Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Editor dan Penulis
Bergabung sejak: 8 Jun 2016

Editor dan Penulis

Annus Horribilis, Tahun yang Mengerikan...

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/ADITYA PRADANA PUTRA
Sejumlah warga mengenakan jas hujan dan menggunakan payung saat menikmati hiburan dalam acara hari bebas kendaraan bermotor (HBKB) atau car free night di Jalan MH Thamrin, kawasan Bundaran hotel Indonesia, Jakarta, Selasa (31/12/2019). Hujan tak menyurutkan animo masyarakat dalam merayakan Tahun Baru 2020 di kawasan itu. *** Local Caption ***
Editor: Ana Shofiana Syatiri

Tahun 2020 segera berlalu beberapa hari lagi. Ada yang mengatakan, tahun 2020 adalah tahun yang hilang, tahun ketidakpastian, bahkan lebih seru lagi disebut sebagai tahun yang mengerikan (annus horribilis).

Tetapi, ada juga yang bergurau, tahun 2020 adalah tahun OTG alias Orang Tanpa Gaji. Disebut demikian, saking banyaknya yang kena PHK.

Menurut data statistik Bappenas, gelombang yang dirumahkan dan PHK sebanyak 3,7 juta orang.

Kamar Dagang Indonesia (Kadin) menyebut 6 juta orang, sedangkan Kementerian Ketenagakerjaan menyebut 1,7 juta orang. Pastinya, akibat pandemi Covid-19 berimbas hilangnya mata pencaharian sekian orang.

Namun demikian, dampak paling menonjol adalah efek psikologis yang menyangkut pekerjaan, bisnis, ekonomi rumah tangga, kesehatan, pendidikan, dan interaksi sosial.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Gangguan psikologis tersebut bercirikan timbulnya kecemasan (anxiety) yang meliputi rasa khawatir, gelisah, bingung (disorientasi), bahkan dibarengi rasa takut (fear) terhadap penularan virus Corona ini.

Rasa takut yang timbul ini memang masuk akal karena wabah sudah merajalela di depan mata serta menghantui di berbagai tempat. Apalagi baru-baru ini tersiar berita adanya temuan varian baru virus Corona yang sudah menjangkiti negara-negara lain saat ini, yaitu Irlandia Utara, Israel, Singapura, Denmark, Belanda, Australia, Italia, Gibraltar, Prancis, Afrika Selatan. Ini berarti tahun 2021 masih terancam virus varian baru ini.

Pandemi tahun 2020 ini telah menciptakan perubahan yang semula hidup normal menjadi tidak normal. Hampir semua orang dilanda rasa takut.

Rhenald Kasali mengatakan, perubahan selalu menakutkan dan menimbulkan kepanikan-kepanikan (Rhenald Kasali, 2005:xxxv).

Sedangkan perubahan itu sendiri menurut filsuf Herakleitos adalah hal yang abadi, panta rhei kai uden menei, semuanya mengalir dan tidak ada sesuatu pun yang tinggal tetap, yang tetap atau abadi adalah perubahan itu sendiri.

Perubahan yang diakibatkan faktor alam ini, telah membuat manusia tunggang-langgang. Lari terbirit-birit. Panik, takut, cemas, stres, bingung, bengong, emosi teraduk-aduk tidak menentu.

Memang rasa takut pada manusia sangat alamiah karena rasa takut termasuk wilayah emosi dasar yang dimiliki manusia, selain marah, cinta, dan depresi (Alex Sobur, 2016:354).

Manusia pada dasarnya memang harus belajar dari rasa takut, tujuannya agar mampu mengalahkan rasa takut di dalam dirinya. Kalau sebaliknya rasa takut menguasai dirinya, maka ia akan kalah dan jatuh pada jurang keputusasaan dan depresi berat.

Tetapi, pada kenyataannya, ada orang yang takut secara berlebihan (baca: bawaan), hal ini dinamakan mysophobia, jenis fobia yang takut pada kuman, bakteri, virus, termasuk virus Corona pastinya.

Bukan hanya takut secara langsung, membayangkan atau mengingat pun sudah ketakutan. Berkali-kali ia akan membersihkan diri dan berkali-kali mencuci tangan. Bahkan, parahnya ia takut bertemu orang yang diduganya membawa virus.

Fobia seperti ini yang takut bertemu orang berujung pada socialphobia, gangguan kecemasan sosial.

Saya pernah membaca buku, lupa judul buku itu, dalam salah satu bab buku tersebut diceritakan seorang ilmuwan telah menemukan bahwa di udara bebas bertebaran bakteri atau kuman yang dapat menimbulkan penyakit.

Ilmuwan ini memberikan contoh dengan menyorotkan proyektor yang membuktikan udara penuh kuman dan bakteri yang terbang dan hinggap secara bebas. Kenyataan ini membuat salah satu peserta ketakutan. Sejak itu, peserta tersebut selalu melindungi dirinya dengan tabung kaca.

Menghilangkan mysophobia tidaklah mudah karena berkaitan dengan area otak amigdala.
Amigdala ini yang menjadi penyebab keluarnya hormon yang membuat tubuh dan pikiran tertekan. Hal ini dapat menyebabkan kepanikan secara mendadak pada orang tersebut.

Untuk mengurangi fobia ini, ada baiknya menenangkan diri melalui meditasi atau mindfulness. Mindfulness mengajarkan bagaimana menjaga kesehatan mental dan fisik dengan cara mengolah pikiran, teknik pernapasan, relaksasi, belajar menerima kenyataan.

Mindfulness dapat dilakukan setiap saat cukup lima menit saja, apabila dilakukan penuh konsentrasi akan terasa tenang dan lapang. Yakinlah, optimistislah, biarpun hari ini matahari terbenam, esok pagi pasti terbit kembali.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi