Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Kenaikan Cukai Rokok Disebutkan Masih Terlalu Kecil...

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.COM/JAKA HB
Salah satu sosialisasi perdes anti rokok di kantor Desa Maro Sebo Kabupaten Muaro Jambi.
|
Editor: Sari Hardiyanto

 

KOMPAS.com - Pemerintah melalui Kementerian Keuangan resmi menaikkan tarif cukai rokok tahun depan sebesar 12,5 persen.

"Kita akan menaikkan cukai rokok dalam hal ini sebesar 12,5 persen," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam keterangan pers secara virtual, Kamis (10/12/2020).

Sri Mulyani mengatakan, hal itu terjadi lantaran kebijakan tersebut digodok dalam suasana pandemi Covid-19.

Baca juga: Bisakah Asap Rokok Menularkan Virus Corona pada Perokok Pasif?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Karenanya, pemerintah perlu untuk menyeimbangkan aspek unsur kesehatan dengan sisi perekonomian, yakni kelompok terdampak pandemi seperti pekerja dan petani.

Kendati demikian, kenaikan tarif cukai ini tidak berlaku bagi kelompok industri sigaret kretek tangan. Sebab, industri itu termasuk industri padat karya yang mempekerjakan 158.552 buruh.

Menanggapi hal itu, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan kenaikan cukai rokok sebesar 12,5 persen masih terlalu kecil.

Baca juga: Viral Video Bapak dengan Tenggorokan Berlubang Akibat Rokok, Ini Kata Dokter

Upaya pengendalian rokok

Pasalnya, angka tersebut lebih kecil dibandingkan janji pemerintah sebelumnya, yaitu sekitar 17 persen.

"Angka itu sangat kecil sehingga tidak berdampak signifikan terhadap harga. Pemerintah itu janjinya bukan 12,5 persen, tapi 17 persen," kata Tulus kepada Kompas.com, baru-baru ini.

Tulis mengaku kecewa dengan rendahnya kenaikan ini.

Baca juga: Selain Bikin Gemuk, Ini Mitos Keliru Seputar Rokok

Menurut dia, kenaikan ini juga tidak akan berdampak pada upaya pengendalian rokok di masyarakat, khususnya kalangan anak-anak.

Ia menuturkan, keputusan ini hanya menguntungkan industri rokok besar.

"Apa yang dilakukan pemerintah itu hanya mengikuti kemauan dari industri rokok, bukan upaya untuk mengendalikan rokok sendiri," jelas dia.

"Jadi dengan persentase itu, industri besar terlalu diuntungkan," lanjutnya.

Baca juga: Mengenal Beda Rokok dan Vape...

Dianggap tidak wajar

Di sisi lain, Tulus menyebut pendapatan pemerintah dari cukai rokok tergolong cukup rendah.

Menurutnya, kenaikan cukai rokok ini tidak akan berdampak apa pun terhadap industri rokok, termasuk pemutusan kerja karyawan.

"Kalau diklaim oleh industri, itu sifatnya hanya tekanan pada pemerintah, di tengah pandemi bergain mereka kan lebih besar," tutup dia.

Baca juga: 8 Kandungan pada Rokok yang Perlu Anda Tahu

Berbeda dari YLKI, Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) justru menganggap kenaikan cukai rokok ini tidak wajar.

Pasalnya, dampak dari pandemi Covid-19 diyakini masih akan dirasakan hingga tahun depan.

"Tidak wajar sebab kinerja industri sedang turun akibat pelemahan daya beli karena ada pandemi dan kenaikan cukai sangat tinggi di tahun 2020 kemarin," kata Ketua Gappri Henry Najoan dalam keterangan tertulis.

"Apalagi saat ini angka pertumbuhan ekonomi dan inflasi masih minus," sambungnya.

Pada tahun-tahun sebelumnya, menurut Henry, kenaikan cukai rata-rara 10 persen dan itu sudah berdampak pada produksi IHT sekitar 1 persen.

Baca juga: Kasus Terus Menanjak, Ini 11 Gejala Infeksi Covid-19 yang Harus Diwaspadai

KOMPAS.com/Dhawam Pambudi Infografik: Beda Rokok dan Vape

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi