Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Benarkah Pasien Covid-19 Tanpa Penyakit Bawaan Juga Berisiko Tinggi Alami Kematian?

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG
Petugas pemakaman membawa peti jenazah pasien suspect virus corona atau Covid-19 di TPU Pondok Rangon, Jakarta Timur, Rabu (22/4/2020). Pemprov DKI Jakarta telah menyiapkan dua tempat pemakaman umum (TPU) untuk memakamkan pasien terjangkit virus corona (Covid-19) yang meninggal dunia, yakni di TPU Tegal Alur di Jakarta Barat dan TPU Pondok Ranggon di Jakarta Timur. Jenazah yang dapat dimakamkan di sana, yakni yang berstatus pasien dalam pengawasan (PDP) dan berstatus positif terjangkit virus corona.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Kematian karena Covid-19 di dunia mencapai 1.357.677 orang hingga Kamis (19/11/2020), menurut data Worldometers.

Pasien Covid-19 yang memiliki penyakit bawaan atau komorbid disebutkan lebih berisiko mengembangkan penyakit parah hingga meninggal dunia.

Akan tetapi, ada juga kasus-kasus pasien Covid-19 yang tak memiliki penyakit bawaan atau non-komorbid.

Baca juga: Mengenal 9 Kandidat Vaksin Virus Corona

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Salah satunya seperti dilansir Kompas.com, 13 November 2020, seorang pasien Covid-19 non-komorbid dilaporkan meninggal dunia di Sukabumi, Jawa Barat.

Pasien tersebut sempat menjalani isolasi di rumah sakit beberapa hari. Namun pasien pulang ke rumah atas permintaan sendiri.

Akhirnya pasien kembali dalam kondisi berat pada Kamis, 12 November 2020, dan tidak dapat diselamatkan.

Baca juga: Virus Corona Menular Lewat Droplet dan Airborne, Apa Bedanya?

Lantas, apakah pasien non komorbid juga berisiko meninggal?

Epidemiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Bayu Satria Wiratama mengatakan tanpa komorbid juga berisiko meninggal.

"Bisa. Komorbid meningkatkan risiko tapi bukan berarti tanpa komorbid pasti tidak meninggal," kata Bayu kepada Kompas.com, Kamis (19/11/2020).

Lanjutnya, hal itu karena Covid-19 bisa merusak paru-paru, yang akhirnya menurunkan fungsi paru.

Itu adalah salah satu sebabnya.

Baca juga: Benarkah Gunakan Masker Ganggu Kinerja Paru-paru?

Terlambat terdeteksi

Dia juga mengatakan bisa saja hal yang terjadi adalah tidak sadar bahwa seseorang memiliki komorbid.

"Lebih seringnya karena kita tidak sadar dengan komorbid kita," katanya.

Hal serupa juga diungkapkan oleh epidemiolog dari Universitas Griffith Dicky Budiman.

"Bisa. (Pasien) Covid-19 yang tanpa komorbid (bisa meninggal)," katanya saat dihubungi Kompas.com, Kamis (19/11/2020).

Baca juga: Saat Jepang Catatkan Lebih dari 2.000 Kasus Baru Covid-19 untuk Pertama Kalinya...

Dia mengatakan, di beberapa negara yang telah melewati gelombang 1 atau kurva pandeminya mulai matang, banyak ditemui kematian pada anak muda karena Covid-19.

"Jadi bukan berarti yang tidak punya komorbid aman-aman saja," imbuhnya.

Dicky menjelaskan terkait pasien komorbid, memang mereka cenderung lebih parah jika terinfeksi Covid-19. Tapi ada beberapa syaratnya.

"Kalau dia terlambat dideteksi atau komorbid tidak terkendali dengan baik. Misalnya pasien hipertensi tapi tidak pernah kontrol," kata Dicky.

Baca juga: Mengenal Hokkaido, Provinsi Bersalju yang Menjadi Sarang Virus Corona di Jepang

Badai sitokin

Sedangkan pasien Covid-19 tanpa komorbid bisa mengalami gejala berat atau parah karena badai sitokin.

"Seringkali yang membuat kejadian fatal itu adalah respons tubuh terhadap virus SARS-CoV-2 di antaranya adalah badai sitokin. Ketika badai sitokin ini muncul jika tidak segera diatasi bisa fatal sekali," ujarnya.

Sitokin itu bagian dari sistem imun.

Dicky mengibaratkan mereka seperti tentara yang bertugas melindungi tubuh dari virus. Tapi saat badai sitokin, tentara tersebut terlalu banyak dan justru menyerang organ manusia.

Baca juga: Benarkah Gunakan Masker Ganggu Kinerja Paru-paru?

Dikutip Kompas.com, 16 Mei 2020, sitokin adalah protein yang dihasilkan sistem kekebalan tubuh untuk melakukan berbagai fungsi penting dalam penanda sinyal sel.

Sitokin itu bergerak menuju jaringan yang terinfeksi dan berikatan dengan reseptor sel tersebut untuk memicu reaksi peradangan.

Pada kasus Covid-19, sitokin bergerak menuju jaringan paru-paru untuk melindunginya dari serangan SARS-CoV-2.

Baca juga: Saat WHO Peringatkan tentang Bahaya Nasionalisme Vaksin...

Dalam kondisi normal, sitokin hanya berfungsi sebentar dan akan berhenti saat respons kekebalan tubuh tiba di daerah infeksi.

Akan tetapi pada kondisi badai sitokin, sitokin terus mengirim sinyal sehingga sel-sel kekebalan tubuh terus berdatangan dan bereaksi di luar kendali.

Akibatnya, paru-paru juga kena imbas peradangan karena sistem kekebalan tubuh berusaha keras membunuh virus.

Tanpa penanganan yang tepat, fungsi paru-paru pasien dapat menurun dan membuat pasien sulit bernapas.

Itulah yang menyebabkan pasien tak bisa bertahan atau meninggal dunia.

Baca juga: 130 Dokter Meninggal akibat Covid-19, Dokter Umum Paling Banyak

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: 15 Negara dengan Kasus Kematian tertinggi akibat Covid-19

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi