Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Melihat Cara Belanda Mengatasi Banjir...

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK
Ilustrasi banjir
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Banjir menjadi masalah tahunan yang selalu melanda Indonesia setiap musim hujan tiba. Menjelang akhir 2020, musibah banjir dilaporkan kembali melanda sejumlah wilayah Tanah Air.

Banjir merendam sejumlah daerah di beberapa provinsi, antara lain Sumatera Utara, Riau, DKI Jakarta, dan Jawa Barat.

Tingginya curah hujan disertai dengan sistem drainase yang kurang optimal, membuat bencana banjir terus berulang setiap tahun.

Baca juga: Kapan Musim Kemarau 2020 Berakhir dan Musim Penghujan di Indonesia Dimulai?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Akan tetapi, Indonesia rupanya bukan satu-satunya negara yang harus dihadapkan dengan ancaman banjir tahunan.

Di Belanda, banjir ternyata juga menjadi salah satu fenomena yang mendapat perhatian dengan serius. 

Pasalnya, sepertiga wilayah Negeri Kincir Angin itu berada di bawah permukaan laut, dan dua pertiganya rentan terhadap banjir.

Baca juga: Musim Hujan, Ini 7 Sayuran yang Bisa Ditanam di Dalam Ruangan

Lantas, bagaimana cara Belanda mengatasi banjir?

Dilansir dari Earth Magazine, 15 Oktober 2018, Belanda adalah negara yang terletak di dataran rendah delta, yang dibentuk oleh aliran tiga sungai utama: Rhine, Meuse dan Scheldt.

Sepertiga wilayah Belanda berada di bawah permukaan laut, dan dua pertiganya rentan terhadap banjir.

"Sebagai sebuah bangsa, Belanda lahir untuk melawan laut. Kami hidup di delta, dataran pantai, dan di rawa. Seluruh budaya Belanda lahir dari gagasan ini," kata Adriaan Geuze, pendiri firma desain Belanda, West 8.

Baca juga: Mengenal Petrichor, Aroma yang Ditimbulkan Saat Hujan Turun

Pada abad XIII, setelah puluhan tahun dilanda bencana banjir dan badai, penduduk Belanda mulai mengatur kebutuhan bersama untuk menjaga agar air tetap mengalir, dan mengembangkan strategi serta teknologi untuk mengatasi banjir.

Salah satu inovasi pengelolaan air itu adalah kincir angin polder pada abad XV yang sekarang menjadi ikon Belanda.

Kincir angin itu memompa air keluar dari rawa, dan menciptakan polder atau petak lahan kering.

Seiring berjalannya waktu, sekitar 3.000 polder yang dikelilingi tanggul berhasil dibuat.

Belanda kemudian menjadi terkenal karena penguasaan awal mereka dalam teknik pesisir dan pengelolaan air, yang selama berabad-abad membuat mereka hidup dengan aman di balik dinding pembatas dan tanggul.

Baca juga: Hujan di Saat Musim Kemarau, Mengapa Bisa Terjadi?

Terus berinovasi

Namun, rasa aman itu runtuh pada awal 1953, ketika terjangan air dari Laut Utara menerobos dinding perlindungan, dan membanjiri lebih dari 2.000 kilometer persegi daratan serta menewaskan 1.835 orang dalam semalam.

Setelah banjir besar itu, Belanda melipatgandakan upaya mereka untuk mengatasi ancaman dari laut, dan menciptakan sistem pengendalian banjir raksasa yang dikenal sebagai Delta Works.

Delta Works, dibangun antara akhir 1950-an dan 1990-an, terdiri dari sembilan bendungan dan empat penghalang badai yang telah menutup muara dan secara substansial mengurangi garis pantai Belanda sekitar 700 kilometer.

Baca juga: Mengenal Sabo Dam, Solusi Penanggulangan Banjir Lahar Gunung Merapi...

Delta Works telah melindungi Belanda dengan baik selama beberapa dekade, tetapi banjir luar biasa di tahun 90-an menyebabkan evakuasi penduduk massal dan memicu meningkatnya kekhawatiran tentang perubahan iklim dan kenaikan permukaan laut.

Otoritas pengelola air Belanda kemudian melihat keterbatasan pada pendekatan "rekayasa keras" seperti pembangunan tanggul dan penghalang dalam kondisi iklim yang berubah dengan cepat dan semakin tidak terduga.

Akhirnya, mereka mengambil pendekatan baru yang lebih kuat.

Baca juga: Mengenang 75 Tahun Insiden Penyobekan Bendera Belanda di Hotel Yamato

Selain membangun lebih banyak tembok dan tanggul, Belanda juga mulai menerapkan perspektif holistik jangka panjang tentang banjir yang diperhitungkan dalam data ilmiah tentang perubahan iklim.

Pencapaian puncak dari upaya mahal ini dikenal sebagai Room for the River, sebuah proyek besar senilai 3 miliar dollar AS yang dimulai pada 2006, dan melibatkan sekitar 40 proyek infrastruktur berbeda di sepanjang sungai dan saluran air Belanda.

Inti dari proyek ini adalah gagasan bahwa alih-alih menahan air, ruang yang ada dapat dialokasikan untuk menampung banjir dengan aman. Tanggul dan penghalang lainnya disingkirkan, dan saluran banjir serta dataran banjir diperluas dan diperdalam.

Baca juga: Sejarah Kutai Kartanegara, dari Kerajaan Tertua di Indonesia hingga Tunduk pada Belanda

Meyakinkan warganya

Dilansir The Guardian, 16 Februari 2014, proyek Room for the River bekerja dengan cara menurunkan dataran banjir, memperlebar sungai dan saluran samping, yang pada dasarnya memberi sungai ruang untuk menampung lebih banyak air.

Proyek ini juga memindahkan 200 keluarga dari tempat tinggal mereka.

Pakar sungai senior di Rijkswaterstaat Room for the River, Hans Brouwers mengatakan, tidak ada paket bantuan keuangan untuk orang yang harus pindah dari rumah mereka.

"Mereka mendapatkan harga pasar dari rumah mereka, dan itu saja. Kami akan membantu mereka menemukan tempat lain, tetapi tidak secara finansial. Satu-satunya hal yang kami lakukan adalah memastikan bahwa mereka tidak kehilangan uang," kata Brouwers.

Baca juga: Berikut Analisis Lapan soal Banjir di Luwu Utara

Dia menegaskan bahwa orang-orang akan menerima situasi jika otoritas yang terlibat dalam pembangunan proyek bersikap jujur dan proaktif, serta berbicara dengan mereka dan menanggapi ketakutan mereka dengan serius.

“Tentu ada pertentangan dan tentu ada yang sakit hati. Mereka menanggapi hal itu dengan riang gembira. Jika Anda adalah generasi ketiga di rumah itu dan Anda harus pindah, itu adalah hal yang menakutkan," kata Brouwers.

"Tapi kita harus menemukan cara untuk hidup dengan air daripada melawannya," imbuhnya.

Baca juga: Viral Foto Air Bak Mandi seperti Kopi, Ini Tanggapan PDAM Surabaya

Salah satu keluarga yang harus pindah dari rumah mereka adalah pasangan Nol dan Wil Hooijmaaijers. Mereka mengorbankan rumah lama dan ladang mereka di Overdiepse Polder untuk skema pengelolaan banjir.

"Saat kami mendengar rencana itu pertama kali pada 2001, kami diperlihatkan peta dan seluruh wilayah kami diwarnai biru. Para petani terkejut dan khawatir, hal pertama yang terpikir adalah tidak, kami tidak akan membiarkan hal ini terjadi (pindah)," kata Nol.

"Tetapi pada banjir 1993 hingga 1995 kami hampir menjadi korban. Jelas ada sesuatu yang harus dilakukan. Kami akhirnya sadar dan memutuskan bekerja sama," imbuhnya.

Baca juga: Cek 10 Titik CCTV Online Ini untuk Pantau Banjir Jakarta

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi