KOMPAS.com - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak pada Rabu, 9 Desember 2020, ini berbeda dari tahun-tahun sebelumnya.
Perbedaan itu karena Pilkada di 270 wilayah di Indonesia digelar saat masih dalam masa pandemi virus corona Covid-19.
Pemilihan di 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota tersebut akan menjalankan protokol kesehatan ketat untuk mencegah penularan virus corona.
Hingga 8 Desember 2020, Indonesia mencatatkan 586.842 kasus Covid-19 dan 18.000 kematian karena Covid-19, menurut data Worldometers, Rabu (9/12/2020).
Sementara itu, kasus aktifnya adalah 85.345 kasus. Selain kasus konfirmasi bergejala, ada juga yang tidak bergejala (asimtomatik).
Baca juga: Link untuk Memantau Hasil Pemungutan Suara Pilkada Serentak 2020
Potensi OTG ikut mencoblos
Lantas, bagaimana potensi orang tanpa gejala yang belum dites ikut dalam pemungutan suara pilkada di TPS?
Epidemiolog dari Universitas Griffith Dicky Budiman menjelaskan, potensi orang tanpa gejala yang belum dites ikut dalam pencoblosan di TPS sangat besar.
"Adanya potensi OTG ikut pilkada tentu sangat besar karena kan enggak ada testing yang masif," katanya kepada Kompas.com, Rabu (9/12/2020).
Sebelumnya, dia menganjurkan perlu adanya testing minimal sehari sebelum pilkada untuk para pemilih dengan rapid test antigen.
Akan tetapi, yang terjadi hanya testing untuk petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) dengan rapid test antibodi.
"Sekali lagi dengan situasi pandemi yang tidak terkendali ini bahwa potensi klaster itu sudah sangat jelas," ungkapnya.
Baca juga: Selesai Mencoblos Tidak Celupkan Jari ke Tinta dan 15 Hal Baru pada Pilkada Serentak 2020
Prediksi 2,2 juta OTG
Selain itu, menurut prediksi Dicky, sekitar 2,2 juta orang di Indonesia merupakan orang tanpa gejala atau asimtomatik.
"Setidaknya estimasi terendah 1 persen dari total penduduk yang telah terinfeksi dan diperkirakan 80 persen di antaranya OTG atau sekitar 2,2 jutaan. Tapi, 2 jutaan ini mayoritas di Pulau Jawa," ujarnya.
Lebih lanjut, Pulau Jawa adalah pulau terpadat dan menjadi episentrum, sehingga banyak bermunculan kasus di sana.
Estimasinya itu hampir mirip dengan riset terakhirnya yang menyatakan bahwa secara rerata kasus Covid-19 di masyarakat diperkirakan 6,2 kali lebih besar dari kasus yang dilaporkan pemerintah.
"Yang dalam kasus Indonesia bisa sekitar 2,4 juta OTG," tuturnya.
Baca juga: Update Corona 9 Desember: 68 Juta Kasus Infeksi | Korsel Pesan 44 Juta Vaksin untuk Warganya
Pasca-pilkada
Dicky mengatakan, pilkada bisa berdampak pada penuhnya fasilitas kesehatan oleh pasien terinfeksi virus corona.
Dengan demikian, pemerintah harus mengantisipasi dengan memperkuat tenaga medis dan kapasitas rumah sakit. Lonjakan kasus Covid-19 bisa terjadi setelah sebulan pasca-pilkada.
"Biasanya terjadi satu bulan setelah itu," kata Dicky.
Oleh karena itu, Dicky menyebutkan, hal itu harus diantisipasi dengan melakukan testing masif. Dicky menyarankan untuk menggunakan rapid test antigen.
"Lakukan 3-5 hari (setelah pilkada) rapid test antigen. Siapkan kapasitas testing tracing di tiap daerah," ujarnya.
Jika hal itu tidak dilakukan, kata dia, artinya pemerintah tidak serius dalam mencegah potensi klaster pilkada.
Diberitakan sebelumnya, menjelang pilkada banyak petugas KPPS yang reaktif, bahkan positif Covid-19.
Baca juga: Ada 22 Daerah Zona Merah yang Gelar Pilkada Serentak 2020, Mana Saja?
KPPS positif dan reaktif
Mengutip pemberitaan Kompas.com, Selasa (8/12/2020), sehari sebelum pilkada, sebanyak 24 petugas KPPS di Indramayu dinyatakan positif Covid-19.
Meski begitu, pilkada di Indramayu tetap akan berjalan. Hal itu dipastikan Ketua KPU Kabupaten Indramayu Ahmad Toni Fatoni.
Selain itu, di Malang, sebanyak 1.500 petugas KPPS reaktif berdasarkan hasil rapid test.
Meski terdapat ribuan petugas yang reaktif, pemungutan suara di Pilkada Kabupaten Malang tetap berlangsung.