Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Calon Kapolri Listyo Sigit Akan Hidupkan Pam Swakarsa, Pengamat: Potensi Penyalahgunaan Wewenang

Baca di App
Lihat Foto
ANTARA FOTO/GALIH PRADIPTA
Kabareskrim Polri yang juga calon Kapolri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo (tengah) bersiap mengikuti Uji Kelayakan dan Kepatutan Calon Kapolri di ruang Komisi III DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (20/1/2021). Calon Kapolri Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo merupakan calon tunggal Kapolri yang diajukan Presiden Joko Widodo ke DPR untuk menggantikan Jenderal Pol Idham Aziz yang memasuki masa pensiun.
|
Editor: Rizal Setyo Nugroho

KOMPAS.com - Calon tunggal Kapolri Komjen Listyo Sigit Prabowo mengaku akan menghidupkan kembali pasukan pengamanan masyarakat atau Pam Swakarsa.

Hal itu disampaikan jenderal bintang tiga yang kini masih menjabat Kepala Bareskrim Polri itu saat melakukan uji kelayakan dan kepatutan atau Fit and Proper Test calon Kapolri.

"Pam Swakarsa harus lebih diperanaktifkan untuk mewujudkan Kamtibmas. Jadi, kita hidupkan kembali," kata Komjen Listyo Sigit di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Rabu (20/1/2021) dikutip dari Kompas.tv.

Baca juga: Pam Swakarsa Hidup Lagi, Ada Apa?

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Menurut Listyo, Pam Swakarsa dihidupkan sebagai upaya untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban masyarakat atau Kamtibmas. Pada periode sebelumnya, wacana serupa juga diusung oleh Kapolri Jenderal Idham Azis.

Idham menandatangani Peraturan Kapolri Nomor 4 Tahun 2020 tentang Pengamanan Swakarsa atau Pam Swakarsa, pada 4 Agustus 2020. Dalam aturan itu, Pam Swakarsa memobilisasi petugas satuan pengaman (Satpam) dan satuan keamanan lingkungan (Satkamling) di lingkup masyarakat.

Kontroversi

Direktur Riset Setara Institut Halili Hasan menyatakan bahwa memang Listyo Sigit tidak dapat menganulir begitu saja peraturan yang sudah ada.

"Sebenarnya peraturan Kapolri Idham yang memicu itu. Menurut saya Pak Sigit dalam posisi tidak mungkin menganulir apa yang secara normatif sudah dilembagakan dalam bentuk peraturan Kapolri," kata Halili saat dihubungi Kompas.com pada Rabu (20/1/2021).

Pam Swakarsa sempat menjadi pembahasan kontroversial karena ada sejarah kelam yang membuat masyarakat khawatir.

Baca juga: Bagaimana Sejarah Pam Swakarsa?

 

Halili menyebut, partisipasi masyarakat dalam bidang keamanan sebenarnya sudah ada sejak dulu. Misalnya, Sistem Keamanan Lingkungan (Siskamling), Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), atau sistem keamanan adat seperti di Bali, yang disebut Pecalang.

Hingga saat ini, partisipasi masyarakat semacam ini masih ada. Namun Halili menilai mobilisasi oleh negara pada partisipasi masyarakat tidak baik.

"Akan terjadi situasi di mana kita akan mengulang kekelaman sejarah masa lalu. Partisipasi masyarakat dalam bidang keamanan yang dimobilisasi oleh negara, itu tidak baik menurut saya," ujar Halili.

Baca juga: Pam Swakarsa Diprotes Komisi III DPR, Kapolri Diminta Ganti Namanya

Pernah digunakan untuk gebuk gerakan rakyat

Sejarah yang dimaksud Halili merujuk pada awal terbentuknya Pam Swakarsa. Mobilisasi keamanan sipil ini terbentuk pada 1998, bebarengan dengan Sidang Istimewa (SI) MPR.

Panglima ABRI kala itu, Jenderal TNI Wiranto, membentuk Pam Swakarsa untuk mengamankan SI MPR dari pihak-pihak yang ingin menggagalkannya.

Kendati demikian, sistem keamanan ini malah dijadikan tameng untuk menghalangi aktivis dan massa rakyat yang mengutarakan aspirasinya melalui demonstrasi.

"Ada faktor sejarah yang perlu kita cermati betul bahwa Pam Swakarsa pernah digunakan negara untuk menggebuk gerakan mahasiswa dan gerakan rakyat pada masa itu," terang Halili.

Baca juga: Soal Pengamanan Swakarsa, Polri: Kok Dikaitkan ke Pam Swakarsa 1998?

Potensi bentrok antarmasyarakat

Halili menilai, bila partisipasi keamanan masyarakat dimobilisasi oleh negara, maka akan menjadi problematik.

"Problembatik terutama pada dua aspek, yang pertama pada aspek potensi benturan yang terjadi antarmasyarakat," katanya.

Fungsi subordinatif dari Pam Swakarsa tentu menimbulkan perbedaan pada jasa keamanan yang dimobilisasi dan yang tidak.

Perbedaan semacam ini berpotensi menimbulkan bentrok. Menurutnya tidak semua partisipasi keamanan warga perlu campur tangan negara.

"Kembalikan itu sebagai fungsi partisipasi, jadi jangan semuanya diurus dalam kerangka pendekatan keamanan oleh negara," tambahnya.

Sementara aspek kedua, berkaitan dengan pergeseran industri jasa keamanan.

Baca juga: Kronologi Pembentukan Pam Swakarsa 1998, Menurut Gugatan Kivlan Zen ke Wiranto

 

Penyalahgunaan wewenang

Halili juga menyinggung mengenai potensi penyalahgunaan kewenangan. Ia menyebutnya sebagai potensi industri 'kekerasan'.

Sejauh ini ada banyak jasa atau institusi swasta di bidang keamanan. Bila negara membuat legalitas pada partisipasi keamanan warga, maka berpotensi menjadi industri jasa keamanan.

"Dengan aturan ini justru menggeser industri keamanan swasta ini menjadi legalisasi mereka untuk diurus oleh negara. Jangan-jangan kita hanya akan menggeser industri jasa keamanan di ranah partikelir, swasta begitu, menjadi ranah negara," katanya.

Baca juga: Catatan Perseteruan Kivlan Zen dan Wiranto soal Pam Swakarsa...

Dominasi kekuasaan

Halili menyebut, negara memiliki kewajiban untuk melindungi warganya. Seperti apabila ada masalah yang bersinggungan dengan hukum, di situ negara waijib hadir.

Akan tetapi, dia berpendapat bahwa pendekatan keamanan yang berlebihan akan diiringi dominasi kekuasaan.

"Tapi kalau semuanya harus dilembagakan dalam sebuah entitas baru legal, formal, yang namanya Pam Swakarsa, saya khawatir justru yang terjadi adalah mobilisasi yang berlebihan, pendekatan keamanan berlebihan yang mengarah pada strong state," terang Halili.

Strong state yang dimaksud ialah kondisi di mana negara memiliki kekuasaan yang terlalu besar, seperti yang terjadi pada Orde Baru.

Baca juga: Listyo Sigit: Ke Depan, Polantas Tak Perlu Menilang, Cukup Atur Lalu Lintas

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Halaman Selanjutnya
Halaman
Tag

Artikel Terkait

Artikel berhasil disimpan
Lihat
Artikel berhasil dihapus dari list yang disimpan
Oke
Artikel tersimpan di list yang disukai
Lihat
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Artikel dihapus dari list yang disukai
Oke
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kompas.com Play

Lihat Semua

Terpopuler
Komentar
Tulis komentar Anda...
Terkini
Lihat Semua
Jelajahi