Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Praktisi Demokrasi Digital
Bergabung sejak: 15 Feb 2016

Executive Director SAFEnet, alumni IVLP 2018 Cyber Policy and Freedom of Expression Online, pendiri Forum Demokrasi Digital, dan penerima penghargaan YNW Marketeers Netizen Award 2018.

Pembekuan Akun Medsos Donald Trump: Sensor atau Tindakan Benar?

Baca di App
Lihat Foto
AP
Gambar yang dirilis pada Jumat pekan ini, 8 Januari 2021 menunjukkan akun Twitter Presiden Donald Trump yang ditangguhkan. Pada hari Jumat, perusahaan media sosial secara permanen menangguhkan Trump dari platformnya, dengan alasan risiko hasutan kekerasan lebih lanjut.
Editor: Heru Margianto

Usai penyerangan Gedung Capitol oleh pendukung Donald Trump pada Rabu, 6 Januari 2021 waktu AS, sejumlah platform teknologi bergerak merespons.

Pada 7 Januari 2021 pukul 22.47 WIB, Mark Zuckerberg sebagai pemilik Facebook menulis di akun medsosnya untuk mengumumkan bahwa Facebook menghapus pernyataan Donald Trump yang memprovokasi kekerasan.

Selain itu, ia juga memblokir akun Facebook dan Instagram Donald Trump dalam kurun waktu yang belum ditentukan dan sampai setidaknya dua minggu sampai proses inaugurasi presiden terpilih AS selesai.

Tidak berselang lama, pada 8 Januari 2021, Twitter mengeluarkan pengumuman lewat berbagai kanal yang dimilikinya, dengan menyatakan Twitter menangguhkan akun @realDonaldTrump secara permanen dari platform mikro-blogging tersebut.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Alasan yang disampaikan Twitter adalah penilaian tim Twitter atas postingan akun @realDonaldTrump yang memiliki risiko menghasut kekerasan.

Tindakan platform teknologi ini mendapat respons, baik dari kalangan pendukung Trump maupun dari para penentangnya.

Di media sosial, para pendukung Trump mengatakan ini adalah bentuk sensor dan bertentangan dengan amandemen pertama konstitusi AS.

Sedang di kubu seberang, berpendapat hal ini sudah pantas dilakukan karena Donald Trump telah mendorong kekerasan yang berakhir dengan tewasnya lima orang, terdiri dari satu polisi, satu masyarakat sipil yang tewas tertembak, dan tiga orang lain tewas karena kondisi darurat medis, pada serbuan yang disebut Joe Biden sebagai serangan teroris dalam negeri.

Pelbagai debat dan pandangan bermunculan sehingga menjadi kontroversi: apakah pembekuan akun media sosial ini bentuk sensor atau dapat dibenarkan?

Menanggapi pertanyaan tersebut, setidaknya ada tiga hal yang perlu dikaji lebih dulu. Pertama, mengapa baru sekarang tindakan ini dilakukan? Mengapa hal ini tidak dari sedari dulu saat akun Donald Trump kerap melakukan disinformasi dan hasutan kekerasan?

Kedua, benarkah tindakan ini bentuk sensor? Apakah tindakan ini dapat dibenarkan dari perspektif hak digital?

Ketiga, bagaimana dengan transparansi dan akuntabilitas saat tindakan ini diambil dan dalam situasi seperti apa tindakan ini dapat diterapkan kembali?

 

Transfer kekerasan dari fisik ke daring

Dalam studi kekerasan daring, belakangan ini muncul istilah digital vigilantism. Vigilantisme digital adalah proses di mana warga secara kolektif tersinggung oleh aktivitas warga lainnya, dan mengoordinasikan pembalasan di perangkat seluler dan platform sosial (Daniel Trottier, 2015).

Dalam papernya berjudul “Digital Vigilantism as Weaponization of Visibility”, ia menambahkan bahwa vigilantisme digital ini berkisar dari pelanggaran ringan protokol sosial hingga tindakan teroris dan partisipasi dalam kerusuhan.

Ada cukup banyak contoh yang terjadi di banyak belahan dunia saat kekerasan yang awalnya dari daring ini kemudian berpindah dan mewujud menjadi nyata dalam bentuk kekerasan fisik, atau bahkan tindakan teroris dan kerusuhan.

Tercatat kejadian seperti ini pernah terjadi di India, Bangladesh, Myanmar, Vietnam dan lainnya, termasuk di Indonesia.

Pada Juli 2020, Asad Noor, vlogger asal Bangladesh yang sangat vokal di media daring, menghadapi ancaman dan intimidasi dari pemerintah Bangladesh dan pihak-pihak lain karena mendukung minoritas Buddha dan mengkritik fundamentalisme Islam di negara tersebut.

Aksi vigilantisme digital kelompok fundamentalisme Bangladesh membuat Asad Noor melarikan diri ke India demi keselamatannya.

Di Indonesia, vigilantisme digital muncul dalam banyak bentuk paling tidak sejak 2017. Setelah hasutan dan doxing yang terjadi di media sosial oleh kelompok yang menamakan dirinya MCA, muncul aksi-aksi persekusi yang dilakukan oleh kelompok terorganisir untuk melakukan kekerasan kepada orang-orang yang lebih dulu ditarget MCA di daring.

Kesadaran bahwa kekerasan daring, yang berawal dari provokasi dan hasutan kekerasan, dapat mendorong tindakan kekerasan fisik ini kerap disuarakan untuk memprotes platform teknologi terhadap akun-akun yang bertindak sebagai agitator online.

Platform pernah merespons desakan ini. Alex Jones dan media daring Infowars, contohnya, pernah dibekukan di banyak platform.

Pada Agustus 2018 lalu, Youtube, Facebook, Apple, Spotify melakukan blokir, menghapus konten, mencabut rekaman Alex Jones di platform mereka.

Sebulan berikutnya, 6 September 2018, Twitter yang pada awalnya menolak untuk melakukan sensor, namun akhirnya memutuskan melarang akun @realalexjones dan @infowars juga di platformnya dengan alasan melanggar ketentuan mereka.

Tapi dalam banyak kasus lainnya, platform teknologi tidak melakukannya. Semisal pada akun-akun media sosial yang menggencarkan genosida pada warga Rohingya di Myanmar.

Atau bahkan pada Donald Trump yang aktif menggunakan Twitter untuk mem-posting hasutan kekerasan pada Korea Utara pada 2017.

Pada 26 September 2017, Twitter mengatakan tidak akan menghapus dengan alasan postingan itu tidak melanggar aturan perusahaan setelah menimbang "kelayakan beritanya."

Twitter mengatakan "kelayakan berita" adalah bagian dari kriteria yang diperhitungkan ketika menilai apakah akan menyimpan tweet atau tidak, mengatakan bahwa memberi informasi kepada publik adalah peran integral yang harus dipenuhi oleh platform.

Dari contoh-contoh ini dapat dilihat bahwa konten-konten yang sama-sama mengandung unsur hasutan kekerasan ternyata mendapat perlakukan yang berbeda-beda.

Tentu saya tidak memungkiri perbedaan konteks lahirnya postingan tersebut, tetapi dari standar kekerasan daring dan fakta kekerasan fisik yang menyusulnya mutlaklah sama.

Karenanya pertanyaan pertama hendak saya jawab dengan demikian. Alih-alih alasan hasutan kekerasan yang mengancam publik seperti yang disampaikan lewat berbagai kanal, saya berpendapat bahwa tindakan tersebut diambil oleh perusahaan-perusahaan platform teknologi lebih karena ada risiko potensial yang mengancam reputasi perusahaan bila mereka tidak segera membekukan akun media sosial Donald Trump.

Perusahaan platform teknologi ingin buru-buru melepas tudingan telah mendiamkan dan berada di balik provokasi kekerasan Trump yang berujung pada kekerasan fisik Rabu lalu.

Selama ini perusahaan-perusahaan teknologi dianggap telah membiarkan Trump menggunakan platform mereka sebagai megafon.

 

Penegasan hak dan batasan kemerdekaan berekspresi

Demokrasi digital yang dimaknai sebagai perluasan ruang berekspresi ke wilayah daring mendapatkan momentumnya sejak keberhasilan gerakan kelompok Freedom Technologist di Spanyol, Timur Tengah, hingga meluas ke banyak tempat di dunia memanfaatkan teknologi sebagai alat tak terpisahkan untuk mendorong agenda demokratisasi (John Postill, 2014).

Tak kurang, sosiolog Manuel Castell mengatakan bagaimana internet telah menjadi kekuatan yang otonom, tidak terkooptasi Negara dan korporasi media, untuk melakukan kontra kekuasaan. (Castell, 2011)

Pandangan para intelektual tersebut tidak salah, tetapi kurang memerhatikan lahirnya kekerasan digital yang berakar dari penyebaran disinformasi dan ujaran kebencian. Ujaran kebencian, terutama dipandang sebagai borok dari demokrasi, melawan hukum, dan berseberangan dengan kemerdekaan berekspresi.

Dalam hukum internasional, ujaran kebencian dilarang dan tidak dianggap bagian dari kemerdekaan berekspresi. Pendapat ini kemudian melahirkan pandangan bahwa apa yang dilarang di luring, juga haruslah dilarang di daring.

Karenanya dalam menjawab pertanyaan kedua, tindakan yang dilakukan perusahaan teknologi terhadap Donald Trump adalah penegasan apa yang dilarang dalam hukum internasional, ini bukanlah sensor terhadap pendapat yang dilindungi, tetapi merupakan penegakan hukum yang menjamin kemerdekaan berekspresi.

Biarpun demikian, apakah perusahaan platform teknologi dapat melakukan aksi polisional terhadap konten berdasarkan hukum internasional tersebut?

Komite HAM PBB telah menyatakan bahwa dalam melakukan pembatasan pelaksanaan kebebasan berekspresi, tidak diperbolehkan justru membuat hilangnya hak itu sendiri.

Komite mengingatkan “bahwa hubungan antara hak dan pembatasan dan antara norma dan pengecualian tidak boleh menyebabkan situasi berbalik.”

Kemudian Pelapor Khusus PBB untuk Promosi Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat David Kaye mengatakan menghentikan dan menyaring (blocking and filtering) pengguna dari akses internet, terlepas dari justifikasi yang diberikan, menjadi tidak proporsional dan dengan demikian merupakan pelanggaran terhadap pasal 19, paragraf 3, dari Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICPPR).

Dalam melakukan pembatasan tersebut, pendapat hukum tersebut dapat dijadikan pegangan bahwa hanya mekanisme pengadilan yang dianggap cukup proporsional untuk menilai pertimbangan pembekuan akun media sosial.

Tindakan perusahaan-perusahaan platform teknologi sekalipun mungkin disadur dari aturan hukum internasional ke dalam kebijakan internal platform, tidak membuat langkah tersebut cukup proporsional dalam kacamata hak digital.

Debat tanggungjawab platform

Hal terakhir yang perlu dikaji adalah tentang transparansi dan akuntabilitas saat tindakan ini diambil oleh perusahaan platform teknologi.

Ed Legaspi, mantan direktur SEAPA (South East Asia Press Aliance) melalui akun twitter @soicylst mengatakan isunya bukan di transparansi, melainkan pada kewenangan perusahaan platform teknologi untuk menjadi hakim, juri, dan pelaksana suatu keputusan hukum.

Ini merebut kewenangan negara - yudikatif dan eksekutif, dan bahkan bisa dibilang legislatif, bahkan di luar hukum AS mana pun.

Senada dengan Ed, Gayathry V, juga mantan direktur SEAPA lewat akun twitter @gayathry mengatakan, meskipun Donald Trump bermasalah, perusahaan teknologi melakukan kekuasaan yang berlebihan (dalam melakukan tindakan tersebut). Mereka juga perlu diawasi demi akuntabilitas.

Belakangan, banyak pembicaraan agar platform teknologi ikut bertanggungjawab terhadap konten yang ada di dalamnya, yang diistilahkan dengan intermediaries liability.

Saya sepenuhnya setuju atas pembicaraan ini agar perusahaan teknologi tidak lepas tangan atas persoalan-persoalan hak digital yang muncul karena keberadaan platform yang mereka buat tersebut.

Hanya saja, saya menarik garis tegas saat platform teknologi hendak bertindak sebagai polisi siber, saya menilai posisi itu tidak pada tempatnya.

Selain karena saya memertanyakan standar penegakan dari aturan Community Guidelines yang perlu didorong untuk mengadopsi standar hukum internasional, sama seperti Ed Legaspi dan Gayathry V, saya berpendapat kekuasaan tanpa batas yang dimiliki oleh perusahaan platform teknologi perlu diimbangi dengan mendengar pendapat ahli independen, organisasi masyarakat sipil, sebelum mengambil keputusan untuk membekukan akun media sosial.

Cara ini saya nilai lebih proporsional dan tidak menimbulkan kesan sewenang-wenang. Tentu ini membutuhkan pembicaraan lebih lanjut yang dapat diterima oleh semua pihak, dimunculkan kembali sebagai kebutuhan bersama untuk diskusi tentang peranan intermediaries, sebelum nantinya diterapkan pada semua pengguna media sosial yang dinilai melakukan hasutan kekerasan yang berbahaya bagi publik.

Dengan menjawab tiga pertanyaan kunci ini, harapan semua kita sebenarnya sama, menuju tata kelola internet yang lebih terbuka, transparan, dan bisa dipertanggungjawabkan agar semua warganet yang menggunakan teknologi terlindungi hak-hak digitalnya.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag
Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi