KOMPAS.com - Banjir kembali menggenangi sejumlah wilayah di Kota Bandung pada Kamis (24/12/2020) setelah diguyur hujan deras.
Bahkan kondisi di Jalan Sukamulya, Sukagalih, Kecamatan Sukajadi, Kota Bandung berubah seperti sungai yang berjeram.
Setidaknya, 3 mobil dan 6 motor terseret oleh arus air banjir.
Dalam beberapa video di media sosial memperlihatkan, sebuah mobil Honda Brio terbawa arus hingga posisinya berbalik arah.
Baca juga: Kapan Musim Kemarau 2020 Berakhir dan Musim Penghujan di Indonesia Dimulai?
Lantas, mengapa Kota Bandung menjadi langganan banjir kala musim hujan?
Minim resapan, pemukiman bertambah
Ahli Hidrologi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) M Pramono Hadi mengatakan, karakteristik fisiografi Bandung yang berupa cekungan menjadi salah satu faktor utama penyebab banjir di kota itu.
Di sisi lain, kawasan pemukingan di Bandung yang terus berkembang menambah risiko terjadinya banjir.
"Bandung itu secara umum kan berkembang pemukimannya, kalau berbicara mengenai risiko, maka pemukiman yang ada itu menjadi bagian dari risiko itu sendiri," kata Pramono kepada Kompas.com, Jumat (25/12/2020).
Baca juga: Melihat Cara Belanda Mengatasi Banjir...
Sayangnya, kondisi itu tidak disertai adanya resapan yang memadai, khususnya ketika terjadi curah hujan ekstrem.
Selain itu, Bandung juga belum memiliki kapasitas waduk atau situ yang berfungsi sebagai penampungan air.
"Nah tampaknya untuk kawasan Bandung belum mengantisipasi itu, sehingga wajar kalau hujan agak deras langsung banjir. Mungkin ada waduk kecil-kecil tapi tidak cukup," jelas dia.
"Kalau airnya melimpah pasti larinya daerah low land. Karena itu orang menyebutnya banjir kiriman, karena mungkin di lokasi banjir tidak terjadi hujan deras," sambungnya.
Baca juga: Mengenal Sabo Dam, Solusi Penanggulangan Banjir Lahar Gunung Merapi...
Kerusakan landskap dan tata kota
Sementara itu, ahli pengelolaan daerah aliran sungai Universitas Padjajaran (Unpad) Chay Asdak menjelaskan, persoalan banjir di Bandung disebabkan karena beberapa faktor.
Pertama, kerusakan landskap yang terjadi di kawasan Bandung utara yang tak pernah diperbaiki.
"Kita tahu bahwa kawasan Bandung utara itu landskapnya rusak sudah tahunan dan tidak pernah punya progres yang bagus dalam perbaikan lingkungan," kata Chay saat dihubungi secara terpisah, Jumat.
Baca juga: Banjir Bandang di Tengah Musim Kemarau, Mengapa Bisa Terjadi?
Persoalan kedua adalah tata kota yang tidak layak dari sisi perencanaan. Hal ini diperburuk dengan minimnya drainase.
Chay mencatat, hanya 30 persen jalanan di Bandung yang dilengkapi oleh drainase.
Faktor ketiga adalah sampah.
"Banjir ini tidak bisa dihindari karena kerusakan landskap, persoalan drainase, dan sampah," kata dia.
Baca juga: Mencairnya Es di Greenland dan Risiko Banjir Tahunan...
Solusi
Untuk mencegah terjadinya banjir atau meminimalisir risiko, Chay menyebut pemerintah perlu membangun sistem yang membuat air cepat mengalir.
Ia menyebut gagasan Ridwan Kamil saat menjadi wali kota dulu bisa menjadi solusi baik untuk mengalirkan air dengan cepat.
Sayangnya, rencana itu tak kunjung dituntaskan sampai hari ini.
"Satu alternatif yang digagas oleh RK saat jadi wali kota itu adanya tol banjir. Kalau RK sudah mengemukakan itu, tentu ada blue print-nya," ujar dia.
"Jika sebagian sudah dibuat, ya tuntaskan, karena itu akan bermanfaat ketika terjadi banjir-banjir bandang seperti kemarin," lanjutnya.
Baca juga: Banjir Jakarta, Sistem Drainase dan Pembagian Kewenangan...
Untuk solusi jangka menengah, pemerintah juga perlu membangun embung-embung besar, seperti yang pernah digagas Gubernur Jawa Barat periode sebelumnya, meski belum terealisasi.
Karena konteks banjir di Bandung ini melibatkan lintas wilayah, maka diperlukan sinergi antar beberapa daerah untuk mengatasi masalah tersebut.
"Masing-masing punya peran, nanti bisa dipetakan. Bandung Barat bisa berperan untuk mengalihfungsikan kawasan di Bandung utara," jelas Chay.
"Kemudian Bandung Cimahi memastikan drainase, sampah, dan hal-hal yang terkait tol banjir. Kabupaten Bandung memastikan Sungai Citarum kapasitasnya tidak semakin berkurang," imbuh dia.
Baca juga: Banjir dari Jabodetabek hingga Surabaya, Kenapa Bisa Terjadi?