KOMPAS.com - Sebuah unggahan foto pengumuman "pernyataan putus hubungan" menjadi viral dan ramai diperbincangkan oleh warganet di media sosial Twitter.
Foto itu diunggah oleh akun Hiburan Rakyat Jelata @menteridigital pada Kamis (17/12/2020).
Dalam foto itu, terpampang wajah seorang pemuda disertai nama, tempat dan tanggal lahir, serta alamat yang bersangkutan.
Baca juga: Sejarah Taco Bell, Mulai dari Bangunan 7 Meter Sampai Punya 7.000 Restoran
Di bawahnya, tertulis keterangan sebagai berikut:
"Mulai hari ini tanggal 16 Desember 2020, tidak saya akui lagi sebagai anak karena ianya tidak mau mendengarkan nasehat dan kurang ajar serta orangtuanya, maka sejak pernyataan ini dimuat segala tindak tanduknya di luar adalah menjadi tanggung jawab dirinya sendiri."
Hingga Minggu (20/12/2020) unggahan foto tersebut telah mendapat lebih dari 13 ribu likes dan lebih dari 2 ribu retweet.
Warganet juga tidak ketinggalan meramaikan kolom komentar unggahan tersebut. Berikut beberapa di antaranya:
Sejak kapan tradisi itu ada?
Kepala Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dwi Susanto mengatakan, berdasarkan literatur yang dia baca, pengumuman pemutusan hubungan yang dilakukan oleh keluarga Tionghoa sudah ada sejak masa kolonial.
"Keluarga Tionghoa itu memutus hubungan, misalnya 'Dia sudah tidak lagi anakku'. Itu diumumkan, diiklankan di koran-koran. Itu sudah banyak, dan sedari dulu sudah ada," kata Dwi saat dihubungi Kompas.com, Minggu (20/12/2020).
Baca juga: Siapa Pemilik SIM dan Plat Nomor Kendaraan Pertama di Dunia?
Melanggar moralitas
Dwi mengatakan, ada beberapa sebab seseorang kemudian diputuskan hubungan kekeluargaannya. Salah satunya adalah karena seorang anak dinilai sudah melanggar moralitas.
"Mungkin karena hukum-hukum keluarga, atau mungkin karena 'memalukan', maka dia dikeluarkan," kata Dwi.
Dalam foto pengumuman pemutusan hubungan keluarga yang baru-baru ini viral, disebutkan bahwa pemuda dalam foto itu diputus hubungan, salah satunya karena dianggap sudah tidak patuh lagi terhadap orang tua.
Dwi mengatakan, moralitas adalah hal yang dijunjung tinggi dalam keluarga Tionghoa, dan salah satu kunci utamanya adalah penghormatan terhadap orang tua.
"Hormat pada orang tua, hormat pada Tuhan, hormat pada leluhur. Itu kalau tidak dilakukan, dia sudah tidak dianggap lagi sebagai keluarga," kata Dwi.
Baca juga: Video Viral Seekor Dinosaurus Turun dari Truk di Magetan, Ini Faktanya
Sudah berlainan adat
Dwi mengatakan, sebab lain yang mendasari pemutusan hubungan adalah karena seorang anak dianggap sudah berbeda adat dengan keluarganya.
Hal itu bisa terjadi karena seorang anak, dalam hal ini perempuan, menikah dengan laki-laki dari ras lain yang bukan Tionghoa misalnya.
"Ras lain itu misalnya, Jawa, bahkan ras Eropa. Kalau yang perempuan, itu dianggap sudah bukan lagi orang Tionghoa. Bukan dia punya bangsa. Karena dia sudah berlain bangsa," ujar Dwi.
"Hal itu karena perempuan itu penjaga tradisi, penjaga identitas, penurun tradisi. Nanti dia yang akan mengajari anak-anaknya, dan sebagainya," imbuhnya.
Maka, menurut Dwi, perkawinan antar ras antara perempuan Tionghoa dengan laki-laki dari ras lain itu selalu dilarang atau selalu gagal.
Bagi perempuan yang nekat melanggar larangan itu, maka konsekuensinya adalah diputus hubungan kekeluargaannya.
"Sehingga, karena dia sudah tidak lagi bertradisi Tionghoa, beragama lain, maka dia sudah tidak dianggap keluarga lagi," kata Dwi.
Baca juga: Makam Kuno Berusia 2.500 Tahun dari Suku yang Hilang Ditemukan di China
Untuk menjaga kehormatan keluarga
Dwi mengatakan, tujuan keluarga Tionghoa mengumumkan pemutusan hubungan keluarga melalui koran adalah agar orang lain mengetahui jika yang diputus hubungan itu sudah bukan tanggung jawab keluarganya.
"Apapun tindakan dia, apapun yang dia lakukan, nanti berhubungan dengan orang lain, itu sudah tidak ada sangkut pautnya lagi dengan keluarga itu," kata Dwi.
Dwi mencontohkan, misalnya yang diputus hubungan itu tersangkut masalah hukum dan dipenjara, maka keluarganya tidak akan ikut campur dalam urusan tersebut.
Dia mengatakan, melakukan pemutusan hubungan dan mengumumkannya di media massa, merupakan cara bagi keluarga Tionghoa untuk menjaga kehormatan mereka.
"Kehormatan keluarga, nama baik, moralitas keluarga. Memegang tradisi moralitas keluarga. Tradisi moralitas itu yang utama di situ," tutur dia.
Baca juga: Situs Kuno Pemujaan Kaisar Berusia 1.500 Tahun Digali di China Utara
Iklan kematian
Selain pengumuman putus hubungan, keluarga Tionghoa diketahui juga sering memasang pengumuman di koran jika ada anggota keluarga yang meninggal dunia.
Dwi mengatakan, hal tersebut juga memiliki beberapa tujuan, selain untuk mengabarkan kabar duka tersebut.
"Yang utama kan pemberitahuan kalau mati, nah selain itu kan mereka marganya, relasi bisnisnya kan banyak. Iklan besar-besaran (di koran) itu juga menunjukkan kehormatan keluarga," kata Dwi.
Menurut Dwi, unjuk kehormatan yang dilakukan ini tidak bersifat negatif. Dalam kultur Tionghoa, hal tersebut justru memiliki makna positif.
"Makanya ketika pemakaman itu semakin meriah, semakin besar, itu menunjukkan keberadaan dia di masyarakat itu sangat dipandang," kata Dwi.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.