BERDASAR hasil penelitian Pusat Studi Kelirumologi dapat disimpulkan bahwa apa yang disebut sebagai kekeliruan terdiri dari berbagai jenis.
Tergantung manusia yang melakukan atau menafsirkan. Ada kekeliruan yang disengaja, ada yang tidak disengaja; ada kekeliruan yang disadari di samping ada yang tidak disadari atau tidak mau diakui; ada kekeliruan individual; ada kekeliruan komunal; ada pula kekeliruan yang harus dibenarkan seperti kekeliruan mesin mobil apalagi pesawat terbang atau kekeliruan kebijakan sehingga menindas rakyat.
Namun ada kekeliruan yang terpaksa dibiarkan keliru apabila yang bikin kekeliruan adalah penguasa yang tidak suka dikritik.
Namun ada pula kekeliruan yang jika dibenarkan malah menjadi makin keliru.
Deteksi kekeliruan
Contoh nyata bisa diperoleh dari kisah nyata yang saya alami sendiri ketika menulis naskah “Pengaprahan Kekeliruan” yang sengaja saya kelirukan menjadi Pengkaprahan Kekeliruan (Kompas, 16 September 1989) .
Di dalam naskah bersejarah sebagai asal-muasal gagasan kelirumologi itu saya sengaja menulis sebuah kalimat sebagai contoh betapa sulit mendeteksi kekeliruan sebagai berikut “Didalam kalimat ini terdapat tiga kekeliliruan” .
Mereka yang berlogika normal hanya berhasil menemukan dua kekeliruan yang sengaja saya kelirukan itu yaitu pertama = didalam seharusnya di dalam; ke dua kekeliliruan seharusnya kekeliruan.
Sementara kekeliruan yang ketiga adalah pada pernyataan bahwa kalimat itu mengandung tiga kekeliruan padahal cuma dua.
Dasar saya manusia tidak sempurna maka lalai memperhitungkan petugas korektor Kompas akan menunaikan tugas secara benar bahkan professional yaitu mengoreksi seluruh kekeliruan yang terkandung di dalam naskah yang akan dipublikasikan oleh Kompas.
Akibat memang (sengaja) dikelirukan maka kalimat “keliru” saya ternyata dibenarkan oleh sang korektor Kompas menjadi “Di dalam kalimat ini terdapat tiga kekeliruan” yang langsung memusnahkan niat tujuan saya menulis kalimat yang sengaja saya kelirukan itu.
Protes keras
Saya protes keras, karena naskah saya kehilangan makna yang sebenarnya. Redaksi Kompas cukup bingung akibat baru pertama kali terjadi kasus keliru dibenarkan ternyata malah keliru.
Karena tidak tahu bagaimana cara menjelaskan duduk permasalahan rumit-keliru itu, maka saya dipersilakan untuk membenarkan melalui Surat Pembaca.
Namun celaka, ternyata penjelasan saya lewat rubrik Surat Pembaca yang memang menggunakan susunan kalimat yang sengaja dikelirukan demi tidak keliru itu dikoreksi kembali oleh pihak kolektor yang tetap konsekuen dan konsisten menunaikan profesinya.
Akhirnya Surat Pembaca penjelasan saya dimuat ulang Kompas tanpa campur tangan pihak korektor.
Sementara para pembaca malah makin bingung akibat kehilangan jejak mengenai kasus kekeliruan yang dibenarkan malah jadi keliru lalu setelah dibenarkan kembali malah makin keliru itu.
Setelah tragedi keliru simpang-siur itu, selama cukup lama Kompas makin sering memuat keliru cetak, akibat pihak korektor menjadi ragu dalam melaksanakan tugas akibat trauma empirik buruk dalam hal susah payah membenarkan ternyata malah disalahkan!
Setelah masa penyembuhan luka traumatis berlalu, baru mutu profesionalisme Kompas dalam hal benar cetak pulih kembali!
Kelirumologi
Gegara kalimat keliru yang dibenarkan malah makin keliru itu perhatian saya makin tertarik pada apa yang disebut keliru ternyata penuh jebakan logika tak terduga oleh mereka yang terbiasa berlogika normal-normal saja.
Ketertarikan saya pada keliru berkembang ke sana ke mari sehingga akhirnya saya menggagas kelirumologi yang kemudian untuk lebih mempelajari kekeliruan saya mendirikan wadahnya yaitu Pusat Studi Kelirumologi.
Kelirumologi sendiri kemudian mengevolusikan diri menjadi logi-logi lain-lainnya lagi seperti alasanologi, malumologi, humorologi, rideologi, angkamologi, kirakiramologi, purapuramologi, andaikatamologi serta logi-logi lainnya.
Pada hakikatnya logi-logi sekadar istilah untuk hasrat mempelajari benda dan tak benda di alam semesta yang tak kenal batas maksimal dan minimalnya itu.
Sebagai ikhtiar manunggaling kawula gusti yang senantiasa menyadarkan diri saya bahwa diri saya sekadar makhluk tak berdaya maka tak berarti apa pun di tengah kemahaluasan alam semesta ciptaan Yang Maha Kuasa.
Credit Foto: Freepik
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.