Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kerap Terjadi, Mengapa Orang-orang Tetap Menyelenggarakan Acara Meriah Saat Pandemi?

Baca di App
Lihat Foto
Foto: Polres 50 Kota
Polisi membubarkan paksa pesta anak pejabat di Limapuluh Kota, Sumatera Barat, Sabtu (21/11/2020)
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Pandemi virus corona masih terus berlangsung sejak kasus pertama di Indonesia diidentifikasi pada awal Maret lalu.

Berbagai protokol kesehatan juga masih diterapkan hingga kini. Akan tetapi, masih ditemukan pula pelanggaran-pelanggaran terhadap protokol kesehatan tersebut.

Contohnya pada Sabtu (21/11/2020), polisi membubarkan paksa pesta pernikahan anak Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Limapuluh Kota, Joni Amir, di Gedung Politeknik Pertanian.

"Kita terpaksa membubarkan acara pesta anak Kepala BPBD, Pak Joni Amir. Ini karena melanggar protokol Covid-19 dengan menghadirkan kerumuman banyak orang," kata Kapolres Limapuluh Kota, AKBP Trisno Eko Santoso seperti dikutip Kompas.com, Sabtu (21/11/2020).

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kejadian ini bukan pertama kali terjadi.

Baca juga: Mengapa Orang Suka Merekam Aktivitas Seksual Pribadinya?

 

Lantas, mengapa pelanggaran sejenis kerap ditemukan di tengah risiko pandemi yang masih berlangsung?

Faktor sosial kultural 

Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Drajat Tri Kartono mengungkapkan ada dua jenis faktor yang mungkin menjadi penyebabnya.

"Kalau menurut saya, ini karena dua hal," ujarnya saat dihubungi Kompas.com, Minggu (22/11/2020) siang.

Pertama, adanya kewajiban-kewajiban sosial kultural yang masih kuat dimengerti dan dipatuhi oleh masyarakat.

Baca juga: Sering Dikeluhkan, Mengapa Hasil Tes Swab atau PCR Cenderung Lama?

Adapun yang dimaksud dengan kewajiban sosial kultural adalah terkait dengan ritual-ritual, ritus of passage atau ritual-ritual kehidupan.

"Misalnya, acara untuk anak yang baru lahir, berapa bulan kandungan, sunatan anak laki-laki, termasuk menikahkan hingga nanti mati juga ada ritual-ritual kematian dan pasca-kematian," jelasnya.

Drajat mengungkapkan, ritual-ritual tersebut masih sangat kental dan dipatuhi, sehingga orang-orang khawatir menerima sanksi sosial kultural karena adanya kebiasaan atau tradisi seperti itu.

"Jadi, orang tetap berusaha melakukannya dengan berbagai cara," lanjutnya.

Baca juga: Mengapa Kucing Suka Berlari-lari Saat Malam Hari?

Faktor kontrol pemerintah

Kemudian, faktor kedua adalah terkait kelonggaran-kelonggaran dalam government control atau kontrol pemerintah.

"Kalau sosial dan budaya itu kan tadi social control. Kalau kontrol sosial kan sebenarnya negosiasi karena ini sebuah ritual yang diwajibkan," jelasnya.

Sementara, kontrol pemerintah ini berbeda dan menurutnya, sudah menunjukkan kelonggaran.

"Misalnya kita boleh menggelar resepsi pernikahan di hotel dengan ketentuan-ketentuan yang ada, pakai masker, yang hadir hanya boleh berapa orang, kemudian harus melakukan social
distancing dan lain sebagainya," kata Drajat.

Baca juga: Mengapa Kucing Suka Berlari-lari Saat Malam Hari?

"Tapi apa pun itu, ritualnya tetap jalan. Bahkan, di beberapa tempat, di rumah pun boleh, tetapi dengan protokol-protokol kesehatan yang dilaksanakan dan dipantau oleh pemda atau kepolisian dan sewaktu-waktu bisa menghentikan kalau itu crowded," lanjutnya. 

Menurut Drajat, kelonggaran-kelonggaran inilah yang kemudian belum terlalu familiar.

"Di satu sisi, kewajiban sosial kultural tetap dipatuhi dan dihormati, dipegang teguh. Di sisi lain, kontrol dari dari pemerintah ini terhadap protokol kesehatannya sudah mulai dilonggarkan," ungkapnya. 

Baca juga: Cara, Aturan hingga Alasan Mengapa Masker Kain Harus Dicuci Setiap Hari

Drajat menilai bahwa kondisi ini menyebabkan terjadinya oportunistic behaviour, yaitu perilaku-perilaku oportunistik untuk kemudian menggelar berbagai acara yang sifatnya lebih memeriahkan.

"Dari sisi toleransi dari petugas juga dapat berbeda-beda, mungkin lebih  longgar di satu tempat, sementara di tempat yang lain toleransi petugasnya lebih ketat," katanya lagi.

Menurut dia, kondisi ini akan menimbulkan usaha-usaha untuk melakukan upaya-upaya penyelenggaran acara-acara hajatan di berbagai tempat dengan variasi tersendiri. 

Baca juga: Mengapa Orang Indonesia Suka Buang Sampah Sembarangan?

Kegagalan pemerintah

Hal senada juga diungkapkan oleh dosen Sosiologi FISIP Unhas, Rahmad Muhammad.

Menurutnya, orang yang tetap nekat menggelar pesta tersebut dikarenakan mereka masih lebih tunduk pada seremonial kultural.

"Sebagian masyarakat kita masih lebih tunduk pada seremonial kultural yang dijadikan sebagai dasar untuk menunjukkan eksistensinya," ujarnya kepada Kompas.com, belum lama ini.

Baca juga: Mengapa Aksi Demonstrasi di Indonesia Identik dengan Bakar-bakar di Tengah Jalan?

Menurutnya, momentum pernikahan dengan menggelar prosesi seperti resepsi justru dijadikan sebagai waktu yang tepat dalam menguatkan hubungan silaturahmi baik dengan keluarga atau masyarakat umum, tanpa harus terhalang oleh pandemi Covid-19.

"Hal inilah yang oleh mereka menganggap itu hal biasa, dengan mengikuti protokol kesehatan hanya mempersulit sesuatu yang bisa dilakukan dengan praktis dan mudah," lanjut dia.

Di sisi lain, terselenggaranya pesta pernikahan ini dapat juga dianggap sebagai kegagalan pemerintah atau Satgas Covid-19 dalam mengedukasi masyarakat yang cenderung sudah tidak takut dengan penyakit Covid-19.

Baca juga: Benarkah Pasien Covid-19 Tanpa Penyakit Bawaan Juga Berisiko Tinggi Alami Kematian?

Rahmat mengungkapkan, hal yang perlu ditekankan atau membuat masyarakat sadar akan pentingnya pencegahan penularan virus dapat dilakukan dengan semua warga harus saling mendukung akan pentingnya arti pencegahan itu sendiri.

Mengenai pesta pernikahan yang digelar, Rahmat mengimbau kepada masyarakat, untuk tidak memaksakan menghadiri undangan berkumpul dalam pesta karena itu bertentangan dengan protokol kesehatan.

"Andai itu masih, tentu tidak mudah juga orang mengundang untuk hajatan tertentu yang berpotensi kecewa karena tidak ada lagi undangan yang hadir, intinya masyarakat belum sadar saja," imbuh dia.

Baca juga: Mengapa Indonesia Tak Memiliki Partai Buruh?

 

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi