Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

"Kita Syukurikah Peningkatan Kasus Covid-19 Ini?"

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA
Petugas tenaga kesehatan beraktivitas di Rumah Sakit Darurat COVID-19 Wisma Atlet Kemayoran di Jakarta, Minggu (15/11/2020). Ketua Satgas Penanganan COVID-19 sekaligus Kepala BNPB Letjen TNI Doni Monardo mengatakan selama dua minggu terakhir angka kasus konfirmasi positif COVID-19 di Indonesia mengalami peningkatan yang berdampak pada keterisian ruang isolasi yang semula 32 persen saat ini naik menjadi 53 persen. ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.
|
Editor: Inggried Dwi Wedhaswary

KOMPAS.com - Pakar epidemiologi Universitas Airlangga Windu Purnomo mengkritisi pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut bahwa Indonesia beruntung tidak sampai menerapkan lockdown atau penguncian karena pandemi virus corona.

Presiden Jokowi menyampaikan hal itu saat memberikan sambutan pada acara penyaluran Bantuan Modal Kerja (BKM) di Istana Bogor, Jumat (8/1/2021).

"Dan kita ini kalau saya lihat masih alhamdulillah beruntung tidak sampai lockdown," kata Presieden.

Menurut dia, tak seperti negara-negara yang memberlakukan lockdown, masyarakat Indonesia masih memiliki kebebasan untuk berkegiatan, meski dengan protokol ketat.

Windu berpandangan, ada kesalahan logika dalam pernyataan itu.

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Ia menyebut bersyukur semestinya dilakukan untuk sesuatu yang kita dapatkan karena faktor eksternal, bukan atas apa yang kita putuskan sendiri. 

"Kalau saya yang memutuskan itu tidak ada soal syukur. Saya memutuskan untuk memilih sebagai dokter, itu tidak bersyukur. Bersyukurnya itu ketika hasil dari pilihannya keluar. Saya memutuskan menjadi dokter, dari hasil keputusan itu saya menjadi kaya misalnya, saya bersyukur atas kekayaan itu," ujar Windu, saat dihubungi Kompas.com, Senin (11/1/2021).

Melalui perumpamaan ini, Windu menilai, syukur yang disampaikan Presiden atas keputusannya tidak mengambil kebijakan lockdown adalah sebuah kesalahan logika.

"Itu secara bahasa tidak cocok, logical fallacy," kata dia.

Kecuali, keputusan itu menghasilkan hal-hal yang menguntungkan bagi semua pihak. Misalnya, angka kasus menurun, pandemi terkendali, dan perekonomian membaik.

Dengan angka kasus positif yang masih terus naik, kegiatan ekonomi juga belum kembali normal.

"Kita syukurikah peningkatan kasus (Covid-19) ini? Kembali normalkah sekarang usaha kita? Kita ini masih defisit lah, dan itu terjadi karena kita masih pandemi. Coba nanti pandeminya berakhir (terkendali), seperti di negara lain, Australia, Selandia Baru, China sendiri mau tahun baruan sambil hura-hura sudah bisa," ujar Windu.

Baca juga: Jokowi: Alhamdulillah Indonesia Tidak Sampai Lockdown 

Pandemi belum terkendali

Pandemi virus corona diIndonesia masih belum terkendali sejak pertama kali virus corona teridentifikasi pada Maret 2020.

"Lockdown atau tidak itu keputusan kita, Akibat dari lockdown itu apa? Kasusnya turun, nah itu saya bersyukur. Tapi kalau kasusnya makin meningkat, ya terserah kalau mau mensyukuri itu," ujar Windu.

Windu menjelaskan untuk menangani suatu pandemi, lockdown hanya sebuah opsi yang tidak harus diambil. Pemerintah atau otoritas terkait bisa menempuh banyak cara untuk mengatasi pandemi yang terjadi.

"Lockdown itu bukan strategi utama, lockdown itu opsi. Di dalam wabah kita boleh mengambil opsi yang mana pun. Mau lockdown apa tidak? Mau lockdown yang seperti apa? Ya silahkan, dipilih yang mana," ujar Windu.

Windu menyebut Indonesia sudah memilih langkah Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk menurunkan kasus Covid-19 di Indonesia. Akan tetapi, opsi ini disebutnya sebagai upaya yang tanggung dan terkesan main-main atau formalitas saja.

Kenyataannya, kasus Covid-19 belum melandai, sementara masyarakat mulai jenuh dengan kondisi pandemi yang tak kunjung terkendali.

"Sehingga apa, PSBB yang pernah kita lakukan tidak menurunkan kasus, bahkan kasus masih naik saat kita selesai PSBB," kata dia.

Windu menyebut India sebagai negara dengan kasus Covid-19 tertinggi di Asia, kini sudah mulai mengalami penurunan kurva kasus positif. Kondisi testing di sana, saat ini sudah masif, mencapai 10 persen dari total penduduk.

"Kita itu masih puncak gunung es, itu saja di Asia (jumlah kasus) kita sudah nomor dua tingginya. Padahal yang nomor satu itu (India) testing-nya luar biasa besar. Kita testing belum sampai 2 persen saja sudah nomor dua, bayangkan kalau kita testing-nya setinggi India, 10 persen?" kata dia.

"Apakah kita sudah bisa bersyukur dengan kondisi yang sekarang ini, karena kita keputusannya dulu enggak ambil lockdown? Sekarang kita mau bersyukur, saya enggak tahu, kita syukuri enggak itu?" ujar Windu.

Baca juga: Mengenal Proses Contact Tracing Pasien Corona, Bagaimana di Indonesia?

Tracing

Windu mengingatkan, dalam sebuah pandemi, kejadian luar biasa (KLB), wabah, pelacakan kasus atau tracing merupakan satu hal absolut yang harus dilakukan. 

"Salah satu ajarannya kalau ada wabah penyakit menular, strategi yang tidak boleh tergantikan, harus dilakukan, absolut, adalah mencari dan menemukan kasus, case finding," sebut dia.

Menemukan kasus tentu disesuaikan dengan jenis penyakit yang tengah berkembang, Covid-19 ini harus melalui testing yaitu PCR test dan antigen test.

Persoalannya, di Indonesia, jumlah testing yang dilakukan masih sangat rendah sehingga tidak bisa mendeteksi semua kasus yang terjadi di masyarakat.

"Kita ini sekarang belum sampai 2 persen jumlah penduduk yang kita tes, kalau dibandingkan negara-negara lain, kita itu nomor ke 150 lebih dari 200 negara lebih yang alami pandemi. Bayangkan betapa jeleknya (kuantitas tes) kita," ungkap Windu.

"10.000 kasus yang terdeteksi itu, ibarat gajah itu baru ekornya, itu seperti puncak gunung es," kata dia

Oleh karena itu, jika kapasitas tes di Indonesia ditingkatkan, angka kasus terkonfirmasi dipastikan akan lebih tinggi.

KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo Infografik: 5 Negara yang Gratiskan Vaksin Corona

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi