Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Bagaimana Akurasi Rapid Test Antigen Dibanding Tes Covid-19 Lainnya?

Baca di App
Lihat Foto
FITRI R
Seorang petugas di Laboratirium Dinas Kesehatan NTB, usai melakukan swab antigen, Selasa (22/9/2020) untuk memastikan apakah seseorang terpapar covid19 atau masih aman dari covid-19.
|
Editor: Jihad Akbar

KOMPAS.com - Baru-baru ini rapid test antigen atau swab antigen ramai dibicarakan. Sebab, jenis tes virus corona itu dijadikan syarat bepergian keluar kota dan menjadi syarat masuk ke beberapa kota.

Meski sudah digunakan di luar negeri, di Indonesia rapid test antigen ini belum banyak dilakukan.

Beberapa pakar kesehatan masyarakat sudah sejak lama menyarankan penggunaannya di Indonesia, karena dinilai lebih akurat daripada rapid test antibodi, serta lebih murah dan cepat daripada swab PCR.

Lantas, bagaimana akurasi rapid test antigen dibanding dengan tes virus corona lainnya?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Kemenkes: RS dan Klinik Swasta Harus Ikuti Batas Tarif Rapid Test Antigen

1. Rapid test antigen/swab antigen

Mengutip Kompas.com, Jumat (18/12/2020), menurut Dokter umum sekaligus kandidat PhD di Medical Science di Kobe University, Adam Prabata, rapid test antigen dan swab antigen keduanya istilah yang sama.

Rapid test antigen memiliki sensitivitas maksimal 94 persen dan spesifisitas sebesar lebih dari 97 persen.

"Risiko negatif palsu tinggi, terutama bila viral load rendah atau sebelum 1-3 hari pra-gejala dan sudah lebih dari 7 hari gejala muncul," kata Adam.

Viral load merupakan prediksi jumlah virus yang ada di dalam tubuh berdasarkan hasil CT-Value PCR.

Jika menilik pada tingkat keefektifan, Adam mengatakan masa swab antigen memiliki akurasi tinggi, hampir sama dengan waktu pasien Covid-19 berisiko menularkan ke orang lain.

Adapun, masa swab antigen akurasi tinggi ini terjadi setelah masa infeksius atau setelah hari ke-10 setelah bergejala.

Diberitakan Kompas.com, Sabtu (19/12/2020), rapid test antigen dinilai lebih akurat dibandingkan tes antibodi karena dapat mengidentifikasi virus dalam sekresi hidung dan tenggorokan.

Baca juga: Ramai Warganet Pertanyakan soal Rapid Test Antigen, Ini Penjelasan KAI

Meski demikian, tes jenis ini hanya bagian dari screening awal. Hasilnya harus tetap dikonfirmasi dengan tes swab PCR yang lebih akurat.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) merekomendasikan rapid test antigen untuk screening Covid-19. Terutama, untuk pasien tanpa gejala atau dengan kecurigaan kontak terhadap pasien Covid-19.

Sementara itu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan rapid test antigen untuk daerah transmisi komunitas terjadi luas dan pemeriksaan PCR tidak ada atau hasilnya muncul lambat.

Akan tetapi, melansir laman Harvard University, 16 Desember 2020, hasil negatif palsu cenderung lebih sering terjadi dengan uji antigen dibandingkan dengan uji molekuler.

Itu membuat Badan Pengawas Obat dan Makanan AS (FDA) tidak menggunakan tes ini sebagai tes tunggal untuk infeksi aktif.

Karena pengujian antigen lebih cepat, lebih murah, dan memerlukan teknologi yang tidak terlalu rumit untuk dilakukan daripada pengujian molekuler, beberapa ahli merekomendasikan pengujian antigen berulang sebagai strategi yang masuk akal.

Baca juga: AS Setujui Penggunaan Darurat Vaksin Covid-19 Buatan Moderna

2. Tes PCR

Masih dari laman Harvard University, tes PCR disebut juga tes RNA virus, tes molekuler, atau tes asam nukleat.

Cara mengetesnya dengan usap hidung, usap tenggorokan, dan tes air liur atau cairan tubuh lainnya. Tes molekuler mencari materi genetik yang hanya berasal dari virus.

Terkait akurasinya, tingkat negatif palsu bervariasi tergantung pada berapa lama infeksi telah ada. Adapun, negatif palsu adalah hasil tes yang mengatakan tidak memiliki virus padahal benar-benar terinfeksi virus.

Dalam sebuah penelitian tingkat negatif palsu adalah 20 persen saat pengujian dilakukan lima hari setelah gejala mulai, tetapi jauh lebih tinggi (hingga 100 persen) pada awal infeksi.

Sementara itu, tingkat positif palsu (yaitu, seberapa sering tes mengatakan terkena virus padahal sebenarnya tidak) harus mendekati nol.

Sebagian besar hasil positif palsu diperkirakan disebabkan kontaminasi laboratorium atau masalah lain dengan cara laboratorium melakukan pengujian, bukan keterbatasan pengujian itu sendiri.

Baca juga: Selama Liburan, Random Rapid Test Antigen Bergulir di 70 Rest Area

Tes molekuler menggunakan usap hidung biasanya merupakan pilihan terbaik, karena hasil negatif palsu lebih sedikit daripada tes diagnostik lain atau sampel dari usap tenggorokan atau air liur.

Namun, orang-orang yang berada di rumah sakit mungkin memiliki jenis sampel lain yang diambil.

3. Rapid test antibodi (disebut juga tes serologi)

Tes ini meneliti sampel darah seperti rapid test yang sebelumnya gencar dilakukan di Indonesia.

Tes darah ini mengidentifikasi antibodi yang diproduksi sistem kekebalan tubuh sebagai respons terhadap infeksi virus.

Rapid test antibodi tidak dapat memberitahu seseorang terinfeksi sekarang. Akan tetapi, rapid test antibodi dapat secara akurat mengidentifikasi infeksi masa lalu.

Terkait akurasi, melakukan tes antibodi terlalu dini dapat menyebabkan hasil negatif palsu. Itu karena sistem kekebalan membutuhkan satu atau dua minggu setelah infeksi untuk menghasilkan antibodi.

Tingkat negatif palsu yang dilaporkan adalah 20 persen. Namun, kisaran negatif palsu adalah dari 0 persen hingga 30 persen, tergantung pada penelitian dan kapan tes dilakukan selama infeksi.

Penelitian menunjukkan tingkat antibodi mungkin berkurang hanya dalam beberapa bulan.

Baca juga: Syarat Tes PCR atau Antigen di DIY, Termasuk untuk Warga yang Keluar, Berlaku bagi Semua Jalur Transportasi

Akurasi sebenarnya belum pasti

Semua jenis tes itu baru, karena virus corona penyebab Covid-19 juga tergolong baru. Tanpa rekam jejak yang panjang, penilaian akurasi hanya bisa berupa perkiraan.

Seberapa hati-hati spesimen dikumpulkan dan disimpan dapat memengaruhi keakuratannya.

Sejumlah besar laboratorium dan perusahaan menawarkan berbagai tes itu, jadi keakuratannya dapat bervariasi.

Sementara itu, tes negatif palsu memberikan kepastian palsu dan dapat menyebabkan pengobatan tertunda dan pembatasan yang longgar meski menular.

Positif palsu, yang kemungkinannya kecil, dapat menyebabkan kecemasan yang tidak beralasan dan mengharuskan orang untuk melakukan karantina jika tidak perlu.

(Sumber: Kompas.com/Ivany Atina Arbi, Retia Kartika Dewi | Editor: Diamanty Meiliana, Sari Hardiyanto)

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi