Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Trending di Twitter, Berikut Arti, Asal-usul dan Sejarah Golput...

Baca di App
Lihat Foto
DOK KOMPAS/HANDINING
Ilustrasi golput
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Hari ini, Rabu (9/12/2020), dilakukan Pilkada secara serentak dengan mematuhi protokol kesehatan di 270 wilayah di Indonesia, yang terdiri dari 9 provinsi, 224 kabupaten, dan 37 kota.

Berdasarkan pantauan Kompas.com di media sosial Twitter, publik beramai-ramai membagikan momen keterlibatan mereka dalam #Pilkada2020 dengan foto jari kelingking bertinta ungu.

Baca juga: Jalan Politik Gibran, dari Tukang Martabak hingga Daftar Wali Kota Solo...

Baca juga: Pilkada Serentak, Dapatkan Promo Menarik dari 7 Produk Berikut!

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Meskipun banyak warganet yang antusias menggunakan hak pilihnya, terdapat pula warganet yang meramaikan #golput.

Selain warganet yang me-tweet tentang pilihan mereka untuk golput.

Warganet lain juga beramai-ramai mengingatkan untuk tidak melakukan golput.

Baca juga: Malaysia Laporkan Lonjakan Kasus Covid-19, Dipicu oleh Pemilu Sabah

Baca juga: 5 Negara yang Menunda dan Melanjutkan Pemilu di Masa Pandemi Corona

Golput dan sejarahnya...

Melansir Kompas.com, Selasa (09/12/2020), Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Viryan Azis tidak mempersoalkan jika terdapat pemilih yang tak memanfaatkan hak pilihnya atau golput. 

Menurutnya, golput menjadi tantangan tersendiri bagi Pilkada 2020 yang diselenggarakan pada masa pandemi. Akan tetapi, untuk menjaga potensi penularan virus corona, pihak KPU telah berusaha mengikuti protokol kesehatan. 

Istilah golput sendiri baru muncul pada pemilu pertama pada masa Orde Baru yang diselenggarakan pada 5 Juli 1971.

Baca juga: Staf Khusus Milenial Jokowi, antara Kebutuhan atau Ornamen Politik?

Mengutip Harian Kompas, Kamis (4/6/1971), Kelompok Mahasiswa Pemuda dan Pelajar yang dimotori Adnan Buyung Nasution, Arief Budiman, Imam Waluyo, dan Julius Usman, berkumpul di Gedung Balai Budaya Jakarta.

Mereka mengumumkan dibentuknya Golongan Putih (Golput).

Program dari Golput adalah memberikan kebebasan dalam pemilu tanpa adanya paksaan maupun intimidasi.

Baca juga: Sejarah Imlek di Indonesia, dari Zaman Jepang, Orde Baru sampai Gus Dur

Selain itu, golput juga menggambarkan ketiadaan alternatif untuk memilih karena tidak mengenal pasangan calon pemimpin atau mereka dianggap tidak layak menjadi pemimpin.

Dilansir dari Kompas.com (29/1/2019), golput dapat dibedakan menjadi dua macam. 

Pertama, pemilih yang terkendala oleh masalah teknis, misalnya tidak dapat hadir ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) karena hari pemilu dijadikan sebagai hari libur nasional, sehingga lebih memilih berlibur.

Baca juga: Artis Masuk Politik, Haruskah Miliki Bekal Ilmu dan Pengalaman?

Kedua, golput yang dilakukan atas kesadaran politik.

Pada jenis yang pertama, para pemilih tidak ikut ambil pusing dalam persoalan publik. Padahal pilihan politik mereka memiliki dampak besar dalam kehidupan dan urusan publik.

Sementara untuk golput atas kesadaran politik, para pemilih merasa bahwa mereka tidak mengenal atau merasa tidak ada kandidat yang layak dipilih.

Baca juga: Mengintip Jejak Pendirian Masyumi, Partai yang Kini Dideklarasikan Lagi...

Hak politik

Pada Pilpres 2004, golput pada putaran I menunjukkan angka 21,80 persen dan putaran II sebesar 23,40 persen.

Pada Pilpres 2009, angka golput naik lagi menjadi 28,30 persen dan kembali meningkat pada Pilpres 2014 menjadi 30 persen.

Diberitakan Kompas.com, 29 Januari 2019, golput adalah hak politik. Selain tidak dilarang oleh UU, golput juga bukan perbuatan kriminal.

Baca juga: Mengenang Perjalanan Djoko Santoso, dari Panglima TNI hingga Kiprahnya di Dunia Politik

Yang dilarang dan dapat terkena delik hukum adalah bila terbukti mengajak orang tidak memilih atau melakukan perbuatan yang menyebabkan pemilih tidak dapat menggunakan hal pilihnya.

Contoh yang dapat terkena delik, pengusaha atau pimpinan perusahaan tidak memberikan kesempatan bagi pekerjanya memakai hak pilih pada hari pemilu, entah dengan memberi kelonggaran waktu masuk kerja atau sekalian libur. D

elik terkait juga dapat dikenakan kepada jajaran penyelenggara pemilu bila terbukti menyebabkan pemilih kehilangan hak pilihnya dalam ranah tugas dan kewenangannya.

Baca juga: Berkaca dari Kasus Djoko Tjandra, Mengapa Penegak Hukum Justru Melanggar Hukum?

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: 12 Peralatan Protokol Kesehatan di TPS saat Pilkada 2020

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi