KOMPAS.com - Belakangan, kekhawatiran dunia kembali muncul seiring ditemukannya strain baru virus corona di Inggris dan Afrika Selatan.
Strain baru Covid-19 itu disebut lebih menular hingga 70 persen daripada aslinya.
Akibatnya, Inggris dan sejumlah negara lain kini terpaksa kembali menerapkan penguncian demi mengekang penyebaran strain baru virus itu.
Namun, kemunculan strain baru Covid-19 di Inggris dan Afrika Selatan ini bukan pertama kalinya.
Baca juga: Berikut Sederet Negara yang Kembali Berlakukan Lockdown akibat Lonjakan Kasus Covid-19
Epidemolog Griffith University Dicky Budiman menyebut, sejauh ini sudah ada sekitar 40.000 mutasi Covid-19.
"Sejauh ini dari literatur, sudah ada 40.000-an mutasi SARS-CoV-2 yang terdeteksi, dengan rata-rata normal itu minimal 2-3 kali dalam satu bulan," kata Dicky kepada Kompas.com, Sabtu (9/1/2021).
Angka itu dikuatkan dengan sebuah jurnal ilmiah yang diterbitkan dalam ScienceDirect pada 7 Januari 2021.
Baca juga: Melihat Perbedaan Vaksin Buatan AS dengan Vaksin Buatan China, Ini Rinciannya...
Mutasi virus
Dalam jurnal itu, peneliti Inggris menemukan lebih dari 40.000 mutasi virus corona dalam kurun waktu kurang dari 6 bulan.
Meski sampel penelitian diambil di Inggris, tetapi epidemi di negara itu merupakan hasil dari pengenalan berulang SARS-CoV-2 secara global.
Kendati demikian, imbuh Dicky, sebagian besar tidak memiliki dampak signifikan, baik dari sisi penularan maupun keparahan.
Baca juga: Pemerintah Gratiskan Vaksin Covid-19, Mengapa Diberikan Lewat Suntikan?
Menurutnya, ada satu strain yang memiliki dampak signifikan dalam hal potensi penularan, yaitu strain yang terdeteksi di China pada Januari 2020.
Strain baru ini bernama D614G dengan kecepatan penularan sekitar 20 persen.
"Kalau ada strain baru yang sifatnya lebih menular, biasanya dominan dan mengalahkan yang lain. Jadi sekarang ini di dunia termasuk di indonesia yang dominan adalah strain D614G," jelas dia.
Baca juga: Bukan China, India Jadi Episentrum Baru Virus Corona di Asia
Sejak September lalu, muncul strain baru di Inggris dan Afrika Selatan yang memiliki sifat menginfeksi lebih cepat dan lebih efisien sampai 70 persen.
Strain baru ini dimungkinkan akan menjadi dominan dan mengalahkan strain sebelumnya.
"Di Eropa, khususnya di Inggris, strain yang ke arah dominan ya yang baru ini, mengalhakan D614G, begitu juga di Afsel. Tampaknya di tingkat global juga akan dominan," kata Dicky.
"Meskipun virusnya tetap sama, mekanisme penularan sama, gejala sama, yang berubah adalah kode genetik, sehingga lebih mudah menginfeksi. Virologinya lebih tinggi di saluran napas atas," tambahnya.
Baca juga: Melihat Efektivitas Vaksin Covid-19 yang Telah Diumumkan, dari Pfizer-BioNTech hingga Sinovac
Peningkatan jumlah pasien dan kematian
Dicky menuturkan, virologi strain baru di Inggris dan Afsel tersebut bisa 200 kali lebih tinggi dari strain sebelumnya, sehingga sangat mudah menginfeksi.
Karenanya, keberadaan strain baru ini harus cepet dideteksi untuk menghindari kolapsnya layanan kesehatan.
Sebab, potensi strain baru ini akan membuat peningkatan jumlah pasien dan kematian hingga 3-4 kali.
Baca juga: Tak Semua, Ini Daftar Daerah yang Terdampak Pengetatan Kegiatan di Jawa-Bali
Ia menduga, strain Inggris itu kemungkinan sudah masuk Indonesia, tapi belum terdeteksi.
"Artinya surveilans genom kita harus tinggi. Testing dan tracing kita ya jangan menyerah, harus terus diperbaiki. Karena kalau semakin diabaikan, ya semakin jauh ketertinggalan kita dari kecepatan virus ini menyebar," kata Dicky.
Dicky memperingatkan, mutasi virus akan selalu terjadi pada suatu wilayah atau negara yang belum mengendalikan situasi pandemi, seperti Indonesia.
"Potensi adanya strain baru made in indonesia juga sangat besar," tutupnya.
Baca juga: Update Daftar 54 Daerah Zona Merah Covid-19, Jawa Tengah Pimpin dengan 9 Wilayah