KOMPAS.com - Beberapa hari terakhir, media sosial Twitter diramaikan soal thread viral WNA asal Amerika Serikat Kristen Gray soal Bali.
Dia awalnya mengajak turis asing pindah ke Bali karena biaya hidupnya dinilai lebih murah dan disebut juga ramah dengan LGBT.
Ajakan itu memicu kontroversi terkait soal perizinan dan kondisi Indonesia yang masih dalam masa pandemi Covid-19.
Baca juga: Siapa Kristen Gray, WNA di Bali yang Thread-nya Viral di Twitter?
Setelah twit itu viral, perempuan bernama Kristen Antoinette Gray dan teman perempuannya diperiksa pihak imigrasi serta mendapat sanksi dideportasi ke negara asalnya.
Berikut ini fakta dan kronologi kasus viral Kristen Gray:
Utas viral di Twitter
Pada Minggu (17/1/2021) malam, Twitter Indonesia diramaikan dengan tagar "Bali" yang menjadi salah satu topik yang paling banyak dibicarakan.
Keramaian ini dipicu oleh sebuah utas yang dibuat oleh Krister Antoinette Gray di akun @kristentootie sehari sebelumnya.
Dalam utas itu, ia menceritakan kronologi kepindahannya dari Amerika Serikat ke Bali pada 2020.
Dia pindah ke Bali dilatarbelakangi kesulitan ekonomi yang dialami Gray di negara asalnya. Di Bali, ia mendapatkan kehidupan yang lebih baik dengan biaya hidup yang jauh lebih murah.
Sayangnya, pandemi membuatnya tidak bisa kembali ke AS.
Baca juga: Kristen Gray, Viral Ajakan Pindah ke Bali hingga Ancaman Dideportasi
Di Bali, Gray tidak hidup sendiri, melainkan dengan kekasih perempuannya, Saundra Michelle Alexander.
Ia juga menemukan adanya komunitas orang berkulit hitam di Pulau Dewata, Black in Bali, yang membuatnya merasa semakin nyaman.
Untuk bertahan hidup, selama di Bali, Gray mengaku bekerja di bidang desain grafis.
Baca juga: Ramai Dibahas karena Twit Viral Kristen Gray, Apa Itu Gentrifikasi?
Menjual Ebook
Selain sebagai desainer grafis, Gray juga menjual buku elektronik berjudul "Our Live in Bali is Yours".
Hal itu diketahui dari utas yang ia tuliskan, bahkan ia menyertakan link dari ebook tersebut bagi siapa pun yang tertarik.
Salah satu konten dari buku itu adalah cara masuk ke Indonesia di saat pandemi Covid-19.
Ia mencantumkan agen yang ia rekomendasikan untuk juga dilakukan oleh teman-teman asing yang ingin datang.
Untuk bisa mengakses ebook tersebut, seseorang harus membayar 30 dollar AS, sementara untuk berkonsultasi langsung dengan Gray, seseorang dikenai tarif 50 dollar AS per 45 menit.
Baca juga: Kasus Kristen Gray dan Fenomena Deportasi Ribuan WNA sejak 1974...
Dideportasi
Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM Bali, telah memutuskan untuk mendeportasi Gray dan kekasih perempuannya dari Indonesia.
Keputusan ini diambil setelah keduanya menjalani pemeriksaan di Kantor Imigrasi Denpasar selama 8 jam, pada Selasa (19/1/2021).
"Tindak lanjut WN Amerika Serikat Kristen Gray (dan pasangannya) dikenakan tindakan administrasi keimigrasian pendeportasian atau pengusiran," kata Kepala Kanwil Kemenkumham Bali Jamaruli Manihuruk, dikutip dari Kompas.com, Selasa (19/1/2021).
Salah satu alasan mengapa deportasi dijatuhkan kepada mereka, karena mereka telah berbisnis di Indonesia.
Namun proses deportasi itu belum dilakukan, karena masih menunggu adanya penerbangan ke Amerika Serikat. Sementara ini, keduanya ditahan di Ruang Detensi Imigrasi Kantor Imigrasi Denpasar.
Mengaku tidak bersalah
Setelah dimintai keterangan, ia mengaku kepada media bahwa dirinya tidak sepenuhnya bersalah.
Hal itu dikarenakan visa kunjungan yang ia gunakan untuk masuk ke Indonesia tidak overstay. Selain itu, ia juga membela diri bahwa selama di Indonesia ia tidak mencari uang dalam mata uang Rupiah, melainkan dollar AS.
"Saya tidak bersalah, visa saya tidak overstay, saya tidak menghasilkan uang dalam Indonesia rupiah," kata Gray.
Baca juga: Kristen Gray dan Pasangan Wanitanya Dideportasi karena Sebut Bali Ramah LGBT
Gray menyebut dirinya ditangkap dan dideportasi karena pendapatnya terkait Indonesia, khususnya Bali yang menerima dan tidak mempermasalahkan kelompok LGBT, sehingga nyaman untuk ditinggali.
"Saya berkomentar mengenai LGBT dan saya dideportasi karena LGBT," ujar Gray.
(Sumber: Kompas.com/Imam Rosidin | Editor : Robertus Belarminus, Dheri Agriesta)