Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan
Bergabung sejak: 24 Mar 2020

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Keliru Dibenarkan Malah Keliru

Baca di App
Lihat Foto
Designed by Freepik/a
Ilustrasi.
Editor: Heru Margianto

BERDASAR hasil penelitian Pusat Studi Kelirumologi dapat disimpulkan bahwa apa yang disebut sebagai kekeliruan terdiri dari berbagai jenis.

Tergantung manusia yang melakukan atau menafsirkan. Ada kekeliruan yang disengaja, ada yang tidak disengaja; ada kekeliruan yang disadari di samping ada yang tidak disadari atau tidak mau diakui; ada kekeliruan individual; ada kekeliruan komunal; ada pula kekeliruan yang harus dibenarkan seperti kekeliruan mesin mobil apalagi pesawat terbang atau kekeliruan kebijakan sehingga menindas rakyat.

Namun ada kekeliruan yang terpaksa dibiarkan keliru apabila yang bikin kekeliruan adalah penguasa yang tidak suka dikritik.

Namun ada pula kekeliruan yang jika dibenarkan malah menjadi makin keliru.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Deteksi kekeliruan

Contoh nyata bisa diperoleh dari kisah nyata yang saya alami sendiri ketika menulis naskah “Pengaprahan Kekeliruan” yang sengaja saya kelirukan menjadi Pengkaprahan Kekeliruan (Kompas, 16 September 1989) .

Di dalam naskah bersejarah sebagai asal-muasal gagasan kelirumologi itu saya sengaja menulis sebuah kalimat sebagai contoh betapa sulit mendeteksi kekeliruan sebagai berikut “Didalam kalimat ini terdapat tiga kekeliliruan” .

Mereka yang berlogika normal hanya berhasil menemukan dua kekeliruan yang sengaja saya kelirukan itu yaitu pertama = didalam seharusnya di dalam; ke dua kekeliliruan seharusnya kekeliruan.

Sementara kekeliruan yang ketiga adalah pada pernyataan bahwa kalimat itu mengandung tiga kekeliruan padahal cuma dua.

Dasar saya manusia tidak sempurna maka lalai memperhitungkan petugas korektor Kompas akan menunaikan tugas secara benar bahkan professional yaitu mengoreksi seluruh kekeliruan yang terkandung di dalam naskah yang akan dipublikasikan oleh Kompas.

Akibat memang (sengaja) dikelirukan maka kalimat “keliru” saya ternyata dibenarkan oleh sang korektor Kompas menjadi “Di dalam kalimat ini terdapat tiga kekeliruan” yang langsung memusnahkan niat tujuan saya menulis kalimat yang sengaja saya kelirukan itu.

Protes keras

Saya protes keras, karena naskah saya kehilangan makna yang sebenarnya. Redaksi Kompas cukup bingung akibat baru pertama kali terjadi kasus keliru dibenarkan ternyata malah keliru.

Karena tidak tahu bagaimana cara menjelaskan duduk permasalahan rumit-keliru itu, maka saya dipersilakan untuk membenarkan melalui Surat Pembaca.

Namun celaka, ternyata penjelasan saya lewat rubrik Surat Pembaca yang memang menggunakan susunan kalimat yang sengaja dikelirukan demi tidak keliru itu dikoreksi kembali oleh pihak kolektor yang tetap konsekuen dan konsisten menunaikan profesinya.

Akhirnya Surat Pembaca penjelasan saya dimuat ulang Kompas tanpa campur tangan pihak korektor.

Sementara para pembaca malah makin bingung akibat kehilangan jejak mengenai kasus kekeliruan yang dibenarkan malah jadi keliru lalu setelah dibenarkan kembali malah makin keliru itu.

Setelah tragedi keliru simpang-siur itu, selama cukup lama Kompas makin sering memuat keliru cetak, akibat pihak korektor menjadi ragu dalam melaksanakan tugas akibat trauma empirik buruk dalam hal susah payah membenarkan ternyata malah disalahkan!

Setelah masa penyembuhan luka traumatis berlalu, baru mutu profesionalisme Kompas dalam hal benar cetak pulih kembali!

Kelirumologi

Gegara kalimat keliru yang dibenarkan malah makin keliru itu perhatian saya makin tertarik pada apa yang disebut keliru ternyata penuh jebakan logika tak terduga oleh mereka yang terbiasa berlogika normal-normal saja.

Ketertarikan saya pada keliru berkembang ke sana ke mari sehingga akhirnya saya menggagas kelirumologi yang kemudian untuk lebih mempelajari kekeliruan saya mendirikan wadahnya yaitu Pusat Studi Kelirumologi.

Kelirumologi sendiri kemudian mengevolusikan diri menjadi logi-logi lain-lainnya lagi seperti alasanologi, malumologi, humorologi, rideologi, angkamologi, kirakiramologi, purapuramologi, andaikatamologi serta logi-logi lainnya.

Pada hakikatnya logi-logi sekadar istilah untuk hasrat mempelajari benda dan tak benda di alam semesta yang tak kenal batas maksimal dan minimalnya itu.

Sebagai ikhtiar manunggaling kawula gusti yang senantiasa menyadarkan diri saya bahwa diri saya sekadar makhluk tak berdaya maka tak berarti apa pun di tengah kemahaluasan alam semesta ciptaan Yang Maha Kuasa.

 

Credit Foto: Freepik

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi