Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Temuan LIPI soal Sampah Medis di Teluk Jakarta, seperti Apa Dampak dan Bagaimana Cara Mencegahnya?

Baca di App
Lihat Foto
Opération Mer Propre
Limbah APD bekas terkait Covid-19 mengapung di lautan. Hal ini bisa menimbulkan masalah lingkungan dan kesehatan sekaligus.
|
Editor: Sari Hardiyanto

KOMPAS.com - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) melalui Pusat Penelitian Oseanografi merilis hasil monitoring sampah medis semasa pandemi Covid-19.

Pusat Penelitian Oseanografi berkolaborasi dengan Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Terbuka berhasil mengidentifikasi sampah-sampah yang menuju Teluk Jakarta melalui sungai Marunda dan Cilincing selama Maret hingga April 2020.

Hasil riset tersebut menunjukkan, jumlah sampah secara umum meningkat sebesar 5 persen, namun mengalami penurunan berat sebesar 23-28 persen.

Hal ini menguatkan indikasi perubahan komposisi sampah semasa pandemi, yaitu meningkatnya sampah berbahan plastik yang relatif lebih ringan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Baca juga: Mengapa Orang Indonesia Suka Buang Sampah Sembarangan?

Sampah plastik sendiri mendominasi muara sungai sebanyak 46-57 persen dari total sampah yang ditemukan.

Sementara itu, riset tersebut juga mencatat kehadiran sampah alat pelindung diri (APD), seperti masker medis, sarung tangan, pakaian hazmat, pelindung wajah, dan jas hujan, yang jumlahnya sangat mencolok dibandingkan dengan sebelum pandemi.

Sampah APD tersebut menyumbang 15-16 persen dari sampah di muara sungai Marunda dan Cilincing.

Hasil riset lengkap Pusat Penelitian Oseanografi LIPI dapat dibaca dan diunduh pada tautan berikut:

Unprecedented plastic-made personal protective equipment (PPE) debris in river outlets into Jakarta Bay during COVID-19 pandemic ??

Baca juga: Pemerintah Gratiskan Vaksin Covid-19, Mengapa Diberikan Lewat Suntikan?

Ada kemungkinan sampah medis membawa patogen

Peneliti Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, Muhammad Reza Cordova mengatakan, selama pandemi Covid-19, manajemen sampah baik di Indonesia maupun secara global, mengalami gangguan, terlebih dengan diberlakukannya lockdown dan pembatasan aktivitas.

"Pengelolaan sampah di Indonesia itu secara umum masih belum optimal. Tanpa adanya Covid-19 pun, kemarin kita sudah agak keteteran, apalagi dengan kondisi yang sekarang," kata Reza saat dihubungi Kompas.com, Selasa (5/1/2021).

Reza mengatakan, ada beberapa dampak, baik jangka pendek maupun menengah, yang diperkirakan bisa timbul karena adanya kebocoran sampah medis di lautan.

Baca juga: Berikut Kelompok yang Tidak Boleh Disuntik Vaksin Covid-19

"Dari jangka pendek, pertama adalah sampah ini kemungkinan bisa membawa patogen. Kalau berdasarkan berbagai hasil riset, ketika virusnya (Covid-19) masuk ke dalam air tawar, itu masih bisa bertahan antara 2 sampai 13 hari, bahkan ada yang menyebutkan sampai 14 hari," kata Reza.

"Cuma memang kalau yang sudah masuk ke laut, itu masih perlu penelitian secara detail. Nah yang di Indonesia bagaimana? Karena kan kita punya strain (virus) sendiri ini yang terpisah, itu yang kami belum tahu," imbuhnya.

Reza mengatakan, meski kemungkinan adanya patogen dari sampah medis yang bocor di laut masih belum pasti, namun dalam situasi pandemi seperti saat ini, setiap kemungkinan yang ada harus dilihat dari sisi terburuknya terlebih dahulu, sehingga bisa dilakukan langkah manajemen yang tepat.

Baca juga: Simak 3 Gejala Baru Covid-19, dari Anosmia hingga Parosmia

Potensi meningkatnya mikroplastik di laut

Reza mengatakan, dalam jangka menengah, kebocoran sampah medis yang sebagian besar berbahan plastik, berpotensi meningkatkan mikroplastik yang ada di laut.

"Sebagian besar dari sampah APD yang ditemukan itu adalah masker. Baik itu masker medis, kain, maupun scuba. Nah itu kan semuanya plastik sebenarnya," ujar Reza.

"Kecuali mungkin yang kainnya itu betul-betul katun ya, tapi kan itu jarang. Kebanyakan kalau masker kain sekarang bahannya adalah polyester. Nah dia akan lebih cepat lepas, lebih cepat lagi adalah yang dari masker medis berbahan polymer," kata Reza melanjutkan.

Baca juga: Kisah di Balik APD Fashionable yang Viral di Medsos...

Reza mengatakan, berdasarkan keterangan dari beberapa koleganya di Thailand, Amerika Serikat, dan Inggris, terjadi lonjakan polymer yang sama dengan yang ada di masker medis, ketika dilakukan monitoring sampah di lautan.

"Kalau misalnya terjadi kebocoran (sampah medis) bukan tidak mungkin menjadi sumber mikroplastik yang baru dibandingkan dari yang lama," kata Reza.

"Kita khawatirkan seperti itu. Mikro-plastik sendiri kalau berdasarkan penelitian kami sebenarnya relatif rendah di Indonesia, tapi kita memang sampah (plastik) besar yang utama," imbuhnya.

Baca juga: Laut Kaspia, Mengapa Danau Terbesar di Dunia Ini Disebut sebagai Laut?

Bahaya mikroplastik bagi makhluk hidup

Mengutip laman Pusat Penelitian Oseanografi LIPI, mikroplastik adalah zat plastik berukuran sangat kecil, bahkan tak lebih dari beberapa mikron, yang mulai mengancam kesehatan lingkungan serta biota laut di perairan Indonesia.

Ketika plastik berubah menjadi mikroplastik, biota laut seperti plankton dapat memakan zat tersebut.

Plankton yang kemudian dimakan oleh ikan dan ikan itu nantinya akan dimakan oleh manusia.

Baca juga: Mengenal Bunga Edelweis, Bunga Abadi di Gunung yang Tak Boleh Dipetik

Hal ini membuat mikroplastik yang awalnya berada di plankton bisa berpindah ke makhluk lain seperti ikan dan manusia.

Meski belum diketahui secara pasti dampaknya bagi manusia, riset yang dilakukan Pusat Penelitian Oseanografi LIPI menemukan sesuatu yang mengkhawatirkan.

Hasil riset itu menemukan bahwa hewan yang mengonsumsi mikroplastik mengalami tumor pada bagian saluran pencernaan.

Hal ini menjadi indikasi bahwa plastik berdampak buruk pada biota.

Baca juga: Mengenal Tumor dan Kanker, Beda atau Sama?

Mencegah pencemaran sampah medis

Reza mengatakan, ada beberapa opsi yang bisa ditempuh pihak berwenang untuk mengurangi potensi kebocoran sampah medis di sungai dan laut.

Pertama adalah melakukan daur ulang sampah tersebut, dan yang kedua adalah dengan cara pemusnahan sampah medis.

"Ada kemungkinan me-recycle kembali sampah yang memang bisa di-recycle. Tetapi itu butuh disinfeksi yang sangat bagus dulu, baru kemudian bisa di-recycle," kata Reza.

"Alternatifnya adalah dimusnahkan. Pemusnahannya dengan cara apa? Sebenarnya banyak, ada pakai autoclave, pakai incinerator," imbuhnya.

Baca juga: Berikut Cara Membuat Hand Sanitizer Sendiri dengan Lima Bahan Sederhana

Namun, Reza mengatakan bahwa pemusnahan sampah medis tidak bisa dilakukan sembarangan.

Misalnya pemusnahan dengan incinerator, harus dilakukan dengan suhu lebih dari 1.000 derajat celcius.

"Kalau kurang dari 1.000 derajat, dia malah bisa menghasilkan dioksin. Jadi bumerang malahan," ujar dia.

Dioksin adalah senyawa kimia yang dihasilkan dari pembakaran sampah plastik tidak sempurna, dan memiliki potensi racun bagi beberapa organ serta sistem tubuh.

Baca juga: Viral, Video Kuda Laut Jantan Lahirkan Bayi, Benarkah Demikian?

Oleh karena itu, Reza mengatakan perlu adanya persiapan infrastruktur yang mumpuni untuk melakukan pengelolaan sampah medis, baik dengan cara daur ulang maupun pemusnahan.

Sedangkan bagi masyarakat, Reza mengingatkan untuk memilah sampah medis, seperti masker, dan memisahkannya dari sampah rumah tangga.

"Kita memang harus edukasi terus tentang hal itu, kemudian kita juga harus kerja sama, katakanlah dengan Pemerintah Daerah (Pemda)," kata dia.

Reza mengatakan, Pemda memiliki peran penting untuk memastikan sampah medis tidak diangkut menuju Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang berisi sampah umum.

"Jangankan yang ada di sungai, yang ada di TPA pun, sampah APD, masker itu kan masih ditemukan. Padahal sebenarnya tidak boleh (diangkut) ke arah TPA, harus penanganan khusus," kata Reza.

Baca juga: Berkaca dari Jaksa Pinangki, Mengapa Sejumlah Orang Suka Operasi Plastik?

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi