Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Pemilih di Satu Desa Golput, Jangan Main-main dengan Aspirasi Rakyat"

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.COM/KIKI ANDI PATI
Kades dan perangkat serta belasan warga Desa Matabondu, kabupaten Konawe Selatan, Sultra mengembalikanan surat pemberitahuan memilih pada Pilkada 2020 di wilayah itu ke kantor KPU Provinsi Sultra.
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Fenomena golput serempak terjadi di Desa Matabondu, Kecamatan Laonti, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra).

Seperti diberitakan Kompas.com, Jumat (11/12/2020), sebanyak 250 pemilih di desa tersebut kompak untuk golput atau tidak menggunakan hak pilihnya pada Pilkada Serentak 2020.

Kepala Desa Matabondu, Ahmad, mengatakan, keputusan tak menggunakan hak pilih itu dilakukan sebagai bentuk protes.

Pasalnya, selama 13 tahun mereka tidak menerima alokasi dana dari pemerintah.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ia menyebutkan, padahal secara administrasi Desa Matabondu sudah tercatat sebagai desa di Kementerian Desa (Kemendes).

Golput dilakukan dengan cara mengembalikan surat pemberitahuan pemilih atau C6-KWK kepada KPU Sultra pada Selasa (8/12/2020).

"Pilkada ini kami memilih golput dengan mengembalikan surat ini (C6-KWK). Percuma menyalurkan suara kita, tapi suara kita tidak pernah didengarkan," kata Ahmad.

"Dana desa tidak pernah kami nikmati sejak 2007. Dana desa itu kami tahu selalu cair dari pusat, tapi tidak pernah sampai ke kami," ujar dia.

Baca juga: Warga Satu Desa di Sultra Golput, Ini Kata KPU

Refleksi apa yang bisa diambil dari fenomena ini?

Bentuk protes warga

Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio, mengatakan, fenomena golput di Desa Matabondu bisa dilihat dari dua sisi.

Dari sisi kedewasaan berdemokrasi, Hendri menilai, warga desa tersebut sudah menunjukkan kedewasaan dalam berdemokrasi.

"Artinya dia berpikir bahwa 'Ya sudah, saya enggak usah saja. Saya menghukum para pemimpin daerah yang selama ini saya pilih'" kata Hendri saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (12/12/2020). 

Namun, dari sisi teknis atau kredibilitas pemilu, Hendri menilai bahwa cara masyarakat desa tersebut melakukan golput sangat disayangkan.

"Karena, mungkin masih ada satu atau dua penduduknya yang masih mau memberikan suara. Jadi artinya, sebetulnya kalau ingin golput ya golputnya di TPS (Tempat Pemungutan Suara)," ujar Hendri.

Hendri mengatakan, keputusan untuk golput itu seharusnya dilakukan oleh masing-masing warga, bukan dengan cara mewakilkan dan mengembalikan surat pemberitahuan pemilih yang sudah diterima.

"Kalau pun ada TPS, mereka kan masih bisa mengambil pilihan untuk tidak memberikan suara. Jangan kemudian di awal dikembalikan, walaupun itu yang terjadi di sana," kata Hendri.

Baca juga: Warga Satu Desa Golput, Kades: Percuma karena Suara Kita Tidak Pernah Didengarkan

Evaluasi untuk pemimpin

Hendri mengatakan, kejadian golput serempak di Desa Matabondu seharusnya menjadi evaluasi atau catatan penting bagi pemerintah daerah setempat.

"Bahwa jangan main-main dengan fenomena aspirasi rakyat yang harusnya didengarkan. Hukumannya ya seperti ini, 'Anda akhirnya tidak dipilih dan kami (penduduk desa) tidak memberikan suara untuk siapa pun'" ujar Hendri.

Dia menyebutkan, fenomena golput massal ini seharusnya mendapat perhatian dari atasan kepala daerah, yaitu Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

"Kemendagri harus turun tangan mengidentifikasi. Apalagi kan kalau tentang dana desa, itu kan tentang dana yang sudah dicairkan sebetulnya," kata Hendri.

"Harus hati-hati. Apakah sudah dicairkan tapi tidak disalurkan? Atau memang belum pernah dicairkan sehingga tidak bisa disalurkan?" ujar dia.

Hendri mengatakan, selain itu, integritas dari pemimpin daerah setempat juga harus dipastikan.

Hal ini dilakukan untuk memastikan aapakah dana desa untuk Desa Matabondu sudah pernah dicairkan atau belum.

Baca juga: Kecewa Soal Dana Desa, Warga Satu Desa di Sultra Pilih Golput, Ini Faktanya

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi