KOMPAS.com – Penemuan ular di sejumlah permukiman kembali terjadi ketika memasuki musim hujan seperti saat ini.
Salah satunya, ular yang dievakuasi oleh Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelematan (DPKP) Kota Depok.
Kompas.com, 17 November 2020, memberitakan, DPKP mengevakuasi dua ekor sanca dan 10 butir telurnya di Bojongsari, Depok.
Selain itu, ular kobra Jawa beserta 6 anak ular juga dievakuasi di wilayah Jatijajar Tepos.
Di media sosial dan berbagai grup Whatsapp menyebar informasi bahwa November-Desember merupakan periode ular bertelur dan menetas.
Benarkah demikian?
Ahli herpetologi (reptil dan amfibi) dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Amir Hamidy membenarkan bahwa November dan Desember adalah periode bagi ular-ular untuk menetas.
“Ini memang banyak ular. November-Desember adalah musim penetasan. Otomatis populasi anakan semakin lebih banyak dibanding hari biasa,” ujar Amir dihubungi Kompas.com, Selasa (24/11/2020).
Ia menjelaskan, periode penetasan pada bulan-bulan ini terjadi pada hampir semua jenis ular.
Baca juga: 4 Tips ketika Bertemu Ular Kobra, Pertama Diam dan Tidak Banyak Bergerak
Masa inkubasi ular 3 bulan
Amir mengatakan, masa inkubasi telur ular sekitar 3 bulan. Oleh karena itu, ketika ditemukan telur ular yang menetas di suatu tempat, artinya induk ular tersebut telah meletakkan telur-telur tersebut sejak 3 bulan lalu.
“Ular enggak ada parenteral care. Ayam kalau kita ganggu anaknya, kita dipatuk. Ular enggak seperti itu. Intinya induk enggak kenal anak, anak enggak kenal induk,” kata dia.
Ketika ular menetas, ia akan menyebar secara acak di dekat lokasi menetasnya karena anakan ular memiliki insting yang berbeda dengan ular dewasa.
Amir menyebutkan, untuk mencegah adanya ular-ular tersebut, warga disarankan rajin membersihkan rumah.
Misalnya, mengepel menggunakan pembersih lantai yang memiliki bau menyengat.
Ia juga mengingatkan agar jangan ada tumpukan-tumpukan di sekitar rumah seperti tumpukan genting. Tempat seperti ini sangat disukai ular.
“Sampah jangan ditinggal karena mengundang tikus yang merupakan makanan ular,” ujar Amir.
Di Indonesia, lanjut Amir, hidup sekitar 340 jenis ular. Di Pulau Jawa, ada sekitar 30-an jenis dari ratusan jenis yang ada.
Dari 30-an jenis itu, ada sekitar 10 jenis yang biasa ditemukan di sekitar kediaman manusia, dan 4-5 jenis merupakan ular berbisa.
Jenis ular yang tak berbisa misalnya ular pemakan cicak, ular sawah atau ular kopi.
Adapun ular berbisa di antaranya ular kobra serta weling.
Baca juga: Ular Sanca hingga Kobra Jawa Ditemukan di Perumahan di Depok
Memahami bisa ular
Jika menemukan ular berbisa, masyarakat harus waspada. Amir mengatakan, bisa ular masuk ke dalam tubuh dipengaruhi oleh sejumlah aspek, yaitu:
- Kualitas
- Kuantitas
- Posisi menggigit
Ular menyalurkan fenom (bisa) kepada manusia dengan mengandalkan dua gigi taring yang ada di depan.
Ketika gigitan tidak tepat, yang terjadi adalah gigitan kering (dry bite). Gigitan ini tidak bisa membuat fenom masuk ke tubuh mangsa yang gigit.
“Jadi sangat tergantung mekanismenya saat menggigit. Taring maksimal enggak, kontraksi otot yang menekan kelenjar bisa maksimal enggak. Kalau enggak maksimal, enggak tersalurkan lewat gigi taring itu fenomnya,” ujar dia.
Yntuk mengetahui apakah fenom masuk ke dalam tubuh manusia atau tidak, bisa dilihat dari gejalanya.
Jika ular berbisa dan bisa masuk tubuh, maka kurang dari 30 menit akan muncul sesak napas, penglihatan kabur, kesadaran berkurang hingga terjadinya kematian.
Oleh karena itu, perlu diketahui prosedur penanganan dalam kasus menangani gigitan ular, baik penanganan pertama dan penanganan medik.
Penanganan pertama adalah menentukan apakah fenom diperlambat atau dipercepat di dalam tubuh.
Sementara, penanganan medik berkaitan dengan gejala yang muncul.
“Kalau memperlihatkan gejala masuk di fase sistemik, dia butuh anti-bisa ular. Jadi tidak serta-merta langsung dikasih anti-bisa ular. Biasanya diobervasi dulu 24 jam. Kalau menunjukkan gejala, segera bisa dikasih anti-bisa ular," papar Amir.