Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Besok Coblosan, Apa yang Perlu Dipertimbangkan Sebelum Pilih Kepala Daerah?

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO
Muradi menyebut dinasti politik sebagai kegagalan partai politik mengedukasi publik. Karena hanya menyambangi pemilih saat musim pemilihan, partai disebut Muradi kalah langkah dari petahana yang setiap hari berurusan dengan warga lokal.
|
Editor: Jihad Akbar

KOMPAS.com - Pemungutan suara atau pencoblosan pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 akan diselenggarakan secara serentak pada Rabu (9/12/2020).

Pilkada di tengah pandemi virus corona ini dilaksanakan secara serentak di 270 daerah, yang terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) memastikan pelaksanaan pemungutan suara Pilkada 2020 akan mematuhi protokol kesehatan.

Para pemilih diminta untuk hadir di tempat pemungutan suara (TPS) dan menggunakan hak pilihnya pada Pilkada 2020.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pemungutan suara ini merupakan momentum masyarakat menentukan siapa sosok yang akan memimpin daerahnya untuk lima tahun ke depan.

Baca juga: Salurkan Logistik Pilkada ke TPS Desa Terisolasi, Petugas Harus Tembus Hutan dan Arungi Sungai 6 Jam

Lantas, apa saja yang harus dipertimbangkan sebelum memilih kepala daerah?

Pengamat politik dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Agus Riwanto, mengatakan para pemilih harus mempertimbangkan sejumlah hal sebelum memilih kepala daerah.

Pertama, rekam jejak. Agus mengatakan rekam jejak ini meliputi apakan calon yang akan dipilih pernah atau tidak terjerat kasus kejahatan, termasuk korupsi.

"Kalau pun tidak semua itu, berarti berpotensi (atau) tidak, potensi melakukan kejahatan maupun korupsi," kata Agus saat dihubungi Kompas.com, Selasa (8/12/2020).

Kedua, integritas. Menurutnya, calon kepala daerah wajib memiliki sifat jujur karena akan menentukan nasib masyarakat dalam lima tahun ke depan.

Baca juga: Besok Nyoblos, Ini Saran Epidemilog untuk Cegah Penyebaran Covid-19 di Pilkada 2020

Kriteria ketiga yang tidak kalah penting adalah profesionalitas. Artinya, masyarakat harus melihat kemampuan calon kepala daerah untuk memimpin setelah terpilih nantinya.

Ia mengingatkan masyarakat untuk tidak memilih calon hanya dari ketenaran saja, namun perlu ditelisik kemampuannya.

"Itu perlu dipertimbangkan, jangan-jangan enggak bisa memimpin tuh. Bisa memimpin karena dinastinya, ada bapaknya, ibunya, saudaranya, om, tante, yang pernah jadi pejabat, dianggap dia (calon) bisa seperti mereka, belum tentu juga," imbuhnya.

Memilih dengan objektif

Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio, mengatakan ada dua jenis pertimbangan yang biasa dilakukan pemilih Indonesia sebelum memberikan suaranya, yakni pertimbangan subjektif dan pertimbangan objektif.  

"Pertimbangan subjektif itu lebih ke emosional biasanya. Lebih ke hal-hal seperti kesukuan, kedekatan, agama, dan jenis kelamin. Kalau objektif itu lebih ke kebutuhannya dia (pemilih) dari si kepala daerah itu," kata Hendri saat dihubungi Kompas.com, Selasa (8/12/2020).

Baca juga: FSGI Minta Daerah yang Gelar Pilkada Tunda Buka Sekolah pada Januari 2021

Hendri lebih menyarankan para pemilih untuk menggunakan pertimbangan objektif terlebih dahulu, ketimbang pertimbangan subjektif.

"Misalnya, 'Saya perlu enggak sih program-programnya dia (calon)?'. Menurut kita sendiri, program-program yang dia janjikan itu bakal terlaksana atau tidak," ujarnya.

Menurut dia, objektif tidak hanya soal pertimbangan manfaat memilih calon kepala daerah, perlu juga mempertimbangkan apa yang akan di dapat daerah setelah calon terpilih.

"Saya mendorong untuk lebih melakukan atau mempertimbangkan pilihan dari sisi objektif dari program-program kerja, ketimbang emosional," kata Hendri.

Jika ada petahana

Hendri mengatakan, melakukan pertimbangan objektif akan lebih mudah dilakukan jika ada petahana atau sanak famili dari pemimpin sebelumnya di suatu daerah.

"Justru paling mudah. Kenapa? Karena mereka (petahana) sudah bertugas, ada hasilnya atau tidak? Lebih berat itu memilih secara objektif kalau petahana-nya enggak ada," kata Hendri.   

Baca juga: Menimbang Risiko Petugas KPPS Jemput Suara Pasien Covid-19 pada Pilkada 2020

"Beruntung kalau misalnya ada sanak famili dari kepala daerah sebelumnya. Itu lebih mudah juga. Misalnya, 'Kemarin bapaknya janji-janji enggak jalan. Nanti saya pilih anaknya bisa jadi begitu'" imbuhnya.

Hendri menilai, dengan adanya petahana, maka pemilih bisa melakukan pertimbangan objektif dengan melihat rekam jejak petahana selama periode kepemimpinan yang sebelumnya.

Kepedulian terhadap pandemi

Selain itu, Hendri menyarankan masyarakat juga perlu mempertimbangkan kepedulian calon kepala daerah terhadap situasi pandemi virus corona.

Kepedulian tersebut menurutnya bisa dicerminkan saat kampanye, apakah calon kepala daerah menerapkan protokol kesehatan atau tidak.

"Intinya, kalau mereka tidak peduli dengan kesehatan mereka, bagaimana mereka mau peduli dengan kesehatan rakyat?" ujar Hendri. 

"Kalau mereka justru bikin konser, kerumunan, mendingan enggak usah dipilih deh. Artinya, mereka hanya berpikir sesaat saja" imbuhnya.

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: 12 Peralatan Protokol Kesehatan di TPS saat Pilkada 2020

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi