Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Soal Kebiri Kimia, Ini Catatan ICJR

Baca di App
Lihat Foto
KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo
Hukuman Kebiri Kimia
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo telah melegalkan diberlakukannya hukuman berupa kebiri kimia kepada para pelaku kekerasan seksual terhadap anak.

Aturan itu tertuang pada Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual Terhadap Anak yang telah ditandatangani oleh Presiden.

Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) memberikan pernyataan soal ini.

Sebelumnya, ICJR menyebut undang-undang yang menjadi payung hukum pelaksanaan kebiri kimia memuat sejumlah permasalahan.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Persoalan itu di antaranya dari besarnya anggaran, teknis pelaksanaan, hingga bagaimana jika suatu hari pelaku terbukti tidak bersalah.

Baca juga: ICJR: PP Kebiri Kimia Memuat Banyak Permasalahan

Kali ini, ICJR menyoroti soal kebiri kimia yang dianggap tidak menempatkan korban kekerasan seksual sebagai prioritas negara.

Hal ini sebagaimana disampaikan Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu dalam keterangannya, Senin (4/1/2020).

"Hukuman kabiri kimia adalah aturan yang bersifat populis, sampai saat ini komitmen Pemerintah untuk penanganan korban masih minim dan cenderung mundur," kata Erasmus, saat dihubungi Kompas.com.

Ia menyebutkan, aturan ini membuat negara harus mengeluarkan anggaran lebih besar untuk pelaksanaan hukuman kebiri dan juga perlakuan setelahnya.

Padahal, pendanaan yang diberikan pemerintah terhadap upaya penanganan korban kekerasan seksual setiap tahunnya mengalami penurunan, meskipun jumlah korban yang harus ditangani justru cenderung meningkat signifikan.

"Dengan adanya PP 70/2020 ini negara justru seolah menyatakan diri siap dengan beban anggaran baru yang digunakan untuk penghukuman pelaku. Padahal korban masih menjerit harus menanggung biaya perlundungan dan pemulihannya sendiri," jelas Erasmus.

Baca juga: Apa Itu Kebiri Kimia? Ini Penjelasan Pakar UGM

Pemangkasan anggaran bagi pemulihan dan perlindungan korban kekerasan sosial disebutnya sebagai bukti bahwa negara belum memprioritaskan korban.

Dia membuka data anggaran yang dimiliki Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dari tahun 2015-2019 beserta berapa layanan yang dimiliki oleh LPSK.

Pada tahun 2015, LPSK memiliki 148 layanan. Jumlahnya meningkat drastis pada 2019 menjadi 9.308 layanan.

Akan tetapi, yang terjadi, anggaran untuk LPSK justru berkurang. Pada tahun 2015, LPSK mendapat anggaran sebesar Rp 148 miliar, pada 2020 anggaran itu menyusut hanya menjadi Rp 54,5 miliar, padahal kebutuhan meningkat.

Baca juga: Ada PP Kebiri Kimia, Anggota DPR Ingatkan Tetap Pentingnya Pencegahan Kekerasan Seksual

Tidak hanya anggaran  yang semakin minim, Erasmus juga mengatakan, hingga saat ini negara belum memiliki pengaturan yang komprehensif terkait hak perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual.

Berdasarkan tinjauan ICJR, undang-undang yang mengatur hal ini masih tersebar di 5 UU yang berbeda, yakni UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU TPPO, UU PKDRT, UU Perlindungan Anak dan UU SPPA.

"Perlu adanya satu UU baru yang dapat merangkum dan secara komprehansif menjangkau semua aspek perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual," kata Erasmus.

Catatan-catatan ini membuat ICJR mendesak pemerintah untuk mencukupkan kebijakan yang bersifat populis yang tidak menjadikan korban sebagai fokus perhatian

Erasmus menyebutkan, akan lebih baik jika pemerintah segera membahas sejumlah wacana seperti RUU Perlindungan dan Pemulihan Korban atau RUU Penghapusan Kekerasan seksual.

Baca juga: Selain Kebiri Kimia, Predator Seksual Anak Terancam Dibuka Identitasnya ke Publik 

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: Hukuman Kebiri Kimia

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi