Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Memaknai Suara untuk Kotak Kosong pada Pilkada 2020...

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/ANIS EFIZUDIN
Petugas gabungan membawa kotak suara saat mendistribusikan logistik Pilkada Kabupaten Wonosobo di daerah terpencil Desa Kumejing, Wadaslintang, Wonosobo, Jateng, Selasa (8/12/2020). Pilkada serentak kabupaten Wonosobo hanya diikuti oleh satu pasang Cabup dan Cawabup yang diusung PDIP, Demokrat, PKB, Golkar, Hanura, PAN dan PKS melawan kotak kosong. ANTARA FOTO/Anis Efizudin/aww.
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Di sejumlah daerah yang menyelenggarakan pemungutan suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020, ada kandidat pasangan calon yang melawan kotak kosong.

Kotak kosong dihadirkan agar pemilihan tak diikuti oleh pasangan calon tunggal.

Dari ratusan daerah yang menggelar Pilkada, tercatat ada 25 kabupaten/kota yang hanya diikuti 1 pasangan calon.

Sesuai dengan aturan Komisi Pemilihan Umum (KPU), paslon tunggal bertarung melawan kotak kosong untuk menduduki posisi kepala daerah.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Berdasarkan hasil sementara real count Pilkada 2020, kotak kosong di beberapa daerah berhasil meraup puluhan ribu suara dari pemilih, meski tidak sampai mengungguli paslon tunggal.

Salah satunya dapat dilihat pada Pilkada 2020 di Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara, yang mempertemukan paslon Dosmar Banjarhanor-Oloan P Nababan melawan kotak kosong.

Berdasarkan pantauan progress real count sementara di laman KPU, Sabtu (12/12/2020), sebanyak 308 dari 385 TPS di Kabupaten Humang Hasundutan (80,00 persen) telah dihitung suaranya.

Kotak kosong memperoleh 38.016 suara atau 47,8 persen, sedangkan paslon Dosmar Banjarhanor-Oloan P Nababan memperoleh 41.499 suara atau 52,2 persen.

Di sejumlah daerah lain yang menghadirkan pertarungan pasangan calon vs kotak kosong, suara yang diraih kotak kosong juga tak "receh".

Baca juga: Enam Paslon Tunggal Pilkada Jateng Unggul Telak Lawan Kotak Kosong

Angkanya mencapai puluhan ribu. Apa yang bisa dipelajari dari fenomena banyaknya suara untuk kotak kosong?

Pragmatisme politik

Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio mengatakan, fenomena kotak kosong di beberapa daerah pada Pilkada 2020 menunjukkan egoisme elit politik di daerah itu.

"Artinya, tidak memberikan kesempatan pada calon lain. Pragmatis saja, mendukung calon yang pasti menang," kata Hendri saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (12/2/2020).

Hendri mengatakan, pragmatisme elit politik semacam itu bisa mendapat "hukuman" dari masyarakat.

"Masyarakat bisa enggak menghukum itu? Bisa, dan pernah menang kotak kosong itu," kata Hendri.

Hendri mengatakan, kotak kosong pernah menang pada Pilkada Kota Makassar yang digelar tahun 2018 lalu.

Cara menghukum elit politik

Seperti diberitakan, Kompas.com, 7 Juli 2018, pada Pilkada Kota Makassar 2018, kotak kosong keluar sebagai pemenang.

Paslon tunggal, yakni Munafri Arifuddin-Andi Rahmatika Dewi (Appi-Cicu), hanya meraih 264.245 suara atau 46,77 persen suara sah.

Adapun kotak kosong mendapatkan 300.795 suara atau 53,23 persen dari total suara sah sebanyak 565.040 suara.

Hendri menyebutkan, keputusan masyarakat untuk memilih atau memenangkan kotak kosong sama dengan pilihan masyarakat untuk golput atau tidak menggunakan hak pilihnya.

Pilihan yang diambil oleh masyarakat untuk "menghukum" atau menyuarakan protes terhadap keputusan elit politik yang dianggap mengecewakan.

"Jadi sebetulnya, kalau masyarakat mau menghukum elit politik yang memang egois dan tidak mau mendengarkan aspirasi publik, dengan hanya menghadirkan calon kepala daerah terbatas, itu hukuman paling dahsyatnya adalah memenangkan kotak kosong," kata Hendri.

Baca juga: Paslon Pilkada 2020 di 25 Daerah Lawan Kotak Kosong, Ini Hasil Sementara Real Count-nya

Kegagalan kaderisasi partai

Sementara itu, dikutip dari Kompas.com, Kamis (10/12/2020), pengamat politik Universitas Diponegoro Semarang, Wijayanto mengatakan, paslon tunggal yang melawan kotak kosong bukan merupakan pilihan yang terbaik untuk membangun proses demokrasi.

Dia menilai, hal tersebut membuat masyarakat hanya mempunyai pilihan yang terbatas, bahkan tidak adanya pilihan lain untuk perbandingan.

"Paslon tunggal adalah preseden buruk untuk demokrasi. Karena membuat publik hanya punya pilihan yang terbatas, bahkan tidak ada pilihan," jelas Wijayanto

Menurut dia, kemunculan paslon tunggal di suatu daerah merupakan refleksi bahwa partai gagal melakukan kaderisasi politik dan melahirkan calon alternatif yang bertujuan mencetak pemimpin bangsa.

Baca juga: Strategi Kampanye Calon Petahana Lawan Kotak Kosong di Pilkada Kota Semarang

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi