Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

10 Bulan Pandemi, Kasus Covid-19 di Indonesia Tembus 700.000, Apa Sebabnya?

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.COM/SHUTERSTOCK
Ilustrasi virus corona (Covid-19)
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Indonesia mengonfirmasi 7.259 kasus infeksi baru virus corona pada Jumat (25/12/2020). Hal itu menjadikan total kasus Covid-19 tembus 700.000 kasus, tepatnya 700.097 kasus.

Selain itu, angka kematian akibat Covid-19 di Indonesia juga mencapai 20.875, sementara 570.304 pasien telah dinyatakan sembuh.

Dalam catatan Our World in Data, Indonesia menjadi negara dengan positivity rate tertinggi di dunia, yaitu sekitar 20 persen.

Angka itu jauh di atas India, negara dengan kasus Covid-19 tertinggi kedua di dunia, yang hanya memiliki positivity rate di bawah 5 persen.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Bertambah 7.259, Kasus Covid-19 di Indonesia Tembus 700.000

Kondisi serius, penanganan tidak fokus

Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan, kondisi di Indonesia saat ini sama seperti India dan Brasil.

Sebab, kurva epidemiologi di Indonesia terus mengalami kenaikan dan tak pernah melandai. Hanya saja, India dan Brasil memiliki kapasitas testing yang lebih besar.

"Bedanya tes Indonesia paling rendah. Jadi seperti terkesan biasa biasa saja, padahal sudah serius," kata Dicky kepada Kompas.com, Sabtu (26/12/2020).

Menurutnya, masalah testing yang sejak awal dikritik tak kunjung diperbaiki secara signifikan. Artinya, pemerintah tidak merespons pentingnya testing sesuai skala penduduk dan eskalasi pandemi.

Ia menambahkan, hal itu disebabkan oleh penanganan pandemi yang tidak fokus.

"Yang jelas tidak fokus pada upaya mengendalikan pandeminya, tetapi terdistraksi dengan fokus ekonomi dan politik," jelas dia.

Baca juga: Epidemiolog: Tiket Promo Bukti Tak Terintegrasinya Penanganan Pandemi

Strategi komunikasi risiko

Dicky menjelaskan, strategi yang paling tepat untuk menangani pandemi saat ini tak cukup hanya dengan pendekatan edukasi, tetapi lebih pada strategi komunikasi risiko.

Sebab, strategi risiko memiliki need assessment yang menjadi alat untuk mengetahui penyebab ketidakfahaman atau ketidakmauan suatu populasi dalam melakukan upaya pencegahan.

Menurut dia, pemahaman yang tepat sangat diperlukan untuk menjamin keberhasilan setiap intervensi yang dilakukan, baik 3T, 3M, maupun vaksinasi.

"Pendekatan edukasi hanya bagian kecil dari strategi komunikasi risiko," ujarnya.

Selain itu, pendekatan edukasi yang dipakai juga tidak bisa dilakukan secara umum.

Baca juga: Epidemiolog soal Satgas Covid-19 Sebut Masyarakat Gali Kubur Sendiri: Tak Tepat

 

Edukasi

Karena pendekatan edukasi ini umumnya mengacu pada pola lama yang sudah mulai ditinggalkan, yaitu konsep KAP (knowledge, attitude, practise). 

Ia menuturkan, salah satu prinsip strategi komunikasi risiko adalah membangun kesadaran dan kewaspadaan.

Artinya, data atau info yang disampaikan harus komprehensif dan berimbang antara berita baik dan buruk.

Strategi komunikasi yang dibangun pun harus spesifik untuk tiap populasi atau kelompok masyarakat. Selain itu, bahasa, teknik menyampaikan dan media juga harus disesuaikan.

"Misal terkait vaksin, strategi komunikasi pada pekerja kantoran akan sangat berbeda dengan kelompok masyarakat di pedesaan," terang dia.

Baca juga: Epidemiolog Minta Pemerintah Tak Hanya Andalkan Vaksin Atasi Pandemi Covid-19

Keteladanan

Selain strategi komunikasi risiko yang dilakukan dengan tepat dan efektif, keteladanan atau role model juga sangat diperlukan.

Sayangnya, Dicky melihat keteladanan ini masih minim di tiap tingkatan, termasuk di perkantoran-perkantoran, sehingga protokol hanya sebatas aturan di atas kertas.

"Rapat-rapat tatap muka masih dan makin menjamur, perjalan-perjalanan dinas tidak terkendali," tutur dia.

Baca juga: Epidemiolog soal Satgas Covid-19 Sebut Masyarakat Gali Kubur Sendiri: Tak Tepat

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi