai yang pernah dibubarkan Presiden Soekarno itu dihidupkan kembali oleh Cholil Ridwan yang malang melintang di Dewan Dakwah Ismaliyah Indonesia (DII).

Sebelumnya, penggunaan Masyumi untuk menamai partai politik pernah muncul pada 1999. Bahkan, saat pemilu pertama di era reformasi tersebut diikuti oleh dua partai yang menggunakan nama Masyumi yakni Partai Masyumi dan Partai Masyumi Baru.

Baca juga: Amien Rais Dirikan Partai Ummat, Ancaman bagi PAN?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Namun selepas Pemilu 1999, kedua partai tersebut tak pernah muncul lagi hingga Pemilu 2019.

 

Cholil sendiri selaku Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Partai Islam Ideologis (BPU-PPII) mengajak politisi senior Amien Rais bergabung bersama Partai Masyumi Reborn yang baru saja dideklarasikan.

Permintaan itu disampaikan secara terbuka dalam forum tasyakuran milad ke-75 sekaligus deklarasi Partai Masyumi, Sabtu (7/11/2020).

Baca juga: Saat Majunya Gibran Bisa Timbulkan Kecemburuan Kader Partai...

Cholil juga menyinggung seandainya Persaudaraan 212 dan Rizieq Shihab bergabung dengan Masyumi.

"Insya Allah tidak akan ada satu kekuatan parpol yang bisa mengalahkan Masyumi di masa yang akan datang. Partai Komunis gaya baru akan pingsan kalau mendengar Partai Masyumi bergabung dengan Partai Ummat, didukung PA 212, FPI, " tegasnya.

Dalam kesempatan yang sama, Cholil pun mengajak Ustadz Abdul Somad (UAS) ikut bergabung. Dia berharap, UAS bisa menjadi anggota Majelis Syuro.

Baca juga: Saat Kursi Menteri Jadi Rebutan Partai Politik...

Lantas, bagaimana perjalanan partai politik ini, dari terbentuk hingga bubar?

Awal mula terbentuknya Masyumi

Masyumi dibentuk pada 24 Oktober 1943. Masyumi lahir ketika Jepang sedang terseret kemelut Perang Pasifik.

Hal itu sebagaimana yang dicatat Gungun Karya Adilaga dalam buku "Simpul Sejarah: Mengikat Makna Perjuangan Umat Islam Bangsa Indonesia".

Awalnya Masyumi bukan partai, melainkan organisasi Islam.

Jepang merestui organisasi ini berdiri karena dianggap bisa membantu Jepang untuk berperang.

Namun, restu dari Jepang itu tidak selaras dengan yang mereka kehendaki.

Baca juga: Mengenang Pertempuran Surabaya, Cikal Bakal Peringatan Hari Pahlawan

Para pendiri Masyumi, yang terdiri atas KH Wachid Hasyim, Mohammad Natsir, Kartosoewirjo, dan lainnya, justru menghendaki organisasi ini dapat menghadirkan semangat Islam untuk berperang merebut kemerdekaan.

Waktu itu, Kartosoewirjo bukan pendatang baru.

Sebelum terpilih sebagai Komisaris Jawa Barat merangkap Sekretaris I Masyumi, ia sudah aktif dalam Majelis Islam A'la Indonesia (MIAI).

Baca juga: Partai Gelora dan Rencana Panjang Fahri Hamzah...

Cikal bakal Masyumi

MIAI adalah salah satu organisasi cikal bakal Masyumi.

Bersama kawan-kawannya, atas izin Aseha-residen Jepang di Bandung, ia mendirikan cabang MIAI di lima kabupaten di Priangan.

Kartosoewirjo cukup dekat dengan Jepang.

Baca juga: Partai Gelora, PKS dan Fahri Hamzah...

Dalam Soeara MIAI, ia menulis betapa ajaran Islam akan berkembang bila umatnya ikut membangun dunia bersama "keluarga Asia Timur Raya".

Beberapa tahun setelah Proklamasi, dalam Pedoman Dharma Bhakti, ia menjelaskan strategi kerja sama ini terbukti efektif.

"Masyumi dan MIAI, keduanya buatan Jepang, dengan perantaraan agen para kiai ala Tokyo, sebenarnya kamp konsentrasi. Namun akhirnya menjadi pendorong dan daya kekuatan yang hebat (dalam pergerakan Indonesia," tulisnya.

Atas usul Kartosoewirjo pula, Wachid Hasyim, Natsir dan anggota lainnya, pada 7 November 1945 di Yogyakarta, menyatakan Masyumi sebagai partai politik.

Baca juga: Ormas Garbi, Fahri Hamzah dan Perjalanan Partai Gelora...

Hubungan Masyumi dengan Soekarno

Dikutip dari tesis mahasiswa pascasarjana Universitas Indonesia, Siregar, Insan Fahmi, Partai Masyumi: pembentukan, perkembangan dan pembubarannya 1945-1960, hubungan Masyumi dengan Presiden Soekarno amatlah penuh dinamika.

Hubungan Masyumi dengan Presiden Soekarno misalnya, pernah juga mengalami hubungan yang harmonis, terutama pada masa revolusi.

Hubungan itu mengalami pergeseran hingga menjurus kepada konflik. Konflik antara Soekarno dengan Masyumi semakin tajam.

Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: 22 Februari 1967, Soekarno Serahkan Kekuasaan kepada Soeharto

Terutama sejak adanya keinginan Soekarno mengubur partai politik pada Oktober 1956, dan Konsepsi Presiden pada 1957. Konflik terus berlanjut hingga masa Demokrasi Terpimpin.

Pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dimulai sejak keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Keluarnya Dekrit tersebut semakin memperkuat dan memperbesar kekuasaan Soekarno di satu pihak, sementara di pihak lain semakin melemahkan posisi dan peran Masyumi sebagai partai politik.

Bukan hanya peran politik Masyumi yang semakin merosot, tetapi eksistensi Partai Masyumi pun diakhiri Soekarno melalui Keputusan Presiden No. 200 tahun 1960.

Baca juga: Deklarasi Masyumi Reborn, Ini Syarat Pembentukan Partai Menurut Kemendagri

Faktor penyebab Masyumi dibubarkan

Pertama, Soekarno ingin merealisasikan pemikiran dan obsesinya yang sudah lama terkubur, terutama mengenai partai politik, demokrasi dan revolusi.

Kesimpulan ini didasarkan atas beberapa pernyataan dan pemikiran Soekarno yang sudah berkembang sejak masa pergerakan nasional sampai masa awal Demokrasi Terpimpin.

Sejak masa pergerakan nasional, Soekarno menginginkan partai politik cukup satu. Bahkan pada Oktober 1956, Soekarno menyatakan partai politik adalah penyakit, sehingga harus dikubur.

Baca juga: Mengintip Jejak THR PNS, Dicetuskan Kabinet Sukiman, Diprotes Buruh hingga Cair 15 Mei 2020

Selain itu, Soekarno menginginkan demokrasi yang diterapkan adalah Democratisch-centralisme, yakni suatu demokrasi yang memberi kekuasaan pada pucuk pimpinan buat menghukum tiap penyelewengan, dan menendang bagian partai yang membahayakan massa.

Konsep ini disampaikan Soekarno pada 1933 dan kemudian diterapkannya pada masa Demokrasi Terpimpin.

Faktor berikutnya yang menjadi alasan partai ini dibubarkan adalah konflik yang berkepanjangan antara Soekarno dengan Masyumi.

Soekarno selalu mendapat kritikan dari orang-orang Masyumi, terutama dari Natsir.

Baca juga: Ormas Garbi, Fahri Hamzah dan Perjalanan Partai Gelora...

Selain dendam pribadi, Soekarno juga menyimpan dendam sejarah kepada Partai Masyumi. Partai Masyumi seringkali mengkritisi dan menentang gagasan dan kebijaksanaan Soekarno.

Adanya penentangan dan perlawanan Masyumi yang tidak putus-putusnya kepada Soekarno yang semakin mendorong dan meyakinkannya untuk membubarkan Masyumi.

Faktor lain adalah untuk menjaga kesinambungan pelaksanaan Demokrasi Terpimpin dan melestarikan kekuasaannya.

Soekarno khawatir bila Masyumi tetap dibiarkan hidup, maka akan mengancam kekuasaannya, dan menghambat jalannya Demokrasi Terpimpin.

Baca juga: Soal Masyumi Reborn, DPP PDI-P: Partai Baru Akan Jadi Mitra Berdemokrasi yang Sehat

Soekarno membubarkan Masyumi dengan 2 pendekatan

Usaha Soekarno untuk menyingkirkan Masyumi dilakukan dengan dua pendekatan.

Pertama, pendekatan politik, dengan cara mengurangi dan menghilangkan peran politik Masyumi dalam pemerintahan dan legeslatif.

Kedua, pendekatan hukum, dengan membuat beberapa peraturan yang menjurus kepada pembubaran Partai Masyumi.

Pada 1960, Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 200 Tahun 1960 yang berisi tentang pembubaran Partai Masyumi di seluruh wilayah Indonesia.

Baca juga: Mengapa Munas Partai Rawan Menimbulkan Perpecahan?

Partai Masyumi menghadapi Keputusan Presiden No. 200 tahun 1960 itu dengan dua cara.

Pertama, pimpinan Partai Masyumi menyatakan Masyumi bubar, melalui suratnya No. 1801BNI-25/60 tanggal 13 September 1960.

Partai Masyumi membubarkan diri untuk menghindari cap sebagai partai terlarang, dan korban yang tidak perlu, baik terhadap anggota Masyumi dan keluarganya, maupun aset-aset Masyumi.

Baca juga: Menilik Fenomena Artis dalam Bursa Pilkada...

Kedua, menggugat Soekarno di pengadilan.

Usaha Masyumi mencari keadilan di pengadilan menemui jalan buntu. Kebuntuan itu terjadi karena adanya intervensi Sukarno terhadap pengadilan.

Keputusan Pimpinan Partai Masyumi yang membubarkan diri, temyata bisa diterima anggota Masyumi.

Anggota Masyumi tidak melakukan pembangkangan terhadap Pimpinan Masyumi.

Baca juga: Deretan Artis yang Telah Mendaftar Pilkada 2020

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi