Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Studi Terbaru Virus Corona: dari Gejala hingga Awal Mula Covid-19 di AS

Baca di App
Lihat Foto
SHUTTERSTOCK/Kateryna Kon
Ilustrasi virus influenza penyebab pilek.
Penulis: Mela Arnani
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Penelitian seputar virus corona masih dilakukan para ilmuwan meski pandemi Covid-19 berlangsung hampir setahun ini/

Kasus-kasus baru masih terus dilaporkan di berbagai belahan dunia.

Penelitian-penelitian dilakukan para ahli untuk mengenali dan mengetahui virus yang tergolong baru ini.

Ada sejumlah penelitian terbaru yang dilakukan para ahli. Berikut beberapa di antaranya: 

Virus bertahan lebih dari 6 minggu

Sebuah penelitian terkait gejala Covid-19 dilakukan di Jenewa.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Pada 9 Desember 2020, Anadolu Agency melaporkan, tim dokter di Jenewa Swiss menemukan beberapa gejala virus corona dapat bertahan lebih dari 6 minggu, bahkan pada pasien tanpa faktor risiko yang mendasari.

Penelitian dilakukan oleh tim dokter dan ahli epidemiologi dari Universitas Jenewa (UNIGE), Rumah Sakit Universitas Jenewa (HUG), dan Direktorat Kesehatan Umum wilayah Jenewa.

Para ahli melibatkan 700 pasien positif Covid-19 yang tidak memerlukan rawat inap.

Sebanyak 33 persen pasien, masih melaporkan mengalami kelelahan, kehilangan penciuman atau pengecap, sesak napas, atau batuk, selama enam minggu setelah terdiagnosis.

Sejak munculnya virus, Covid-19 tidak dapat diprediksi baik untuk dokter maupun individu yang terinfeksi, mengingat variasi dan durasi gejalanya.

"Tampaknya virus berpotensi menyebabkan penyakit jangka panjang yang tidak biasa, dan istilah long Covid menggambarkan penyakit pada orang yang terus melaporkan gejala beberapa minggu setelah infeksi," tulis peneliti.

Pada awal pandemi, para ahli telah memperingatkan kemungkinan long Covid-19.

Baca juga: Penelitian Terbaru: Gejala Covid-19 Dapat Bertahan Lebih dari 6 Minggu

Covid-19 berpotensi merusak paru-paru

Sebuah penelitian mengungkap virus corona membuat kerusakan paru-paru yang masih terlihat tiga bulan setelah infeksi.

Penelitian yang dilakukan di Universitas Oxford ini menggunakan teknik pemindaian magnetic resonance imaging (MRI) dengan gas xenon, untuk mengidentifikasi kerusakan yang tidak ditemukan oleh pemindaian konvensional.

Dituliskan BBC, 1 Desember 2020, penelitian melihat 10 pasien menghirup gas selama pemindaian MRI.

Hasilnya, sebanyak 8 dari 10 pasien mengalami sesak napas dan kelelahan yang terus menerus selama tiga bulan setelah terpapar virus.

Meski begitu, tidak ada dari pasien yang mendapatkan perawatan intensif atau memerlukan ventilator.

Sementara pada peminaian konvensional, tidak ditemukan masalah paru-paru pada pasien-pasien tersebut.

Pemindaian MRI dengan gas xenon menunjukkan tanda-tanda kerusakan paru-paru, dengan menyoroti area udara yang tidak mengalir ke darah secara mudah.

Baca juga: Studi: Covid-19 Berpotensi Merusak Paru-paru dan Gejala Jangka Panjang

Gejala umum Covid-19

Sementara itu, penelitian di Inggris menemukan gejala umum virus corona selain batuk kering dan demam.

Diwartakan BGR, 25 November 2020, hilangnya indera perasa dan penciuman banyak dialami oleh mayoritas orang yang dites positif Covid-19.

Lebih lanjut, infeksi pernapasan seperti virus corona jenis baru dapat memicu pembengkakan di rongga hidung, hidung tersumbat, dan mempengaruhi indera penciuman.

Menurut dokter penyakit menular dan profesor kedokteran di Northeast Ohio Medical University AS Richard Warkins, M.D, virus corona juga dapat menyebar di sekitar tenggorokan dan hidung, yang mengganggu indera penciuman dan perasa, hingga akhirnya mempengaruhi seluruh bagian tubuh.

Studi lain mengungkapkan, sekitar 15-68 persen pasien yang menderita Covd-19 melaporkan kehilangan indera perasa dan indera penciuman.

"Hilangnya indera penciuman atau perasa tampaknya merupakan gejala yang sangat umum dari Covid-19," kata profesor di University College London Inggris yang juga sebagai co-author studi, Dr Batterham.

Baca juga: Penelitian Baru: Gejala Umum Covid-19 Selain Batuk Kering dan Demam

Virus telah ada di Amerika sebelum Januari 2020

Diberitakan CNN, 1 Desember 2020, sebuah penelitian menemukan virus corona jenis baru atau SARS-CoV-2 kemungkinan telah masuk ke Amerika Serikat sebelum Januari 2020.

Penelitian yang diterbitkan pada 31 November 2020, menunjukkan virus corona menginfeksi orang-orang di AS pada awal Desember 2019.

Untuk diketahui, orang pertama yang terkonfirmasi terpapar virus corona di AS dari China pada 15 Januari 2020.

Para peneliti juga memeriksa hasil donor yang dilakukan pada Desember 2019 dan awal Januari.

Dari sampel darah tersebut, ditemukan bukti antibodi terhadap virus coroan jenis baru tersebut setidaknya pada 84 sampel dari 9 negara bagian.

"Temuan ini menunjukkan bahwa SARS-CoV-2 mungkin telah diperkenalkan ke Amerika Serikat sebelum 19 Januari 2020," tulis para penliti di Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS (CDC) dalam jurnal Clinical Infectious Diseases.

Virus corona bisa masuk ke otak

Sebuah penelitian di Jerman menemukan virus corona dapat masuk ke dalam otak manusia setelah terhirup melalui hidung dan tersangkut di lendir.

Temuan tersebut menjadi bukti pertama yang diketahui, bahwa virus corona dapat menginfeksi neuron otak melalui jalur mukosa.

Selama pandemi, telah jelas virus SARS-CoV-2 juga memunculkan masalah neurologis.

Para peneliti melakukan otopsi pada pasien yang meninggal karena terinfeksi virus corona.

Ilmuwan mempelajari lendir yang terdapat di bagian belakang hidung dan di atas mulut tempat tenggorokan bertemu rongga hidung.

Selain itu, peneliti juga mengamati sampel jaringan otak.

Ditemukan, materi genetik atau mRNA virus corona dalam jumlah terbesar berada di selaput lendir penciuman.

Terjadi protein lonjakan SARS-CoV-2 yang menonjol dari virus dan menempel pada reseptor manusia untuk menginfeksi sel, yang juga ditemukan di otak.

Durasi penyakit berbanding terbalik dengan jumlah virus yang terdeteksi, menunjukkan tingkat SARS-CoV-2 RNA yang lebih tinggi ditemukan pada kasus dengan durasi penyakit yang lebih pendek.

Selain itu, ditemukan protein lonjakan virus pada jenis sel tertentu di dalam lapisan mukosa penciuman, dapat mengeksploitasi kedekatan jaringan endotek dan saraf untuk masuk ke otak.

Peneliti mengungkapkan, protein lonjakan virus pada beberapa pasien ditemukan di sel yang mengekspresikan penanda neuron, menunjukkan neuron sensorik olfaktorius dan area otak yang menerima sinyal bau dan rasa, kemungkinan terinfeksi.

Virus juga ditemukan di area lain dari sistem saraf, termasuk medula oblongata, pusat kendali pernapasan dan kardiovaskular utama di otak.

"Begitu berada di dalam mukosa penciuman, virus tampaknya menggunakan koneksi neuroanatomikal, seperti saraf penciuman untuk mencapai otak," ujar rekan penulis dari Charite, Universitatsmedizin Berlin Dr Frank Heppner.

Baca juga: Studi: Virus Corona Dapat Masuk ke Otak

Sumber: Kompas.com (Nur Fitriatus, Mela A, Dandy B/Editor: Rizal S, Jihad Akbar, Sari H)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua
Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi