Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Akademisi
Bergabung sejak: 7 Okt 2019

Dosen di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya Universitas Pakuan, Bogor, Jawa Barat. Meraih gelar doktor Ilmu Susastra dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Aktif sebagai tim redaksi Jurnal Wahana FISIB Universitas Pakuan, Ketua Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (HISKI) Komisariat  Bogor, dan anggota Manassa (Masyarakat Pernaskahan Nusantara). Meminati penelitian di bidang representasi identitas dan kajian budaya.

Kontroversi Ormas dan Fenomena Post-Truth di Era Reformasi

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/ARIF FIRMANSYAH
Ribuan jamaah menyambut kedatangan Imam Besar FPI Rizieq Shihab di jalur Puncak, Simpang Gadog, Ciawi, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Jumat (13/11/2020). Kedatangan Rizieq ke Pondok Pesantren (Ponpes) Alam Agrokultural Markaz Syariah DPP FPI, Megamendung, Kabupaten Bogor untuk melaksanakan salat Jumat berjamaah sekaligus peletakan batu pertama pembangunan masjid di Ponpes tersebut.
Editor: Heru Margianto

KEMBALINYA Riziq Shihab (RS) ke Indonesia 10 November 2020 lalu sukses menjadi sorotan publik. Belum genap dua minggu kedatangannya, ia telah menuai baik simpati maupun kritik dari berbagai elemen masyarakat dan pemerintah.

Bagi pendukungnya, kepulangan pemimpin Front Pembela Islam (FPI) ini telah lama ditunggu-tunggu. Hal ini dibuktikan dengan penyambutan secara gegap gempita oleh luapan simpatisan FPI di Bandara Internasional Soekarno Hatta yang sempat melumpuhkan aktivitas di bandara selama kurang lebih lima jam.

Baca juga: Ketika Bandara Soekarno-Hatta Lumpuh 5 Jam Imbas Kepulangan Rizieq Shihab

Ironisnya kerumunan massa pendukung imam besar FPI tersebut sama sekali tidak mengindahkan protokol kesehatan di tengah meluasnya pandemi Covid 19 di Indonesia.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tidak hanya itu, Rizieq juga hadir mengisi ceramah di acara peringatan Maulid Nabi S.A.W di Petamburan dan Megamendung-Bogor. Lagi-lagi kedua acara tersebut menimbulkan kerumunan massa yang abai terhadap standar protokol kesehatan.

Baca juga: Rizieq Shihab Datang, Simpatisannya Padati Puncak Bogor, Puncak Pass Lumpuh Total

Belum lagi konten ceramahnya yang dinilai bernada sindirian provokatif kepada beberapa pejabat negara dan perseteruannya dengan selebriti kontroversial, Nikita Mirzani, terkait ucapannya yang stigmatif dan mendegradasi perempuan.

Serangkaian peristiwa yang terkait dengan RS ini lantas menimbulkan reaksi dari pihak pemerintah pusat.

Menkopolhukam Mahfud MD melayangkan ultimatum kepada kepala daerah dan aparat untuk menindak tegas pihak yang sengaja meciptakan kerumunan massa dan abai terhadap protokol kesehatan di tengah pandemi Covid-19.

Ultimatum keras pemerintah akhirnya berdampak pada pencopotan empat pejabat publik yaitu Kapolda Metro Jaya Irjen Nana Sudjana, Kapolda Jawa Barat Irjen Rudy Sufahriadi, Kapolres Metro Jakarta Pusat Kombes Heru Novianto, serta Kapolres Bogor AKBP Roland Ronaldy.

Baca juga: Perwira Polisi yang Dicopot dan Dilantik Setelah Simpatisan Rizieq Shihab Berkerumun Saat Pandemi

Tidak hanya itu, Gubernur Jakarta Anies Baswedan juga ikut terseret dalam kasus ini dan mendapat panggilan dari Polda Metro Jaya atas dugaan tindak pidana penyelenggaraan kerumunan di tengah pademi.

Baca juga: Polisi Tanya ke Gubernur Anies soal Pertemuan dengan Rizieq Shihab di Petamburan

Keberadaan RS dan agenda politiknya untuk melakukan “revolusi akhlak” telah menyita perhatian khalayak sehingga serangkaian peristiwa ini perlu kita soroti secara kritis sebagai fenomena sosial-budaya yang perlu ditelusuri historisitasnya, serta pengaruhnya di masa yang akan datang.

 

Menjamurnya organisasi berbasis keagamaan di era Reformasi

RS adalah salah satu tokoh religius yang sangat popular sekaligus kontroversial. Peran dan intervensinya dalam aspek keagamaan, sosial, hingga politik bisa dikatakan cukup berpengaruh di Indonesia. Bagaimana ini bisa terjadi?

Sejak jatuhnya rezim Orde Baru tahun 1998, Indonesia mengalami “kelonggaran” di pusat (Kusno, 2008). Pada fase transisi ini, berbagai pihak berkompetisi untuk menempati pusat pemerintahan dengan membawa ideologinya masing-masing.

Salah satunya adalah munculnya ormas-ormas berbasis keagamaan, khususnya Islam sebagai agama mayoritas, yang bertujuan untuk menempati posisi kekuasaan di level negara (Budiman, 2008).

Meskipun jejak organsisasi berbasis keagamaan yang berambisi menguasai negara telah teridentifikasi sejak era kemerdekaan, ormas-ormas tersebut sempat ditekan dan tidak diperbolehkan berkembang secara politik selama 32 tahun pemerintahan Soeharto.

Oleh karena itu, menjamurnya ormas-ormas ini adalah dampak langsung dari berakhirnya pemerintahan Orde Baru yang sangat represif terhadap kelompok keagamaan dan minoritas sehingga dengan mengatasnamakan demokasi momen ini dimanfaatkan untuk kembali mempromosikan ideologi mereka ke masyarakat.

Fenomena ini juga terkait dengan fenomena global, konflik antara Timur dan Barat, khususnya tragedi 9/11 sehingga momen ini dimanfaatkan untuk membangun legitimasi dan simpati secara masal untuk membela ideologi mereka.

Padahal, diskusi tentang konflik Timur dan Barat tidak sederhana. Perlu kajian luas dan kritis untuk melihat permasalahan yang melatarbelakanginya.

Di sisi lain, perkembangan media non-arus utama di era reformasi semakin berkembang, tidak seperti di era Orde Baru yang mengusai media-media besar untuk mempertahankan kekuasaannya.

Kemajuan teknologi informasi ini juga berperan memfasilitasi kelompok-kelompok sosial manapun untuk mengonstruksi dan menyebarkan ideologinya sesuai dengan kepentingannya masing-masing.

Merylna Lim dalam The Internet, Social Network, and Reform in Indonesia mengatakan bahwa perkembangan teknologi internet di Indonesia sejak 1998 merupakan salah satu faktor yang menggulingkan pemerintahan rezim Orde Baru melalui kritik dan kajian ilmiah yang disebarkan melalui e-mail dari scholar dan kelompok anti-Soeharto ke tokoh-tokoh politik dan mahasiswa di Indonesia.

Kemajuan teknologi internet ini terus berkembang dan semakin memberikan ruang bagi kepentingan kelompok tertentu untuk bebas membangun wacana tandingan, termasuk mengkritik pemerintah yang dinilai berseberangan dengan pandangan mereka.

Munculnya media-media baru non-mainstream ini berpotensi meletakkan masyarakat ke dalam sekat-sekat kultural yang bisa mengancam kebhinekaan bangsa karena "kebenaran" dipaksa menjadi tunggal sehingga konflik-konfik sosial-budaya semakin mungkin terjadi.

Kemajuan teknologi informasi dan maraknya fenomena post-truth

 

Kemajuan teknologi informasi dan segala kemudahaan yang ditawarkan perlu kita cermati secara kritis dan reflektif karena khususnya dalam konteks politik Indonesia ruang-ruang virtual kerap digunakan secara intensional untuk mencari legitimasi sosial.

Agus Suwigyo menjelaskan bahwa fenomena post-truth atau pascakebenaran menghadirkan jenis fakta atau suatu peristiwa yang kebenarannya dapat dimanipulasi kebenarannya. Ia memaknai post-truth sebagai iklim politik yang mengandalkan emosi sehingga mengalahkan objektivitas dan rasionalitas kebenaran.

Turunan dari post-truth adalah berita hoaks yang ditujukan untuk menyasar kategori sosial tertentu guna memfasilitasi ketidaksukaan mereka atas kelompok elit politik tertentu. Hoaks banyak disebarkan melalui media sosial untuk mengintensifkan ketegangan sosial dan menimbulkan konflik-konflik di masyarakat.

Dengan mengonsumsi hoaks tanpa filter, daya kritis masyarakat tidak berfungsi dengan baik karena yang terjadi adalah mereka akan enggan melakukan fact-checking dan hanya akan mengonsumsi konten yang sesuai dengan harapan mereka meskipun fakta berbicara sebaliknya.

Dengan kata lain kepercayaan pribadi jauh lebih penting dari fakta yang ada.

Bahayanya, post-truth kerap dimanfaatkan oleh politisi populis untuk mengaduk-aduk emosi masyarakat dengan konten-konten provokatif hanya demi mendapatkan legitimasi sosial untuk meraih kekuasaan.

Lagi menurut Haryatmoko, sentimen keagamaanlah yang paling sering digunakan untuk keperluan post-truth karena keyakinan adalah basis utamanya.

Shelley E. Taylor mendukung dengan mengatakan bahwa aspek religiusitas kerap dimanfaatkan sebagai coping strategy untuk membantu individu secara psikologis keluar dari situasi sulit, termasuk dalam politik.

Kerumunan dalam penyambutan RS dan peringatan Maulid Nabi di Petamburan merupakan contoh nyata dari fenomena post-truth karena pengabaian protokol kesehatan. Risiko penyebaran virus covid-19 sebagai fakta dinomorduakan.

Kesimpulannya, jika pemerintah tidak melakukan upaya strategis untuk menangani fenomena post-truth, secara potensial hal tersebut akan berkembang menjadi permasalahan sosial lainnya seperti intoleransi, terorisme, dan lain sebagainya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi